Li Wei telah selesai bersiap, mengenakan pakaian terbaiknya yang terbuat dari sutra halus berwarna biru tua dengan hiasan emas yang berkilauan di bawah cahaya lilin. Ia sangat bersemangat menyambut kedatangan rombongan tamu dari Kerajaan Dayu. Hatinya berdebar-debar, penuh harap dan antusiasme.
"Pangeran, Anda sungguh luar biasa mengenakan pakaian ini. Kau terlihat sangat tampan," puji sang pelayan tua yang telah setia menemani Pangeran Li Wei sejak ia masih kecil. Suaranya lembut namun penuh kekaguman, matanya yang keriput bersinar dengan bangga.
"Benarkah, Paman?" ucap Pangeran Li Wei dengan raut wajah berseri-seri. Senyumnya lebar, memperlihatkan deretan gigi putihnya. "Jika seperti itu, Ayahanda pasti akan bangga dan tidak akan menganggap aku lemah lagi," sambung Li Wei, suaranya penuh harap dan keyakinan.
"Tentu saja, Pangeran! Anda adalah kebanggaan kerajaan," jawab pelayan tua itu dengan penuh keyakinan, menepuk bahu Li Wei dengan lembut.
"Hari ini adalah hari yang penting, dan Anda telah mempersiapkan segalanya dengan sangat baik."
Sementara di gerbang kota, rombongan dari kerajaan Dayu telah mencapai perbatasan ibu kota Kerajaan Tang. Pangeran Zhao, bersama dengan prajurit khusus yang ditugaskan untuk menyambut kedatangan mereka, sudah menunggu dengan sabar di depan gerbang kota. Mereka duduk tegap di atas kuda-kuda mereka, mata mereka tajam mengawasi setiap gerakan di kejauhan.
Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang berguguran, menambah kesan dramatis pada suasana. Pangeran Zhao, dengan jubah kebesarannya yang berkibar tertiup angin, tampak gagah dan berwibawa. Prajurit-prajuritnya, dengan baju zirah yang berkilauan di bawah sinar matahari, berdiri tegap di sampingnya, siap untuk memberikan penghormatan.
"Apakah mereka sudah dekat?" tanya Pangeran Zhao dengan suara yang dalam dan tenang, matanya tetap terpaku pada jalan yang membentang di depan mereka.
"Sesuai laporan terakhir, mereka akan tiba dalam beberapa menit, Yang Mulia," jawab salah satu prajurit dengan hormat.
Pangeran Zhao mengangguk pelan, lalu menghela napas panjang.
"Baiklah, kita sambut mereka dengan penuh kehormatan. Pastikan semuanya berjalan lancar."
Saat rombongan dari kerajaan Dayu mendekat, debu tipis mulai terlihat di kejauhan. Pangeran Zhao memperhatikan dengan seksama, matanya menyipit untuk melihat lebih jelas.
"Pangeran, sepertinya itu rombongan kerajaan Dayu?" ucap salah satu prajurit khusus yang berdiri di sampingnya.
"Semuanya bersiaga!" teriak pangeran Zhao memberi perintah pada para prajurit.
Ketika rombongan semakin dekat, seorang pria mengenakan pakaian Jirah, tampak gagah perkasa, maju keluar dari barisan dan memberikan penghormatan pada pangeran Zhao.
"Pangeran Zhao, suatu kehormatan bagi kami bisa bertemu dengan Anda," kata pria itu sambil membungkuk hormat. " Aku jendral Zhu Feng Yin dari kerajaan Dayu."
Pangeran Zhao membalas dengan anggukan hormat. "Jendral Zhu , selamat datang di Kerajaan Tang. Kami telah menunggu kedatangan Anda dengan penuh antusiasme."
Jendral Zhu tersenyum, lalu melirik ke arah prajurit-prajurit yang berdiri di belakang Pangeran Zhao. "Pasukan Anda tampak sangat terlatih dan siap, Pangeran. Saya yakin mereka adalah kebanggaan kerajaan ini."
Pangeran Zhao tersenyum tipis. "Terima kasih, jenderal Zhu. Pasukan kerajaan Anda juga, sangat mengagumkan. Kami berusaha untuk selalu siap dalam segala situasi. Bagaimana perjalanan Anda dan kaisar? Apakah ada kesulitan di jalan?"
"Perjalanan kami lancar, meskipun sedikit melelahkan," jawab Jenderal Zhu. "Namun, pemandangan sepanjang jalan sangat indah dan menenangkan."
Pangeran Zhao mengangguk. "Syukurlah. Mari, kita masuk ke dalam kota. Kami telah menyiapkan penyambutan yang layak untuk Anda dan rombongan."
Jenderal Zhu mengangguk setuju, dan dengan isyarat tangan, rombongan dari Dayu mulai bergerak mengikuti Pangeran Zhao dan prajurit-prajuritnya menuju gerbang kota. Suasana penuh dengan rasa hormat dan antisipasi, menandai awal dari pertemuan penting antara dua kerajaan besar.
***
Sama halnya dengan pangeran Zhao yang sangat gembira, bisa mendapatkan mandat dari sang ayah, pangeran Li Wei yang tengah berjalan di lorong-lorong kediamannya, penuh dengan raut wajah yang gembira seraya membawa kotak hadiah, harus kembali pupus , saat langkahnya di hentikan oleh kedua pengawal yang berjaga di depan gerbang kediamannya.
"Ada apa ini?" tanya pangeran Li Wei terheran.
"Pangeran, Anda di larang keluar oleh Yang Mulia," ucap salah satu penjaga seraya menghalangi jalan dengan tombak di tangannya.
"Kenapa ayah melarang ku keluar? Apakah ayah terlalu malu dengan kehadiranku?" gumamnya dalam hati. Tetapi, ada yang mengganjal di dalam hatinya, meskipun sang ayah membenci dirinya, tapi dia tidak pernah melarang pangeran Li Wei untuk hadir di setiap acara yang diadakan dalam istana.
"Biarkan aku lewat !" teriak pangeran Li Wei, mencoba menerobos pertahanan kedua penjaga itu.
"Maafkan hamba pangeran, ini adalah perintah." Tanpa pandang bulu dan melihat status, kedua penjaga itu mendorong pangeran Li Wei hingga terjerembab di atas tanah. Kotak hadiah yang dia bawa pun, terlempar sedikit jauh.
"Pangeran !" pekik sang pelayan tua dan membantu pangeran Li Wei untuk bangun.
Pangeran Li Wei merasakan sakit yang menusuk di lututnya saat ia terjatuh ke tanah. Debu-debu halus berterbangan, menempel di jubahnya yang mewah. Dengan bantuan pelayan tua yang setia, ia perlahan bangkit, matanya menyala dengan kemarahan dan rasa malu.
"Bagaimana bisa kalian memperlakukan pangeran seperti ini?" serunya dengan suara bergetar, menahan amarah yang membara di dadanya. "Dia adalah putra mahkota, darah bangsawan mengalir dalam nadinya!"
Kedua penjaga itu tetap berdiri tegak, wajah mereka tanpa ekspresi, hanya menjalankan perintah. "Maafkan kami. Kami hanya menjalankan tugas."
Pangeran Li Wei menatap mereka dengan tajam, lalu mengalihkan pandangannya ke kotak hadiah yang tergeletak di tanah. Kotak itu terbuat dari kayu mahoni yang diukir dengan motif naga dan burung phoenix, simbol kekuatan dan keabadian. Sudut-sudutnya diperkuat dengan logam emas yang berkilauan di bawah sinar matahari. Di atasnya, terdapat pita sutra merah yang melambangkan keberuntungan dan kebahagiaan.
Dengan langkah tertatih, ia berjalan menghampiri kotak itu, mengambilnya dengan tangan yang gemetar. Hadiah yang seharusnya menjadi simbol kebahagiaan kini hancur berkeping-keping, serpihan beludru biru tersebar di lantai marmer yang dingin.
Pangeran Ming melangkah mendekat, boots putihnya mengeluarkan suara lembut saat menyentuh lantai marmer yang dingin dan mengkilap. Ia menatap kotak kayu berukir di tangan Pangeran Li Wei dengan tatapan penuh minat.
"Jadi, ini hadiah yang kau siapkan?" Pangeran Ming berkata dengan nada yang penuh sindiran, bibirnya melengkung dalam senyum mengejek. "Kristal burung Phoenix? Kau pikir ini akan cukup untuk membuat Ayah terkesan?"
Pangeran Li Wei mengangkat alisnya, menatap Pangeran Ming dengan mata yang menyipit, penuh ketegangan. Di dalam hatinya, ada campuran antara rasa sakit dan kemarahan yang mendidih.
"Ini bukan sembarang kristal," jawabnya dengan suara rendah namun tegas, suaranya bergetar dengan emosi yang tertahan. "Ini adalah simbol keabadian dan kekuatan. Ayah akan menghargai maknanya."
Pangeran Ming tertawa kecil, suaranya bergema di ruangan yang luas, memantul dari dinding-dinding marmer yang tinggi.
"Kau selalu berpikir terlalu dalam, Kakak. Ayah lebih menghargai tindakan nyata daripada simbolisme kosong."
"Apakah ini ulahmu? Kau kah yang melarang ku untuk pergi ke pesta istana?" tebak Pangeran Li Wei, suaranya penuh kecurigaan dan kemarahan yang terpendam. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada beban berat yang menekan.
Pangeran Ming berjalan pelan, mengelilingi Pangeran Li Wei seperti seekor harimau yang mengintai mangsanya, langkahnya tenang namun penuh ancaman.
"Iya. Aku yang menyuruh mereka untuk melarang mu pergi ke sana," jawab Pangeran Ming terus terang, suaranya dingin dan tanpa belas kasihan. "Kehadiranmu di sana hanya akan membawa aib bagi istana. Kau hanya pangeran lemah dan bodoh yang tidak dapat diandalkan. Coba kau pikirkan, apa yang akan mereka katakan pada Ayah, jika salah satu anaknya memiliki fisik yang lemah dan tidak berguna seperti dirimu? Pasti Ayah akan sangat malu karena dirimu."
Hati Pangeran Li Wei seperti dibombardir oleh kata-kata yang keluar dari mulut Pangeran Ming, setiap kata terasa seperti pisau yang menusuk dalam. Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia menahan air mata itu agar tidak jatuh. Ia merasakan gelombang rasa malu dan ketidakberdayaan yang menghantamnya, membuatnya merasa semakin kecil di hadapan adiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments