“Umi ….” teriak Gus Fakih yang masih dalam gendongan Gus Hasan.
“Mba kemana aja sih? Tadi Fakih jatuh, lututnya luka nih," ucap Gus Hasan menyerahkan Fakih pada kakaknya.
“Ya Alloh! Maafin umi ya sayang, tadi umi ke dalem sebentar buat ambil makan, eh taunya Fakih udah ndak ada,” tutur Sabina melihat luka di lutut putranya.
“Fakih gak apa-apa kok umi, ini lukanya udah diobatin tadi sama Mba Ica,” jawab Fakih menenangkan Ning Sabina yang terlihat cemas.
“Mba Ica?” tanya Sabina berpikir, mengingat-ngingat nama santriwati di pesantren.
“Sepertinya Hasan juga baru liat dia deh Mba,” ucap Gus Hasan yang sebenarnya penasaran juga terhadap santriwati tadi.
“Oh dokter Aisha maksudnya,” jawab Sabina berhasil mengingat.
“Dia dokter Mba?”
“Iya dia tuh dokter muda, baru-baru ini dia menyelesaikan program profesinya. Dia memang santri baru, udah beberapa bulan juga sih, asalnya dari Surabaya. Ibunya tuh alumni sini."
"Pantas saja tadi dia paham banget waktu ngobatin Fakih."
“Tapi Hasan gak pernah liat dia tuh Mba, terus kenapa dia malah mondok di sini?”
“Ih kepo ya kamu, tanya aja sendiri sama orangnya kalo berani,” jawab Ning Sabina yang agak heran dengan sikap adiknya. Biasanya Hasan selalu memasang perangai dingin, tak terlalu memedulikan urusan orang lain.
“Hasan! Umi cari-cari kamu kok le, taunya di sini,” ucap Nyai Hamidah berjalan mendekati Ning Sabina dan Gus Hasan yang tengah berbincang.
“Padahal kan umi bisa nyuruh santri buat manggilin Hasan mi, gak usah repot-repot cari Hasan sendiri,” jawab Gus Hasan segera menghampiri Nyai Hamidah yang tengah berjalan ke arahnya, mengecup punggung tangannya lalu membantunya berjalan dengan pelan.
“Yo wes wong sudah ketemu juga, sekarang kamu jemput Mas-mu di Stasiun ya, kasian dia sudah nunggu lama.”
“Mas? Mas Faris maksudnya mi?” tanya Ning Sabina dan Gus Hasan bersamaan.
“Lah ya iya Faris.”
“Kok tumben dia ke sini mi? biasanya kan Faris selalu sibuk, terakhir kita bertemu saja waktu kecelakaan Pakde sama Bukde di Surabaya.”
“Dia kangen suasana di sini katanya, wes cepetan itu Faris sudah nunggu lama kok,” tutur Nyai Hamidah mengingatkan Gus Hasan agar segera.
“Iya iya umi,” jawab Gus Hasan mencium tangan Nyai Hamidah dan Ning Sabina lebih dulu.
Hasan melangkah menuju garasi yang terletak diantara asrama putri dan ndalem.
Ketika hendak menutup pintu mobil, netranya menangkap sosok gadis yang sejak tadi membuat penasaran dirinya tengah membaca di taman depan asrama, ya siapa lagi jika bukan Aisha.
Hasan mengusap wajahnya dengan berkali-kali mengucap istighfar, ia tidak boleh terbuai, bukankah semua itu hanyalah muslihat syetan untuk menyesatkan?.
“Astagfirullah … ada apa dengan aku?” gumam Gus Hasan lirih yang hanya bisa didengar olehnya sendiri.
Dengan segera ia menghidupkan mobilnya dan melaju menjauhi Aisha.
***
“Mba Aisha … Mba Aisha ….”
“Ada apa sih Rin? Dateng-dateng kok teriak-teriak,” jawab Aisha yang tetap tenang melipat baju-bajunya.
“Ih pokonya Mba Aisha nyesel deh gak ikut pengajian malem ini.”
“Lah orang aku lagi halangan, gimana kamu ini.”
“Ih pokonya nyesel deh.”
“Ya memangnya kenapa? Dari tadi kamu cuma bilang nyesel-nyesel tapi gak jelasin ke Mba.”
“Coba tebak siapa yang ngisi pengajian malem ini Mba?”
“Ya mana Mba tau, wong mba gak ikut.”
“Ih ya tebak mba,” jawab Rini yang sudah tidak sabar.
“Kyai Safar? Bu Nyai Hamidah? Ning Sabina? Atau Gus Hasan?” tanya Aisha menyebutkan semua anggota keluarga ndalem.
“Salah semua!”
“Lah terus?” tanya Aisha semakin bingung.
“Ustadz Faris!” jawab Rini antusias.
“Ustadz baru?”
“Gak tau sih Mba, katanya beliau tuh sepupunya Gus Hasan yang baru datang dari luar kota. Katanya sih dia dokter, dokter muda gitu kayak Mba Aisha.”
Deg … seketika Aisha teringat pada Faris di Surabaya ketika Rini menyebutkan bahwa ustadz Faris adalah seorang dokter juga seperti Faris sahabatnya.
“Lah terus? Kenapa kamu yang kegirangan?”
“Ih Mba Aisha gak lihat langsung sih. Gantengnya tuh ya Mba Masya Allah banget, pokonya Gus Hasan lewat,” tutur Rini dengan gaya seperti tengah berangan-angan.
“Kamu tuh ya, kemaren kalo liat Gus Hasan klepek-klepek, sekarang aja ada yang lebih bening lagi bilangnya Gus Hasan lewat.”
“Pokonya kalo liat ustadz Faris tuh berasa kayak liat masa depan gitu.”
“Masa depan siapa?”
“Masa depan aku sama dia,” jawab Rini dengan gaya sok imut.
“Kalo dia udah ada yang punya gimana?”
“Kayaknya belum deh mba.”
“Kata siapa?”
“Orang keliatan kok.”
“Apanya yang keliatan?”
“Keliatan wajah-wajah masih jomblo ea ea ….”
“Hus ngawur kamu, eh tapi kalaupun belum ada emang dianya mau?”
“Ih Mba Aisha tuh buat aku insecure aja deh,” jawab Rini memberengutkan wajahnya.
“Ih bukan buat insecure, ini tuh suntikan semangat tau buat kamu merjuangin dia.”
“Cie … mulai melankolis nih ya bu dokter,” goda Rini yang diikuti oleh gelak mereka bersamaan.
***
“Mas Faris yakin mau pulang besok banget Mas?” tanya Gus Hasan yang tengah menikmati sejuknya udara senja di gazebo pesantren bersama sepupunya.
“Iya San, aku cuma dikasih cuti tiga hari dari Rumah Sakit,” jawab Faris tanpa mengalihkan wajahnya dari indahnya senja.
“Ya Allah padet banget sih jadwalnya pak dokter. Kasian dong nanti kalo punya istri ditinggal terus,” ucap Hasan menyindir sepupunya yang hingga saat ini masih betah sendiri.
“Ya beda lagi dong kalo udah ada istri mah.”
“Kapan dong ada istrinya? Nanti disalip duluan loh sama Hasan,” tutur Gus Hasan menggoda Faris.
“Yah nggak tau deh San, sekarang orangnya malah udah pergi juga,” jawab Faris menghela nafas panjang, mengingat Aisha yang tiba-tiba pergi tanpa kabar.
“Cewe Mas Faris maksudnya?”
“Bukan sih.”
“Lah terus?”
“Kita cuma sahabatan sebenernya, aku memang yang udah sejak lama menyukai dia. Tapi sepertinya nggak mungkin juga kita bersatu, sekarang keberadaan dia saja aku gak tahu San,” tutur Faris menceritakan segala perasaannya pada adik sepupunya.
“Apa dia tahu perasaan Mas Faris ke dia?”
Faris mengangguk lemah, mengingat bagaimana Aisha tetap belum bisa melupakan Azka.
“Tapi dia sepertinya belum bisa melupakan masalalunya. Entahlah, aku sendiri bingung apa yang harus aku lakukan. Tiba-tiba sekarang malah dia pergi tanpa kabar dan tanpa pemberitahuan.”
“Kan Mas Faris dulu yang sering nasehatin Hasan, kita sebagai manusia jangan pernah lupa akan ikhlas dan sabar. Kalo memang dia yang ditakdirkan buat Mas Faris pasti Allah akan datangkan dia buat Mas Faris kok. Kata abah ‘tak akan pergi kepada selainmu apa yang telah Alloh takdirkan untukmu'.”
“Itulah yang semakin mengingatkan kita kalo Mas juga cuma manusia biasa, adakalanya ikhlas dan sabar Mas belum seluas lautan.”
“Mas juga selalu mengajarkan Hasan agar kita jangan egois pada hati dengan hanya menutupnya untuk satu nama, padahal kita belum tau takdir apa yang sedang menanti kita. Jangan kita berharap pada sesuatu yang belum pasti, karena sebaik-baiknya pengharapan hanyalah kepada Allah.”
“Astagfirullah ….”
Faris mengusap-usap wajahnya gusar sambil berkali-kali mengucap istighfar.
“Om Faris ….” tiba-tiba Gus Fakih datang berlari ke arahnya.
“Fakih jangan lari-larian, itu lukanya saja belum kering,” tutur Gus Hasan saat Gus Fakih telah berada dihadapannya.
“Fakih udah sembuh kok, kan yang ngobatin juga Mba Ica terus,” jawab Fakih masih ngos-ngosan.
“Coba sini Om Faris liat lukanya,” ucap Faris menyibakkan celana panjang Gus Fakih hingga menampakkan lukanya.
“Rapih banget perbannya” gumam Faris lirih yang ternyata bisa didengar oleh Hasan.
“Iyalah orang dokter ya udah ahli buat sekedar perban luka mah,” jawab Hasan menanggapi gumaman Faris.
“Luka kayak gini aja sampe ke dokter?” tanya Faris bingung.
“Bukan sengaja dibawa ke dokter sih Mas, tapi memang santriwati disini ada yang memang dokter. Dia baru selesai internship katanya,” tutur Gus Hasan menjelaskan. Faris hanya manggut-manggut mengiyakan.
“Ya udah Om Faris ayo temenin Fakih main di taman,” rengek Gus Fakih menarik-narik ujung kemeja Faris.
“Mentang-mentang ada Om Faris aja Om Hasan gak diajakin,” celetuk Hasan memasang wajah cemberut ke arah Gus Fakih.
“Om Hasan jangan cemburu yah, kan Om Faris cuma sebentar di sini, kalo Om Hasan kan ada setiap hari,” jawab Gus Fakih yang membuat Hasan dan Faris tergelak bersama.
***
“Om Faris ....” panggil Gus Fakih yang tengah bermain di taman.
“Apa sayang?” tanya Faris menghampiri Fakih.
“Kayaknya kalo ditemenin sama Mba Ica lebih seru deh Om mainnya,” ucap Gus Fakih memohon.
“Fakih mau main sama Mba Ica?”
“Iya, sama Om Faris juga.”
“Tapi nanti ganggu, Mba Ica lagi ngaji loh.”
“Kita coba panggil dulu yah Mba Icanya,” pinta Gus Fakih memohon.
“Ya udah ayo, tapi Om tunggu di luar yah.”
“Oke,”jawab Gus Fakih kegirangan.
“Seperti apa sih Mba Ica yang berhasil membuat Gus kecil ini seperti tergila-gila,” gumam Faris lirih yang hanya bisa didengar oleh dirinya.
“Mba Rini bisa tolong panggilin Mba Ica nggak?” pinta Gus Fakih ketika sudah di halaman asrama putri.
“Maaf Mba Ica itu siapa ya Gus? Sepertinya ndak ada yang namanya Ica di sini Gus,” tanya Rini bingung dengan permintaan Gus kecilnya.
“Oh maksudnya Mba A-Ais ….” Gus Fakih menggantung kalimatnya, mengingat-ngingat nama asli Mba Ica yang tempo hari disebutkan oleh uminya.
“Mba Aisha maksudnya Gus?” tanya Rini menebak.
Faris yang mendengar nama Aisha disebut segera memalingkan wajah yang sejak tadi memandang ke arah lain.
Jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya dengan hanya mendengar nama Aisha yang entah Aisha mana yang dimaksudkan.
“Iya itu maksudnya Mba,” jawab Gus Fakih antusias
“Oh nggeh Gus, sebentar saya panggilkan. Permisi ustadz,” ucap Rini sopan ketika melewati Faris. Faris hanya mengangguk tersenyum.
Faris dan Gus Fakih menunggu di halaman asrama, karena memang laki-laki dilarang melewati batas asrama putri.
***
Bersambung ....
Jangan lupa vote, like and coment buat nyemangatin author ya readers tersayang ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments
YouTrie
Like thor
2021-06-01
0
Garis_Langit
Mampir kak😊
2020-10-24
1
Desrayanii
Likeee Lovee ❤❤❤🥰
2020-10-07
0