“Sepuluh panggilan tak terjawab?,” gumam Faris terkejut ketika melihat deretan panggilan tak terjawab dari Aisha.
Jemarinya segera menekan tanda panggil di kontak Aisha, tapi justru nomor yang dituju tidak aktif.
Beberapa kali ia lakukan hal yang sama, tapi nihil hasilnya tetap sama, hanya suara operator yang menjawab.
Ia mencoba menghubungi nomor Maya, namun sama tidak aktif.
“Ada apa sama kamu Sha?” lirih Faris khawatir.
***
“Apa kamu gak mau sekedar berpamitan sama Faris nak? Bagaimanapun juga Faris selama ini yang selalu ada buat kamu, dia yang selalu mengerti dan membantu kamu,” tutur Maya mengingatkan Aisha untuk menghubungi Faris.
“Tadi Aisha udah sempet berkali-kali nelpon Faris bu, tapi nomornya gak aktif.”
“Aisha titip ini aja buat Faris ya bu,” ucap Aisha menyerahkan selembar kertas yang sudah dilipat rapih.
“Ya sudah nanti ibu akan kasih ini kalo Faris udah pulang ke Surabaya.”
“Ibu hati-hati yah di jalan,” ucap Aisha melepas kepulangan ibunya.
“Kamu baik-baik yah di sini, kalo ada apa-apa segera hubungi ibu,” jawab Maya sendu, yang kemudian diangguki oleh Aisha.
Lama mereka saling berpelukan, sungguh semua itu teramat berat bagi Aisha.
Tapi tekadnya untuk memperbaiki diri sudah bulat, apapun resikonya harus ia hadapi kuat.
“Saya titip Aisha nggeh bu Nyai,” ucap Maya takdim, lalu mencium punggung tangan gurunya yang sudah merenta.
“Kamu tenang saja Maya, Aisha pasti betah di sini. Ya to nduk?” jawab bu nyai yang yang justru bertanya pada Aisha.
Aisha yang ditanya segera mengangguk takdim.
“Ibu pulang ya sayang.”
“Saya pamit nggeh bu Nyai, Assalamualaikum,” pamit Maya yang kemudian dijawab oleh Aisha dan Nyai Hamidah bersamaan.
***
Faris semakin kalut ketika nomor Aisha tak kunjung ada perubahan, masih tetap tidak aktif.
Setelah pesawatnya landing di Bandara Juanda Surabaya, Faris segera menuju rumah Aisha, ia benar-benar khawatir akan keadaan Aisha.
Sepanjang perjalanan Faris mencoba terus menghubungi nomor Maya, setelah berulang kali akhirnya tersambung.
“Hallo bu," ucap Faris terburu-buru.
“Iya nak Faris?” jawab Maya dari seberang telepon.
“Ibu baik-baik aja kan bu?” tanya Faris terdengar khawatir.
“Ibu baik-baik aja nak, memangnya ada apa?” tanya Maya bingung mendengar Faris seperti orang panik.
“Aisha gimana bu? Dia baik-baik juga kan?”
“Aisha ….” Maya menggantung kalimatnya, membuat Faris semakin penasaran sekaligus khawatir.
“Aisha kenapa bu?”
“Nak Faris sekarang dimana?”
“Faris lagi di jalan pulang bu, abis dari Bandara Faris langsung menuju ke situ sekarang.”
“Ya sudah kamu tenang saja, nanti ibu jelaskan kalo kamu udah sampe rumah ya,” jawab Maya menenangkan Faris.
“Baik bu, setengah jam lagi Faris sampe,” jawab Faris lalu mengakhiri sambungan telepon.
Ada haru ketika ternyata Faris teramat mengkhawatirkan putrinya.
“Nak Faris benar-benar anak yang tulus,” gumam Maya bermonolog.
Faris semakin khawatir setelah mendengar penuturan Maya, sepanjang jalan yang memenuhi otaknya hanyalah tentang Aisha.
“Sebenarnya ada apa sama kamu Aisha?” tanya Faris bermonolog.
Dan benar saja, belum sampai setengah jam Faris sudah tiba di rumah Maya. Dengan tergesa ia melangkah masuk.
“Assalamualaikum,” ucap Faris sambil menekan bel di depan pintu.
Tak butuh waktu lama pintu pun terbuka, menampilkan Maya yang sudah menunggunya.
Faris menjabat tangan Maya terlebih dahulu, lalu duduk di ruang tamu mengikuti langkah Maya.
“Sebenarnya ada apa sama Aisha bu?” tanya Faris terdengar panik.
“Tenang dulu nak, ibu ambilkan dulu minum yah,” jawab Maya yang melihat keadaan Faris seperti orang panik, bahkan ia tak sempat menghapus peluh di dahinya.
Maya kembali dengan segelas minuman untuk Faris menenangkan dirinya.
“Aisha sudah pergi nak.”
“Uhuk ... Uhuk,” Faris tersedak minumannya sendiri.
“Maksud ibu?” tanyanya mengerutkan dahi, tanda ia benar-benar tak paham.
“Aisha pergi ke suatu tempat yang kita sendiri tidak boleh tahu itu dimana, Aisha bilang dia tidak ingin ada yang tahu dimana tempat dia memperbaiki diri.”
“Apa yang membuat Aisha tiba-tiba seperti ini bu?”
“Nasibnya, perasaannya, juga semua kepahitan kenangannya di sini.”
“Tapi berapa lama Aisha akan kembali?”
“Entahlah, ibu sendiri tidak tahu. Ia hanya menjawab hingga hatinya kuat menghadapi segala pahitnya kenyataan.”
“Allahu ….” rintih Faris memijat keningnya sendiri.
“Aisha menitipkan ini sebelum pergi, katanya beberapa kali dia mencoba menghubungi nak Faris tidak bisa,” ujar Maya seraya menyodorkan kertas yang sudah dilipat rapi.
“Sejak kemarin memang handphone Faris gak dapet sinyal bu, begitu ada sinyal langsung ada notifikasi panggilan dari Aisha berkali-kali.”
“Tapi pas Faris coba buat ngehubungi balik nomor Aisha udah gak aktif.”
“Terima kasih ya nak Faris, selama ini kamu selalu tulus membantu Aisha, kamu sudah membantu ibu untuk menjaganya.”
“Faris tulus menyayangi Aisha bu,” jawab Faris yang membuat Maya terkejut.
“Maksud nak Faris selama ini nak Faris menyukai Aisha?”
Faris mengangguk lemah, ada sesak ketika ternyata ia terlambat menemui Aisha.
“Apa nak Faris pernah mengutarakan langsung perasaan nak Faris pada Aisha?”
Lagi-lagi Faris hanya menggeleng lemah.
“Faris takut jika ini hanya akan membebani Aisha bu, karena Faris tahu selama ini Aisha belum benar-benar bisa melupakan Azka.”
Untuk kesekian kalinya Maya dibuat kagum dengan ketulusan dan kerendahan hati Faris.
“Semoga perjuanganmu gak sia-sia ya nak, ibu gak bisa banyak membantu karena semua keputusan ada di tangan Aisha.”
Faris hanya tersenyum lemah menanggapi perkataan Maya.
“Kalo gitu Faris permisi dulu ya bu, ibu kalo ada apa-apa segera hubungi Faris yah,” ucap Faris berpamitan, yang kemudian diangguki oleh Maya.
“Assalamualaikum,” Faris berlalu setelah lebih dulu menjabat tangan Maya takdim.
“Waalaikumsalam,” Maya mengantar Faris hingga ke depan pintu, lalu masuk kembali setelah mobil Faris menghilang di balik gerbang.
***
Faris melajukan mobilnya kencang, membelah ramainya kendaraan berlalu lalang.
Ada sesak juga sesal yang memenuhi dadanya karena kepergian Aisha.
“Kenapa kamu tiba-tiba pergi tanpa kabar seperti ini Sha?” gumamnya lirih. Pikirannya benar-benar kalut.
“Apa aku sudah terlambat Sha?”
“Apa kita ditakdirkan memang untuk sebatas teman?”
“Kenapa rasanya sakit sekali.”
Faris memakirkan mobilnya di tempat biasa ia dan Aisha kunjungi, yang tak lain dan tak bukan adalah Surabaya North Quay.
Aisha yang pertama kali mengenalkannya pada tempat itu, di sana ia selalu bisa menenangkan hati dan pikirannya.
Faris memilih untuk pergi ke atap Surabaya North Quay, karena dari sana ia tidak hanya bisa melihat pemandangan laut ataupun kapal-kapal pesiar mewah berjajar, tapi juga ia bisa dengan tenang menikmati indahnya langit luas dengan rona senja seperti yang selalu berhasil membuat Aisha terpesona.
Ia memang kerap kali menghabiskan waktu di sana, tentunya bersama Aisha. Tapi kali ini hanya bayang-bayang dalam imajinasi Farislah yang menemani dirinya.
Perlahan Faris membuka lipatan kertas yang dititipkan Aisha pada Maya, ia baca perlahan dari awal.
Baru baris kesekian, tapi netranya sudah nanar karena airmata yang bersarang, hatinya sesak untuk sekedar menerima kenyataan.
Pantas saja banyak orang yang hilang akal karena ditinggalkan, rupanya sesakit ini juga yang Faris rasakan.
Jika mencintai bisa begitu mudahnya, kenapa mengikhlaskan begitu sulit rasanya.
Faris masih banyak berharap akan kisahnya dengan Aisha. Tapi apakah Aisha juga sama? Apa dihatinya masih ada sisa untuk sekedar menyelipkan lagi nama?.
Setelah dirasa sesak dihatinya mereda, Faris turun menuju mushola ketika mendengar adzan maghrib tengah berkumandang.
Faris melangkah gontai hingga netranya mendapati sosok yang sangat ia kenal tengah menggendong bayinya di penghujung ruangan.
“Lo di sini Ka?” tanya Faris ketika sudah menghampiri Azka.
“Eh lo Ris, iya gue lagi jalan-jalan aja sama Rafa,” jawab Azka memperlihatkan putranya yang tengah digendongnya.
“Hai baby Rafa,” sapa Faris dengan gaya seperti anak kecil lalu mengusap-usap pipi Rafa gemas.
“Lo udah dari tadi di sini?”
“Lumayan lah tadi sekitar jam limaan,” jawab Azka.
“Lo gak bawa perawat?” tanya Faris yang memang hanya melihat Azka bersama Rafa.
“Bawa kok, dia lagi solat.”
“Lo sendiri? Gak sama Aisha?” tanya Azka yang sejak tadi mencari-cari sosok Aisha.
Faris menggeleng lemah, ada sesak yang kembali merayap saat Azka menyebutkan namanya. Azka mengerutkan kening meminta jawaban.
“Gimana kalo kita makan malem dulu? nanti gue ceritain yang sebenernya,” ajak Faris yang kemudian diikuti Azka.
“Tapi Aisha baik-baik aja kan Ris?” teriak Azka sambil mengejar langkah Faris.
“Berisik lo!, nanti gue jelasin. Sini biar Rafa gue yang gendong,” pinta Faris yang langsung membawa Rafa dalam gendongannya.
Sebelum mereka memulai makan, akhirnya perawat Rafa datang setelah lebih dulu Azka beritahukan keberadaan mereka.
Azka menyerahkan Rafa dalam gendongan perawat, karena memang sudah saatnya Rafa minum susu juga.
“Aisha udah pergi,” ucap Faris datar setelah menghabiskan makanannya.
Azka yang sudah lebih dulu menghabiskan makanannya membulatkan netranya tak percaya.
“Pergi gimana maksud lo?” tanya Azka tak paham.
“Gue sendiri gak tahu kemana dia pergi.”
“Tunggu! Gue masih gak paham gimana, coba lo jelasin dari awal.”
“Seminggu yang lalu gue pergi diutus dari Rumah Sakit buat ikut membantu relawan menyelamatkan korban bencana di luar kota, di sana memang agak susah dapet sinyal, jadi gue gak sempet buat ngehubungi Aisha. Pas gue dapet sinyal ada notif panggilan berkali-kali dari Aisha, tapi waktu gue telpon balik nomornya udah gak aktif. nomor bu Maya juga sama.”
Azka hanya sesekali mengangguk mengiyakan.
“Nah gue langsung pulang karena khawatir terjadi apa-apa sama Aisha, ini aja gue belum pulang ke rumah. Tadi abis dari bandara gue langsung ke rumah Aisha, dan bu Maya ngejelasin semuanya.”
“Sedalam itu perasaan lo buat Aisha Ris?” tanya Azka tiba-tiba.
“Apa lo masih belum bisa ngelupain Aisha?” jawab Faris yang justru balik bertanya.
“Gue gak pernah ngelupain Aisha, tapi gue belajar buat ikhlas sama apa yang udah Tuhan takdirkan. Mungkin emang gue yang gak berjodoh sama Aisha, mau seperti apapun gue berusaha hasilnya tetap sama, Aisha udah terlanjur kecewa.”
“Terus kemana sebenernya Aisha pergi?” tanya Azka kembali.
“Bu Maya gak ngasih tahu kemana Aisha pergi, Aisha sendiri yang berpesan kalo dia gak mau ada yang tahu dimana dia memperbaiki diri.”
“Apa lo mau nyerah gitu aja sama perasaan lo Ris?”
“Gue juga gak tahu, belum tentu juga Aisha punya perasaan yang sama ke gue,” jawab Faris lemah.
“Lo sendiri? Bukannya sekarang Diana udah gak ada, Rafa juga butuh sosok ibu untuknya, apa lo gak ada niatan buat balikan sama Aisha?” tanya Faris memancing Azka.
“Siapa gue punya hak buat memaksakan kehendak Ris, Aisha berhak bahagia dengan pilihannya, termasuk jika itu lo.”
***
Sepulang dari North Quay Faris langsung membersihkan diri lalu merebahkan dirinya diatas tempat tidur kesayangannya.
Tubuhnya butuh istirahat, terlalu banyak kejadian hari ini yang memilukan hatinya. Pandangannya menatap kosong langit-langit kamar, dengan bayangan Aisha yang masih saja bersarang.
“Apa yang harus aku lakukan Sha?”
“Menunggu kamu? Tapi apa kamu juga merasakan hal yang sama Sha?
Faris langsung mengucapkan istighfar, lagi-lagi ia berharap sesuatu yang tak pasti dari manusia.
“Aku sudah merasakan semua kepahitan dalam hidup, dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.” (Ali bin Abi Thalib)
Dengan penuh keyakinan Faris menguatkan hatinya bahwa hal terbaik untuknya adalah menerima semuanya dengan lapang dada.
Ia membulatkan tekadnya, jika Aisha saja tengah berusaha untuk ikhlas kenapa dirinya tidak juga belajar untuk ikhlas pada semuanya. Bukankah semua sudah ada yang menata?
“Jika dia yang namanya tertulis di lauhul mahfudz untukku, maka mudahkanlah jalanku,” lirih Faris dalam diamnya.
“Ya Alloh Ya muqollibal quluub, tsabbits qalbii alaa diinika.”
***
Jangan lupa vote, like and coment buat nyemangatin author ya readers tersayang ….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 219 Episodes
Comments
Rozh
🌹
2021-05-21
0
browniest~
next up Thor udah like sampe sini rate 5 juga ,,terimakasih sudah mampir 😆❤❤
2020-12-18
1
Wulandari
10 like datang 🤗🤗🤗🤗🤗
2020-12-07
0