PART 11 LUKA LENGAN

Kubuka pagar rumah dan menutupnya kembali, berjalan riang sembari bersiul senang. Ups! Aku lupa kalau sedang hamil. Kuusap perutku sayang, bergumam pelan, “Maaf ya sayang.” Berjalan menunduk, menatap perut.

Tanpa kusadari bahwa aku tengah berjalan melewati seseorang yang seharusnya kucari-cari—sedang membuka kap mobil membetulkan mobilnya yang mogok di depan rumah separuh jadi, sebelah rumahku.

Sayangnya, aku tak menyadari kehadirannya.

Sampai di ujung jalan komplek perumahan, tampak si penjual mi goreng keliling tengah sibuk melayani para pembelinya. Jarak satu meter, jari telunjukku menghitung jumlah orang yang sedang mengantri di depan rombong. Ada 3 orang yang masih menunggu. Tak apalah, menunggu sebentar.

Jangan pingsan dulu ya sayang, batinku mengajak bicara makhluk kecil dalam perutku.

“Pak, mi gorengnya satu,” pesanku setelah sampai di depan si penjual.

“Tunggu ya mbak. Antre,” balas si penjual menjawab tanpa melihatku, tangan dan pandangan matanya tertuju pada wajan penggorengan.

“Iya, pak,” kataku sembari mencari tempat untuk duduk.

Tiba di rumah, kubuka pembungkus kertas dengan tidak sabar setelah tadi hampir 25 menit menunggu akhirnya aku mendapatkan makananku: sebungkus mi goreng enak.

Menelan pelan sendokan terakhir—menenggak habis air minum dalam gelas. Kenyang, aku benar-benar kenyang. Mm, ternyata mi gorengnya tetap enak loh!

Dulu, pulang dari bimbel atau pulang dari kerja kelompok aku sering mampir beli mi goreng. Kira-kira sudah hampir 11 tahun aku tidak pernah mencicipi lagi rasa mi goreng di komplek perumahanku, rasanya bikin kangen.

“Hoaem.” Aku menguap lebar, mendadak kantuk menyerang tak tertahankan. Kubereskan piring bekas makan dan mencucinya, lalu menuju kamar tidur. Tak butuh waktu lama aku pun tertidur pulas.

♡♡♡♡♡♡

“CUT!” teriak sang sutradara lantang.

Aku menarik napas lega, akhirnya syuting episode terakhir sudah selesai. “Terima kasih semua, atas kerja samanya” ucapku ramah, mengedarkan senyum manis sempurna—para kru membalas dengan lengkung senyum yang sama.

“Ayo pulang,” ajak Firda yang tiba-tiba datang, memakaikan jaket ke punggungku. “Aku sudah bilang kalau kamu tidak enak badan—jadi tidak bisa ikut makan-makan.”

Kuanggukkan kepala bergumam “oh” pelan, menuju ke mobil.

“Nes, kamu mau makan apa?” tanya Firda beberapa saat setelah mobil melaju keluar dari tempat syuting.

“Ke tempat biasa saja,” jawabku datar. Menyandarkan kepala ke sandaran kursi, lelah.

“Tempat biasa?” balasnya berpikir bingung sejenak lalu kemudian berkata, “O-oke.” Seakan mengerti dengan apa yang kumaksudkan.

Kursi restoran tampak sepi pengunjung, hanya ada beberapa orang yang duduk menikmati makanannya. Ya, aku suka tempat ini karena tidak banyak pengunjung yang datang—jadi aku bisa tenang untuk makan.

“Fir, aku ganti baju dulu. Kamu pesan saja seperti biasa,”

“Sayur kelor?”

“Yup!” jawabku singkat lalu berlalu pergi dari hadapannya menuju toilet. Tentu saja, tidak mungkin aku makan sambil mengenakan gaun pesta panjang se-tumit (kostum syuting). Sungguh tidak nyaman.

Selesai berganti baju, aku kembali ke tempat duduk di mana Firda duduk sekarang. Sambil menunggu aku teringat akan satu hal: menemukan bapak dari jabang bayiku.

“Fir, kamu masih ingat gak siapa saja mantan pacarku,” tanyaku dengan wajah serius.

Sproot! Air yang diminumnya sontak tersembur keluar. Kaget mendengar perkataanku barusan.

“Nesya, bisa kita bahas nanti. Aku tidak mau selera makanku hilang, gara-gara membahas para mantan pacarmu yang terlalu banyak,” sanggahnya sedikit kesal.

Spontan saja aku mengerucutkan bibir mendengar jawaban yang kurang bersahabat darinya. “Iya, iya.”

Sesampainya di rumah, aku segera menarik pergelangan tangan Firda dan mendudukkannya di sofa—berbicara empat mata dengannya.

“Fir, syuting kan sudah kelar. Jadi—”

“—iya tahu. Kamu ingat-ingat dulu siapa saja mantan pacar kamu. Kalau bisa dibikin daftar, ditulis besar-besar di papan. Biar jelas siapa-siapa saja yang harus kamu tanyai.”

Kupukul gemas bahu lengannya pelan. “Lebay. Biasa saja kali,” ucapku sewot tidak terima.

“Kan betul. Masak salah,” katanya terdengar konyol.

Aku menghela napas pelan, enggan memulai perdebatan dengannya. “Terus menurutmu aku harus bagaimana?”

“Kamu tulis saja nama dan alamat para mantan kamu. Biar aku yang tanya dan cari tahu tentang mereka. Kasihan kalau si kecil kamu ajak keluyuran gak jelas.”

Kuhela napas pendek sejenak sembari berpikir. “Ehm, okey. Aku ambil buku dulu,” jawabku beranjak dari duduk—mencari sesuatu untuk menulis.

Kutemukan notes kecil bergambar hello kitty di dalam laci aksesoris, pemberian dari fans kecilku: gadis kecil, manis gendut menggemaskan (keponakan Firda).

“Sudah nulisnya,” sergah Firda tidak sabar.

“Belumlah. Baru juga ketemu bukunya. Aku tulis dulu.”

“Tulis saja dulu. Kubuatkan jus jeruk biar tidak mual.”

“Waa, terima kasih mbak candut. Baik deh.” Senyumku menyindir secara halus.

“Sama-sama tuan putri,” balasnya konyol.

Sambil sibuk menulis, aku memainkan pena mencoba mengingat kembali masa-masa lalu yang telah silam. Ada beberapa yang masih kuingat, ada sebagian yang terlupa. Benar kata Firda, “terlalu banyak mantan”.

Hei! Aku bukan play girl, hanya terlalu famous. Hohoho. Itu nyata bukan bualan semata.

Kumulai menulis urutan nama yang pertama sampai dengan nama yang kesepuluh. Yup, aku hanya mengingat kesepuluh nama mantan pacarku, yang lainnya tidak.

Dengan ragu kuberikan buku notes itu pada Firda, ia mengernyitkan kedua alis ketika membaca siapa-siapa nama yang tertera dalam daftar. Ada satu-dua nama yang tak dikenal olehnya.

“Mm, ciri-ciri orangnya seperti apa? Apa ada yang sama dengan salah satu mantanmu?” tanya Firda menyelidik.

Aku menatap tembok—berpikir sejenak menerka-nerka kemungkinan ciri-ciri yang hampir sama antara lelaki itu dan salah satu dari mantan yang kusebutkan.

Sampai Firda membuyarkan lamunanku, “Gimana? Ada yang sama gak?”

Aku menatapnya ragu-ragu lalu tiba-tiba teringat—berpikir sedikit lagi, akhirnya muncul gambaran samar sosok dari salah satu nama mantan yang terlontar gamblang dari mulutku.

“Kamu yakin itu dia?”

“Sepertinya?” kataku, “kita coba dulu saja dari yang nomor satu. Aku coba tanyakan pada teman se-SMA-ku saja. Minta tolong yang ini dan ini saja. Kamu pasti kenal mereka bertiga,” kata-kataku terdengar begitu antusias, menunjuk nama yang aku maksudkan dalam notes.

“Lalu Leon?” Firda bertanya tak mengerti.

“Buat apa tanya dia. Jelas-jelas dia selingkuh sama wanita lain. Jangan sebut namanya lagi, bikin kesal,” sentakku berapi-api, mendadak marah.

Firda spontan menepuk-nepuk pelan bahu lenganku, “Sabar, sabar. Maaf, salahku. Jangan marah. Ingat si kecil. Tenangkan diri. Ambil napas dalam, embuskan."

Tanpa sadar aku mengikuti arahannya, sedikit membantu memang.

Mendadak teringat akan satu hal.

Siang!

Miels balik up date. maafkan lama 🤗

bwt bantu like komen dan rate 5 ya.

ikutan grup miels juga dong, banyak poin menunggu. makasih

Terpopuler

Comments

Lisa Z

Lisa Z

halo ka, lanjut baca buat dukungan aku untuk kk minggu ini 😘

2022-03-22

0

Lisa Z

Lisa Z

dihitung pake jari masih bisa ga?

2022-03-20

0

Rahma_adhn

Rahma_adhn

Fiuuhh akhirnya sampe part terakhir ... ga kerasa bacanya.

Yok miels up up up

2020-06-08

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!