PART. 8 45 HARI

45 hari kemudian ….

Elle, Singapore. Lipstik merah cabai mewarnai bibir tipis menggoda jiwa. Bulu mata lentik mempesona diantara kedipan bola mata safir hitam membuat setiap kumbang kelana terpikat acap kali melirik padanya. Jari jemari terampil menari-nari pada paras elok nan anggun jelita, seseorang membantunya membetulkan pulasan make up yang hampir pudar oleh keringat. Sedikit merapikan tatanan rambut hitam pekat tergerai panjang sepinggang.

Blus merah berenda motif bunga lengan panjang tampak sangat pas di badan, memberikan kesan sexy dan glamour dengan pernak-pernik berkilau di jari manis yang lentik. Sudut matanya melirik enggan pada sebuket besar mawar merah yang terpajang cantik di sudut ruangan di atas setumpuk kado dari para penggemar pengagum setia.

“Nes, ada telepon?” Firda menghampiri tergopoh-gopoh membawa ponsel, menyodorkannya padaku.

“Siapa?” tanyaku mendongak.

Firda mengulum bibir tak menjawab, aku jelas tahu maksud dari sikapnya.

“Leon?” tanyaku kemudian mendengus kesal. Firda menggangguk mengiyakan.

Keringat dingin menetes tipis di pelipis Firda, mimik mukanya kebingungan. “Terus aku mesti bilang apa? Sudah berkali-kali dia telepon tanya kamu.”

“Bilang saja, ‘aku sudah punya pacar baru’. Lagian sudah hampir sebulan aku putus sama dia, masa masih belum move on juga,” kataku meluapkan kekesalan.

“Kamu bilang sendiri gih! Kalau aku yang bilang, dia mana percaya,” sanggah Firda enggan.

Aku menghela napas panjang, kuambil ponsel dari tangan Firda dan menjawab, “Leon.”

“Nesya. Sayang … baby … please, maafin Leon. Leon cuma cinta sama Nesya. I love you baby, I just falling in love with you nobody else”

“Aku gak cinta dan kita sudah putus. Titik!” jawabku sebelum menutup sambungan telepon lebih dulu.

“Dwe … yang lagi marah. Jahat banget. Leon ‘kan sudah minta maaf Nes. Kenapa gak dimaafin sih jeng,” ucap Firda berkomentar seraya menepuk pundakku genit.

Aku menyipitkan mata menatap tajam. “Kamu belain Leon?”

Firda meringis malu, “Habis Leon ganteng sih!” jawabnya mupeng.

“Pacaran sana sama Leon,” tukasku ketus.

“Masalahnya Leon mau gak sama candut macam aku,” ucapnya mengibaskan rambut bak artis iklan sampo dadakan. Mbak perias yang berdiri di sebelahku menahan tawa geli melihat tingkah Firda.

Aku mengernyitkan dahi penasaran. “Apa tuh candut?” tanyaku ingin tahu.

“Cantik Gendut,” jawabnya mengerling sebelah mata genit.

Sontak saja kupu-kupu dalam perutku terbangun dari tidurnya, aku tertawa terpingkal mendengar lelucon konyolnya.

Yah, Firda memang humoris. Aku berteman dengannya sejak zaman masih SD, bertemu tak sengaja di lokasi syuting. Waktu itu dia sebagai set dresser pada salah satu film layar lebar yang kubintangi. Saking senangnya lama tak bersua, kami jadi sering hang out, shopping, dan yang paling sering adalah kuliner bareng. Sampai-sampai bobotku naik hampir 5 kilo dalam sebulan. Akhirnya dengan terpaksa aku harus diet ketat dan nge-gym selama sebulan untuk menurunkan berat badan. Kalau diingat lagi bikin senyum-senyum sendiri.

Asal tahu saja, Firda itu nama aspal dia (alias palsu). Nama aslinya Ida Fidyawati, biar lebih keren panggilannya jadi “Firda”. Sebenarnya aku yang punya ide kasih nama itu, untungnya dia okey-okey saja, jadi enggak perlu syukuran bubur merah.

“Nes, fotografer-nya sudah datang,” katanya mengingatkan.

Dengan segera aku beranjak dari duduk dan siap bergaya di depan kamera.

♡♡♡♡♡♡

Selesai sesi pemotretan kami langsung berbenah dan terbang kembali ke negara. Masih ada jadwal sinetron untuk besok.

Keesokan harinya …

“Uwek!”

Tidak ada cairan yang keluar dari mulutku. Aku kenapa? Jadi mual gak jelas. Apa gara-gara burger semalam, batinku mengingat kejadian tadi malam.

Pulang dari bandara, dalam perjalanan ke rumah Firda bertanya, “Nes, kamu gak makan? Nanti masuk angin lho.”

“Malas makan. Eng, makan burger saja deh!” jawabku simpel.

“Kok burger sih Nes.”

“Biarin, pokoknya makan burger.”

Firda hanya bisa menghela napas pendek mendengar kemauanku yang tak bisa diganggu gugat. Akhirnya mobil pun berbelok mampir sebentar ke drive tru KFC setelah itu baru pulang.

Masak iya aku masuk angin? Batinku menerka-nerka. Ponsel di atas tempat tidur berdering lama, aku berjalan terseok-seok mengambilnya.

“Halo!”

“Nes, sudah bangun? Tadi aku ditelepon. Syutingnya ditunda lusa depan. Jadi hari ini kamu di rumah saja. Okey, jangan ke mana-mana!” tutur Firda memberi peringatan keras padaku.

“Fir, kayaknya aku masuk angin. Habis muntah.”

“Muntah! Makanya makan nasi Nesya. Ini malah cuma makan burger,” cibir Firda kesal.

“Hush! Comel amat. Minta tolong dong belikan obat.”

“Okey. Mandi saja dulu terus istirahat,” pesannya mirip mamaku.

“Iya ibu,” jawabku konyol.

“Anak bandel. Sudah sana mandi. Aku OTW ke rumahmu.”

“Jangan lupa bawa makanan. Lapar.”

“Iya.”

Selesai menutup telepon aku berlari terbirit ke kamar mandi, tak kuasa menahan mual (mau muntah).

Kutatap diri di depan cermin, tampak pucat pasi kelelahan. Aku kenapa ya? Batinku menerka-nerka mencoba mengingat sesuatu.

O, ya! Aku belum … kayaknya. Jangan-jangan. Enggak, enggak mungkin. Tanpa pikir panjang lagi, aku berlari terburu—menggeledah lemari pakaian dan laci tempat assesoris. Ini dia!

Untung waktu itu aku tidak jadi membuangnya karena kupikir tidak terlalu butuh dengan benda ini, hanya untuk jaga-jaga.

Aku kembali ke kamar mandi dan mengetesnya. Butuh waktu 5-10 detik untuk memastikan hasilnya dan … sungguh diluar harapanku.

*S*trip merah 2 terpampang jelas di depan mata. Tidak mungkin, tidak mungkin, ini pasti mimpi. Kutepuk-tepuk kedua pipi bergantian lalu mencubit lengan marah. Sakit!

Menatap diri dalam cermin tak percaya sembari memegang perut sedikit meremas. Tidak mungkin aku ….

Ting … tong … ting … tong …. Suara bel rumah berbunyi mengagetkan membuatku terperanjat, namun tak segera beranjak malah tertegun menatap test pack bingung. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Terdengar bel rumah berbunyi untuk kedua kalinya. Kali ini aku bergerak pelan menuju pintu. Firda berdiri di depanku sekarang.

“Firda ….” Aku merengek menyebut namanya sembari memeluknya erat.

Firda menepuk-nepuk pundakku ingin dilepas.

“Nes, Nes, sesak.”

Aku melepas pelukan—menatapnya dengan pandangan mata sedih. Bingung harus bilang apa sampai Firda melontarkan sebuah pertanyaan, “Kenapa Nes?” tatapnya penasaran.

“E-enggak. Gak apa.” Menggeleng menutupi kebenaran saking bingungnya, bingung antara mau bilang atau tidak bilang.

“Terus … kenapa peluk. Tumben, bikin kaget saja. Gimana, masih sakit?” tangannya menyentuh dahi dan tengkukku. “Panas, ke dokter ya,” saran Firda mengajakku.

Sontak terbelalak mendengar ucapan Firda. Tidak, aku tidak mau dia sampai tahu kalau …. Mungkin saja hasilnya salah atau test pack-nya kedaluwarsa, batinku berasumsi sendiri.

“Gak perlu. Aku gak apa kok,” jawabku panik, menyelipkan benda itu dalam kantong piyamaku.

“Ya sudah. Makan dulu gih!” perintahnya menyodorkan bungkusan bubur ayam padaku.

Terpopuler

Comments

Chocooya

Chocooya

haloo kak aku hadir lagii🥰 semangat!!

2022-04-07

1

ɃΌꭆꭇꬴꮮ 🗡️

ɃΌꭆꭇꬴꮮ 🗡️

garis 2

2021-02-20

1

AD Dhama

AD Dhama

hamil?

2020-05-28

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!