“Fint…” Mataku spontan melotot galak padanya.
Fint balas menyunggingkan senyuman miring sembari mengecup punggung tanganku. “Jangan lupa telepon.”
“Sudah sana pulang,” usirku memelototkan mata galak.
“Iya, pulang, pulang.” Melepas pegangan tangannya dari tanganku, melambaikan tangan berpamitan pada Firda. “Fi, pulang dulu.”
“Iya, abang ganteng,” jawabnya kenes.
Ingin rasanya kucubit ujung bibir tipisnya yang genit abis. “Fint tuh ya, udah ganteng, kaya lagi, coba jadi pacar Fifi,” ucap Firda genit acap kali selesai bertemu muka dengan Fint. Taulah Firda, dari dulu girang heboh sendiri kalau lihat Fint, aku jadi tidak habis pikir kenapa bisa begitu.
Fint Willyor, lelaki berperawakan Soloing (Solo-Inggris). Papanya orang bule Inggris, mamanya orang asli Klaten, Solo. Awal mulanya, aku bertemu dengannya di kampus.
Sore yang sepi, di samping gedung fakultas Akuntansi.
Plak!
Tamparan keras menghantam pipi sebelah kanan, meninggalkan bekas merah lima jari terukir temporer. Pukulan lainnya hampir mengenai wajahku ketika sebuah cengkeraman menahan tangan Regan dari belakang.
“Mau apa kamu?” bentak Regan marah pada pemuda yang datang barusan.
“Reg, dia pacar kamu, bukan musuh kamu,” ujarnya mengingatkan secara halus dan sopan.
“Makanya dia pacar aku jadi—”
“—jadi, bisa kamu pukul seenaknya,” tukasnya sengit, membela.
Regan berkacak pinggang, pasang tampang sok angkuh. “Bukan urusan kamu. Dia pacar aku.”
“Kita udah putus dan nggak perlu ketemu lagi,” jeritku marah dan ketakutan. Bergerak pergi dari tempat itu secepat mungkin. Belum sempat melangkah, Regan sudah lebih dulu menarik lenganku kasar.
“Reg, lepasin,” erangku berontak, berusaha menepis pegangannya yang meremas kuat-kuat tanganku, seketika itu juga aliran darahku terasa terhenti sementara di bagian lengan.
“Reg, hentikan!” sentak pemuda itu marah.
Grab!
Regan bergerak cepat, menarik kasar kerah baju pemuda itu. “Nggak usah ikut campur.”
Mereka berdua beradu pandang dalam diam, sorot mata nanar keduanya bagaikan 2 ekor serigala kelaparan yang saling berebut buruan.
Buk!
Sebuah pukulan melayang tepat di perut Regan, membuatnya merintih kesakitan. Berikutnya, pemuda itu menarik pergelangan tanganku cepat, membawaku lari menjauh dari cengkeraman Regan.
Napasku terengah-engah, aku tak sanggup mengikuti langkah kaki jenjangnya.
“Berhenti, berhenti. Capek,” rengekku menghentikan langkah secara tiba-tiba. Membungkukkan badan ke depan dengan kedua tangan bertumpu pada lutut. Mengatur napas yang hampir sepenggal. “Kamu siapa?” tanyaku penasaran pada sosoknya yang mendadak muncul dan seenaknya membawaku pergi.
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berkacak pinggang sembari mengatur napas. “Aku Fint. Teman sekampus Regan. Kamu?”
Mendengar kata “teman sekampus” membuatku semakin merasa kesal. Paling juga dia sama brengseknya dengan Regan, batinku dalam hati.
“Mantan Regan,” tukasku ketus. “But the way, makasih dah ikut campur urusanku,” nada bicaraku terdengar tidak bersahabat. Tanpa berpamitan aku berbalik badan, pergi.
Seketika itu juga ia menarik pergelangan tanganku. “Tunggu! Kok marah sih! Kan tadi aku dah tolong kamu.”
“Terus,” kataku jutek.
“Traktir makan dong! Aku lapar.”
Aku melempar pandangan jengah ke tempat lain. Mendengus kesal sembari berkata, “Lapar nih ceritanya. Jangan-jangan kamu sekongkol sama Regan.”
“Jangan salah paham, non. Aku tadi kebetulan lewat dan nggak paham masalah kalian,” jelasnya menatapku serius. “Maaf, kalau aku ganggu.” Ada nada kecewa dari cara bicaranya, kemudian ia melangkah pergi meninggalkanku sendirian.
Entah kenapa? Aku jadi merasa bersalah. Sudah ditolong malah tidak tahu terima kasih. Aku berlarian kecil mengejar punggung yang tampak sedih merana, menarik lengannya sembari berkata, “Makan, yuk!” senyum semringah tersungging dari bibirku.
Ia membalasku dengan menampakkan sederet gigi putihnya di antara senyum.
Sejak itulah kami berteman, sampai akhirnya tanpa kami berdua sadari benih-benih cinta mulai tumbuh. Regan sempat beberapa kali menggangguku dan Fint harus merelakan diri mengaku-ngaku sebagai pacarku.
Suatu pagi di pekarangan atap salah satu vila milik keluarga Fint, setelah semalam seru-seruan berpesta barbeku menyambut pergantian tahun.
Aku masih ingat hari dan jamnya. Hari Minggu, pukul 6 pagi. Udara pagi yang dingin menusuk kulit, sedikit membuat hidungku membeku. Saudara dan beberapa teman yang ikut masih tertidur di dalam kamarnya masing-masing, enggan tuk terbangun.
Fint menyelimutkan sarung bali pantai di punggungku. Tunggu dulu! Dia memelukku dari belakang, melingkarkan kedua lengan di pinggangku.
“Nggak dingin?” tanya Fint singkat.
Aku menggeleng pelan, sedikit kikuk mendapati sikap Fint yang tiba-tiba intim, meski biasanya dia terkadang seperti itu padaku, tapi kali ini lain. Benar saja, ia mendaratkan sebuah kecupan di rambutku.
“Sya.”
Tubuhku berdiri mematung. “Hmm,” jawabku bergumam. Bisa kurasakan embusan napasnya menggelitik daun telingaku.
“Aku, suka sama seseorang.”
Bagai diterpa angin bohorok, hatiku rasanya limbung tak tentu arah. Dadaku mendadak sakit seperti ditusuk sembilah. Setelah hampir setahun berteman, baru sekarang Fint mengatakan suka dengan cewek lain. Rasanya sedih mendengar ucapnya barusan.
“Kamu nggak marah?”
Aku bergeming, tak terburu menjawab, masih berpikir sejenak sampai Fint membalikkan badanku menghadapnya. Kepalaku tertunduk dalam tak mampu menatap matanya langsung
“Sya, kenapa?” tanya Fint mensejajarkan mata denganku.
“Enggak. Nggak apa. Aku, aku ke kamar dulu,” pamitku terburu-buru ingin segera lari dari tempat ini.
Sebetulnya aku menunggu dirinya mencegat, menarik lenganku dan memberikanku sebuah pelukan, karena sekarang anak sungai perlahan menggenang di pelupuk mataku.
“Sya, tunggu!” pekiknya tertahan, menarik lengan kananku hingga membentur dadanya. Detik itu juga Fint mendekapku ke dalam pelukannya, sama seperti yang kubayangkan.
“Fint, lepaskan. Sesak,” erangku menolak mentah-mentah.
Ia melepas pelukan, tapi tidak pegangan tangan di kedua lenganku. Kedua manik mata kami saling beradu pandang.
Cup!
Aku terkejut, sebuah kecupan singkat mendarat tepat di bibirku.“Fint!” sentakku padanya marah.
“Apa?”
Sebuah senyuman tersungging dari bibirnya sembari menggaruk sebelah alisnya (pertanda dia malu). Ya, aku mengenalnya hampir sepekan dan aku tahu itu.
Kupukul dadanya gemas, “Kamu sengaja, ya?” erangku parau.
Benar saja, Fint tertawa terkekeh mendapati mimik muka sedih berlinang air mata di depannya, wajahku sudah mirip anak kecil perempuan yang kehilangan mainan. Jari-jemarinya mengusap air mataku lembut, memelukku lagi ke dalam dekapannya lebih erat. Kubiarkan diriku hanyut lebih lama dalam pelukan hangatnya, menghirup tuntas harum citrus aroma tubuhnya.
“Kenapa nangis?”
Kubenamkan wajahku lebih dalam, menggeleng tanpa menjawab tanya Fint. Dia menangkup wajahku dengan kedua tangan, bola matanya menatapku serius.
“Mulai sekarang, aku pacar dan teman kamu.”
“Nggak mau,” jawabku ketus.
Fint terbelalak mendengar pernyataanku yang sebaliknya, serta merta melepas pelukan, mengernyitkan dahi, bingung.
“Maksudmu? Kamu nggak mau kita jadian?” ujarnya benar-benar tak percaya. “Aku jadi bingung.”
Tawaku meledak melihat raut mukanya yang terlihat lucu sangat. Kedua alisnya mengerut dengan tatapan mata bingung, salah tingkah sendiri.
🔘😳
Malem semua, Miels up date kembali
Menurut kamu Nesya mau enggak jadi pacar Fint?
Bantu like dan komen ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Lisa Z
udah pasti cakep itu mahh
2022-03-28
0
DIY
bagus banget. semangat ya thor
2021-05-31
0
ɃΌꭆꭇꬴꮮ 🗡️
klau gk mau sma saya aja ka 😂✌✌✌
2021-02-20
0