PART 16 MISSING YOU

Ujung sol sepatuku berjalan berjinjit, masih mengedar dengan pandangan awas.

Aku meraba diri, baru teringat sekarang: ponselku … ada di dalam tas.

Alamak! Tasku tertinggal di atas meja rias. Aku berniat kembali ke tempat syuting, berlarian kecil sepanjang koridor berdinding kaca tebal.

Eits! Jarak 3 meter dari tempat syuting. Mendadak jantung ini dikagetkan segerombolan paparazi dengan seperangkat alat meliput berita di tangan. Aku segera bergerak mundur, terburu-buru ingin segera pergi dari tempat ini, tanpa memperhatikan jalan.

Bruk!

Seorang pria bertopi—telapak tangannya yang besar membekap mulutku—menyeret paksa meski aku mencoba untuk berontak. Mirip adegan penculikan yang pernah kubintangi. Dadaku bergemuruh ketakutan, takut akan terjadi hal buruk padaku juga pada bayiku. Ia membawaku ke suatu tempat yang sepi.

Brak!

Pintu tangga darurat tertutup mengentak, membentur dinding tembok hingga menimbulkan suara gaduh. Jari-jemariku gemetaran, keringat dingin keluar lambat. Bagaimana tidak cemas. Ada orang jahat memenjarakanku dengan kedua lengan kekarnya—tangannya mencengkeram pundakku erat, sedikit sakit kurasa.

“Lepaskan!” teriakku berontak.

Dia melepas pegangan, bergerak mengintip sebentar dari balik pintu yang dibukanya sedikit, kemudian menutupnya kembali. “Ssst …” Telunjuknya bergerak menyentuh bibirku tanpa permisi, menyuruhku untuk diam. Entah mengapa aku mau saja di suruh olehnya, badanku reflek berdiri membeku.

Denyut nadiku berdetak cepat seiring dengan napas yang memburu. Bola mata kami kini saling menatap bergantian, kutamatkan lebih lama memandang iris mata bening berwarna kopi hitam pekat itu. Aku mengulum bibir ke dalam sambil menelan ludah pelan.

Tiba-tiba saja ia mencondongkan kepala, sedikit miring ke kanan, tepatnya. Aku memejamkan kedua mata rapat-rapat, takut dia akan melakukan hal buruk padaku.

Cup!

Sebuah kecupan, ya benar, kecupan singkat dari balik masker. Berani-beraninya nih orang! Umpatku dalam hati.

“Auch!” pekiknya kesakitan.

Tentu saja, itu karena ujung sepatu hak tinggiku menginjak kakinya kuat-kuat. Cepat-cepat segera menjangkah pergi: melarikan diri.

“Nesya, ini aku.” Ia menarik lenganku lebih dulu, berikutnya membuka masker yang menutup separuh wajahnya.

Aku sungguh-sungguh terperangah, begitu tahu siapa sebenarnya pria yang mencuri ciuman dariku barusan. Bola mataku terbelalak penuh, menyaksikan wajah asli si penculik.

Getar-getar kerikil rindu melompat-lompat kegirangan dalam dada. Mendadak terlintas secuil kenangan masa lalu di benakku.

Masa-masa zaman kuliah di fakultas ekonomi. Senyuman manisnya mengembang, sama persis dengan senyum yang selalu ia sunggingkan kala dulu masih sama-sama.

Tatapan mata sehangat musim panas, membuatku ingin duduk lebih lama di sampingnya. Dada itu, tempatku bernaung, sedu sedan ketika mantan pacarku tanpa alasan menampar pipiku, meninggalkan bekas tangan memerah padam.

“Fint!” pekikku tak kalah kaget. “A-apa yang kau lakukan di sini?” kataku terbata.

“Mmm, aku. Ngantar sepupu,” ujarnya beralibi, entah benar atau cuma alasan semata.

“Sepupu?” tanyaku mengernyitkan dahi.

“Sya. Maaf, barusan, aku …” ucapnya kikuk. Memutar bola mata sembari menggigit bibir bawahnya pelan. “Jangan marah.”

Senyumku tertahan di bibir, melihatnya salah tingkah menghadapiku. Entah sengaja atau lupa, ia tidak menjawab masalah sepupu yang sudah terlanjur terlontar keluar dari mulutku, kurasa itu hanya sebuah alasan.

“Sudah lama nggak ketemu,” kataku ramah memulai bicara.

Ia menggerakkan sebelah telapak tangan, menggosok-gosok tengkuknya pelan, sebelah tangannya lagi berada dalam saku celananya sembari tertunduk malu, lalu berganti mendongak menatapku tajam dan berkata, “Ng, aku antar pulang, yuk!” tawarnya dengan tampang serius.

“Sepupumu?” balasku sengaja mengingatkan.

Tampak ekspresi muka kaget saat mendengar jawabku, lalu dengan cepat dia berkilah, “Mm, dia masih antre audisi.” Kedengarannya ia berpikir lebih dulu sebelum mengatakannya padaku.

Aku tersenyum lagi, kali ini aku sedikit menaruh curiga: apa benar dia mengantar sepupunya? Atau jangan-jangan dia mengantar pacarnya? Batinku mengira-ngira.

“Benar nggak apa? Nanti takutnya sepupumu marah kalau ditinggal,” ujarku memastikan.

“Enggak, enggak apa. Nanti biar aku telepon.”

“Telepon aja sekarang,” pintaku sengaja ingin tahu.

“Kita pulang aja dulu. Nanti keburu ketahuan wartawan,”

Aku berpikir sejenak, terpaksa mengikuti tanpa bisa menolak karena dia lebih dulu menarik pergelangan tanganku. Beruntung tidak ada para pencari berita saat kami keluar dari pintu tangga darurat menuju lift.

Tiba di depan sebuah mobil sport berwarna hitam. Fint membantuku membuka dan menutup pintu mobil setelah kemudian dia masuk mengelinap ke kursi pengemudi.

“Kamu mau kemana?” tanya Fint menawarkan.

“Mm, aku lapar. Tapi…, gara-gara tadi aku malu ketemu orang. Pesan aja deh,” pintaku merengek manja.

“Oke, terserah kamu. Mau makan di mana?” tanya Fint santai, seperti tidak pernah terjadi masalah di antara kski berdua.

Spontan terdiam. Jujur aku merasa kaget dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah akrab, sedikit membuatku tidak nyaman.

Ia menepuk pundakku lembut sembari bertanya, “Sya, jadi makan di mana?

Tatapan matanya yang hangat, selalu bisa memelehkan bongkahan es dalam hatiku. Dulu saat masih pacaran, meskipun merasa marah bahkan kesal padanya, semua mendadak luntur, hilang dari permukaan setelah melihat kedua iris mata kopi miliknya.

“Sya… kenapa?” tanya Fint bingung.

Lamunanku buyar seketika mendengarnya menyebut namaku untuk yang kesekian kalinya.

“Anterin aku pulang,” jawabku singkat begitu dingin.

Fint menghela napas pendek, mendadak murung, mengalihkan perhatiannya pada kemudi mobil. Tampaknya dia sedikit tersinggung dengan ucapanku, sikapnya berubah, lebih tepatnya merasa bersalah.

Yup, aku masih terluka ketika hubungan kami harus putus di tengah jalan: hanya karena mamanya tidak merestui hubungan kami. Aku begitu terpukul waktu itu, rasanya ingin mati saja, tapi aku tak segila itu untuk mengakhiri hidup hanya karena seorang lelaki.

Toh! Aku cantik, terkenal, baik hati dan tidak sombong. Masih banyak lelaki lain selain dia di dunia ini. Buktinya, setelah putus darinya, aku masih berpacaran dengan beberapa pria sesama model. Dan… yang terakhir Leon.

“Kamu tinggal di mana?” pandangannya menatap ke arah jalan lurus-lurus.

“Perum Bestari Blok G Nomor 25,”

Ia menatapku sekali, lalu kembali melihat jalan. “Pantas saja. Aku pernah ke rumahmu, tapi ada tulisan dikontrakkan.”

Aku spontan membekap mulut dengan sebelah telapak tangan, tersenyum geli mendengarnya. “Ngapain juga ke rumah.”

“Buat nikahin kamu,” ujarnya sembari menoleh menatapku serius.

Kaget! Benar-benar kaget mendengar ucapannya barusan. Pasti dia sedang bercanda, konyol, pikirku.

“Bohong. Bukannya kamu udah tunangan,” sanggahku culas. Aku tahu pasti alasanku mengatakan hal ini.

Malam itu, selesai syuting, Firda menyodorkan ponsel padaku sambil berbisik di telinga, “Telepon, mamanya Fint.”

Aku membatin, tumben-tumbennya tante Widya telepon. Setelah beberapa menit bicara dalam telepon. Sungguh-sungguh mengejutkan, seketika itu juga badanku mendadak lemas tak bertenaga, ponsel yang terpegang, jatuh membentur tanah lapuk berkerikil. Akibatnya, layar ponselku retak panjang di beberapa sisi.

🔘😘

Selamat pagi semua. Miels dah up date. bantu like dan komen ya. terima kasih

Terpopuler

Comments

Lisa Z

Lisa Z

ehh seriuss

2022-03-23

0

Lisa Z

Lisa Z

iya iya nesya yang tingkat kepedeaan nya di atas rata - rata 😆

2022-03-23

0

Rahma_adhn

Rahma_adhn

Paparzi tiba2 keinget sesuatu😱

cieee diajak nikah ... ayo kak miels semangat up lagi. Jangan lupa jaga kesehatannya ya❤

2020-08-09

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!