Siulan suara burung berkoar, terdengar bak seruling merdu, bertengger di atas dahan tak jauh dari kaca jendela sebuah kamar.
Manik mata sembab memerah berkaca-kaca, menahan kantuk yang tak kunjung lelap. Entah sudah berapa kali mulutnya menguap lebar-lebar.
Oh Tuhan! Raga ini rasanya minta ambruk, batinku berkeluh kesah.
Menggelengkan kepala pelan, menatap ponsel yang tak terjamah sedari malam.
Apa gara-gara aku tidak mengangkat telepon Irwan? Mungkin saja.
Pukul 06.45 pagi hari, dengan terpaksa bangkit untuk sekian kalinya. Berjalan gontai menuju kamar mandi. Sudah 10 kali lebih, mmm, mungkin 12 kali (buang air kecil). Tak terhitung sudah berapa gelas air yang terminum, membuat perutku berakhir kembung.
Terdengar suara nada dering ponsel berbunyi berkali-kali, mengusik mata lelah yang baru saja terpejam. Tak hanya sampai di situ.
Ting … tong … ting … tong …. Bunyi bel rumah menggelitik lirih di telinga.
Dok! Dok! Dok! Dok!
Kali ini lebih jelas: suara kaca jendela diketuk tak sabar menggema sampai di kepala.
“NESYA, BANGUN! BUKA PINTUNYA. Nesya. Kamu nggak apa-apa kan!” teriak sebuah suara yang amat sangat kuhapal.
Bola mataku berputar dalam kelopak mata yang tertutup setengah, seakan enggan untuk terbuka. Masih separuh sadar, berusaha bangkit (bangun dari tidur) beranjak dari tempat tidur, berjalan terseok keluar kamar menuju pintu utama.
“Nesya, lama banget bukanya,” seru Firda sebal.
“Aku ngantuk.”
“Ngantuk?” kedua matanya melotot seram mendengar ucapku. Tiba-tiba ia menarik lenganku. “Kamu habis dari mana? Kok ngantuk,” tukasnya marah-marah tidak jelas.
“Nggak dari mana-mana. Cuma nggak bisa tidur. Hoaem …” ungkapku menguap lebar. “Fir, aku tidur dulu, yah,” pintaku tak kuat menahan kantuk.
“Eh, kok tidur sih Nes. Jam 10 ada acara variety di Gedung C. Kita udah tanda tangan kontrak dan nggak bisa dibatalin,” tukas Firda marah.
Aku berbalik menatapnya sembari melenguh lelah. “Iya, iya. Tunggu yang sabar, aku mandi dulu,” kataku tak berdaya, “Oh ya, Fir. Minta tolong siapkan bajuku dong! Terserah deh, yang mana. Pokoknya pakai baju.”
Firda terkekeh geli mendengar ucapku yang memang terdengar sedikit konyol.
“Iya, tahu. Sudah sana mandi. Hati-hati jangan sampai ketiduran,” olok Firda sengaja.
Aku balas tertawa geli, “Gak apa. Yang penting bisa tidur.”
“Hei! Udah jam setengah delapan. Cepat sana mandi. Jangan lama-lama,” pekik Firda.
“Iya, ibu tiri,”
“Hah! Ibu tiri.” serunya merengus sebal seraya melotot galak. “Cepat mandi. Nyerocos saja.”
“Bukannya kamu yang nyerocos,” cibirku membalikkan kata.
Saking kesalnya, sebelah tangannya mengangkat bantal kursi tinggi-tinggi hendak melemparnya padaku. “Mandi nggak!” bentaknya super galak.
Aku terkekeh nakal, berlarian kecil menuju kamar mandi.
“Nesya, jangan lari-lari. Hati-hati perutmu,” teriak Firda mewanti-wanti. Terdengar lirih sumbang, tepat di saat kakiku sudah berada di depan ambang pintu kamar mandi.
“Uwek!”
Seperti biasa, morning sickness. Sekarang malah lebih sering, setiap pagi hari dan di jam yang sama, pukul 7 pagi. Brrr … dingin. Tubuhku mulai menggigil kedinginan saat air perlahan menyentuh kulit.
Semoga saja aku baik-baik saja.
Mobil yang kami tumpangi tiba di tempat tujuan, Gedung C. Langkah kaki berderap dari sepatu hak tinggiku dan sepatu kets milik Firda, terdengar memantul bergema sepanjang koridor yang sepi. Beruntung kami datang tepat waktu, 10 menit sebelum acara dimulai.
Sebuah acara variety bertema “Lunch Mate” dan kebetulan hari ini bintang tamunya ada 5 orang termasuk diriku. Setting panggung serta tata lampu bak di dalam sebuah café sedianya telah siap untuk memulai syuting. Para kru sedang sibuk hilir mudik mempersiapkan segalanya.
Kupandangi pantulan bayangan diri di depan cermin rias. Kelelahan, tampak jelas dari wajah pucat pasi, bibir kering, dengan kantong mata yang samar menghitam di bagian bawah mata. Sedikit sentuhan foundation tebal di sekitar mata, namun tak mampu menyamarkan rasa lelah yang mendera.
Kutambahkan polesan tipis di pipi dengan blush on warna peach. Selanjutnya tinggal mewarnai bibirku dengan lipstik pink baby. Yup, aku siap cantik di depan kamera.
“SIAP … ACTION!” ucap sang sutradara memulai pengambilan gambar. Asal kalian tahu! Ini live show.
Entah sudah berapa kali, mulutku menguap lebar, mungkin sudah ke seribu kalinya. Kurasakan tangan dan lutut kaki yang mulai kebas gemetaran. Kedua kelopak mata ini seolah tertintih batu pualam. Aku sudah tak kuat menahan kantuk.
Sesi tanya jawab pun dimulai. Otakku seakan blank, tak ada satu kata di dalamnya kecuali “ngantuk”. Ucapku jadi ngelantur ketika gilaranku untuk bicara masalah makanan kesukaan.
Sebuah pertanyaan disodorkan padaku, tapi aku tidak bisa menjawab hanya memandang sayu wajah mereka satu per satu. Ingin rasanya kutopang kedua mataku dengan tusuk gigi, supaya mata ini terbuka lebar-lebar.
Namun sebuah hal konyol terjadi setelah salah satu kru menyodorkan makanan kesukaan di depan meja masing-masing. Saking ngantuknya, tanpa sadar mukaku menimpuk kue stroberi yang tersaji di depan meja, alhasil hidung dan pipiku belepotan penuh krim stroberi.
Gelak tawa menggema hampir seluruh manusia di dalam ruangan ini. Sungguh adegan yang memalukan, dan ini live. Namun, aku tak mampu sadar tentang hal itu, badanku sudah hampir ambruk.
Firda dengan sigap menghampiri, memapahku keluar ruangan.
Di depan cermin washtafel, Firda dengan telaten membasuh mukaku dengan handuk basah.
“Kamu nggak apa-apa? Masih ngantuk?” tanya Firda khawatir.
Aku mengangguk pelan. Setitik air mata menetes di pipi, beberapa saat kemudian berurai air mata bombay.
Malu, aku benar-benar merasa malu. Bagaimana tidak! Acara tadi berlangsung live dan di tonton oleh beribu-ribu makhluk di muka bumi ini. Mau taruh mana nih muka?
“Nes, udah jangan nangis. Kasihan si kecil. Nggak boleh sedih …”
“… nggak boleh nangis,” celetukku meneruskan ucapan Firda.
Firda menghela napas panjang seraya tersenyum hangat, mengusap lenganku pelan.
“Yang sabar ya. Emang tadi malam nggak tidur.”
Aku menggeleng membenarkan. “Gak tahu. Nggak bisa tidur. Baru tadi aku benar-benar setengah tidur.”
Sambil mendengarkan, Firda menatapku serius, lalu berkata, “Ya, sudah. Kamu langsung ke mobil aja. Biar aku bicara dulu sama kru-nya.”
Aku menggangguk sebagai jawaban setuju, kemudian Firda keluar dari dalam toilet. Kubalikkan badan menghadap cermin, menghapus make up yang sudah terlanjur luntur memudar. Bisa dibilang wajahku tanpa riasan, sudah mirip jiangshi (vampir dari negeri china), pucat pasi tak bernyawa.
Badan ini lemas tak bertenaga—tapi aku bertahan—bertopang pada kaki yang tak kokoh. Kepalaku menyembul sedikit dari pintu toilet, melirik kanan dan kiri, melihat kondisi tempat. Lorong koridor tampak lengang, tidak ada satu pun manusia yang menapakkan kaki di sekitar sini.
🔘🥰
Selamat malam semua.
Jangan lupa like dan komen ya.
Apa yang kamu lakuin saat gak bisa tahan ngantuk?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Lisa Z
sudah sudah, nanti ga jadi mandi nesya nya
2022-03-23
0
ɃΌꭆꭇꬴꮮ 🗡️
tidur ka klau gk bisa tahan 😴😴😴
2021-02-20
0
erlin
next
2020-08-18
0