Uhuk... uhuk... uhuk...
“Apa Daddy menikah... dengan dia?” tanya Adrian terkejut, melirik ke arahku dengan ekspresi geli dan mengedikkan kepalanya.
“Tunggu, Om. Maksud Om, saya yang akan menikah dengan Adrian?” tanyaku pada Om Syafiq, masih tak percaya.
“Iya, Sayang. Memangnya kenapa? Lagian, Adrian itu laki-laki yang bertanggung jawab. Kamu sendiri tadi yang bilang begitu,” sahut Tante Icha sambil menggenggam tanganku.
“Pokoknya, Dad. Masalah ini nanti saja kita bahas. Apalagi Daddy menjodohkan aku dengan dia,” kata Adrian ketus. Ia bangkit dari tempat duduk dan segera pergi meninggalkan ruangan.
“Adrian! Jangan buat Daddy malu, ya!” teriak Om Syafiq, terlihat geram.
“Maafkan Adrian ya, Mas. Saya juga nggak tahu kalau kejadiannya bakal jadi seperti ini,” ucap Tante Icha kepada papaku.
“Iya, Fiq. Kita maklumi saja. Lagian, Adrian juga butuh waktu untuk memikirkannya. Terlebih, kita memang terlalu terburu-buru memutuskan,” timpal Pappy.
Aku hanya terdiam, menyimak perdebatan antara orang tua Adrian dan orang tuaku. Hati ini terasa perih karena sebenarnya aku menyimpan perasaan pada Rama, bukan Adrian.
“Pap, pokoknya kita harus pulang. Ada hal yang ingin aku bicarakan,” ujarku dengan nada kesal.
“Permisi, Om, Tante. Saya pergi dulu. Pap, aku tunggu di mobil, ya,” kataku sambil berjalan cepat menuju mobil.
Tante Icha dan Om Syafiq hanya mengangguk. Wajah mereka tampak bingung melihat perubahan sikapku yang tiba-tiba menjadi dingin.
Entah berapa lama aku menunggu di dalam mobil. Akhirnya, Pappy dan Mommy menyusulku dan kami pulang bersama.
“Pih, kok Pappy nggak bilang dulu ke aku, sih? Main setuju-setuju aja. Aku belum tentu mau menikah dengan Adrian,” kataku, duduk di kursi kemudi dengan wajah penuh kekesalan.
“Rin, ini memang sudah direncanakan sejak kamu baru lahir. Mommy dan Pappy memang berniat menikahkan kamu dengan anaknya Om Syafiq,” ujar Mommy.
“Tapi nggak bisa gini dong, Mom! Ini terlalu mendadak. Aku dan Adrian bahkan belum kenal. Lagian aku nggak suka sama dia,” protesku.
“Pokoknya kamu harus menikah dengan Adrian. Pappy tidak mau mendengar penolakan dari kamu,” sahut Pappy dengan suara lantang dan tegas.
“Tapi, Pap... aku nggak mungkin suka sama dia. Emangnya ini zaman Siti Nurbaya, apa?” sergahku.
“Karina! Cukup! Kamu nggak bisa kali ini saja nurut sama Pappy kamu? Tolonglah... Kalau kamu menikah dengan Adrian, perusahaan Pappy bisa dapat kucuran dana dari perusahaan Om Syafiq,” bentak Mommy dengan emosi.
Aku terdiam. Tak bisa lagi berkata-kata. Bahkan untuk melawan pun, saat ini aku tak punya tenaga.
Brukkk!
Suara pintu mobil kubanting. Aku langsung masuk ke rumah, naik ke kamar dan membanting tubuh ke kasur. Ingin sekali aku berteriak, meluapkan semuanya.
Aku berdiri di sisi jendela kamar, menatap hamparan kota Jakarta. Fikiranku melayang entah ke mana. Di satu sisi, aku bahagia karena bisa melihat senyum Pappy yang begitu jarang muncul. Tapi di sisi lain, aku sedih karena akan dinikahkan dengan laki-laki yang bahkan tidak tahu sopan santun itu.
Kring... kring... kring...
Bunyi jam weker membangunkanku. Pagi itu, aku masih terbaring malas di atas kasur. Rasanya aku enggan menghadapi hari ini. Terlebih saat teringat tentang pernikahan itu.
Tiba-tiba lamunanku buyar karena seseorang mengetuk pintu.
Tok... tok... tok...
Aku hanya diam.
“Karina... kamu masih marah sama Mommy dan Pappy? Sayang... ayo buka pintunya,” bujuk Mommy dari luar kamar.
Dengan langkah malas, aku berjalan ke arah pintu dan membukanya, masih tanpa berkata apa pun.
“Ada apa, Mom? Please... aku butuh waktu sendiri. Aku nggak mau diganggu,” ucapku datar.
Tiba-tiba suara Pappy terdengar dari arah tangga.
“Cukup, Karina! Kamu jangan kurang ajar sama Mommy kamu! Pappy tidak pernah mengajarkan kamu untuk bersikap tidak sopan pada orang tua!”
“Sudah, Pih. Lagian Karina memang butuh waktu sekarang. Maafkan Pappy dan Mommy, ya, Sayang,” ucap Mommy lembut, sambil memeluk dan mencium keningku.
Aku menarik napas dalam, lalu turun ke bawah untuk sarapan bersama mereka. Suasana meja makan terasa canggung. Aku melirik ke arah Pappy, namun ia hanya menatap datar.
“Kamu nggak kuliah hari ini?” tanya Pappy, memulai percakapan.
“Enggak, Pih. Hari ini nggak ada jam kuliah,” jawabku cuek, sambil mengunyah roti.
“Kamu masih marah sama Pappy dan Mommy?” tanya Pappy lagi.
“Enggak, Pih. Aku nggak marah, tapi aku—”
“Cukup! Pappy nggak mau dengar penolakan lagi dari kamu!” potongnya tegas.
Ya, beginilah Pappy. Kalau sudah bilang A, ya nggak akan berubah jadi B. Tapi... bukan Karina namanya kalau aku tidak bisa menggagalkan pernikahan ini.
“Besok kamu harus sudah fitting baju. Pappy dan Om Syafiq sudah setuju. Sekalian Pappy akan mulai urus undangan pernikahan,” lanjut Pappy lagi.
Apa? Fitting baju?
Aku harus segera berpikir. Harus ada cara untuk lolos dari perjodohan ini!
“Lagian ya, kamu itu bakal hidup enak. Percaya sama Pappy. Adrian itu pilihan terbaik buat kamu. Dia laki-laki yang bertanggung jawab. Seperti yang kamu bilang kemarin malam.”
Ughhh...
Aku menyesal banget mengucapkan kalimat itu. Padahal semuanya adalah kebalikannya!
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
KIA Qirana
Next Thor Sayang
💕💕💕💕💕💕
2021-12-03
0
Abu Alfin
vote juga thor
salam hangat dari
Cinta Asteria & Isyaroh
🙏🙏🙏
2021-06-14
0
Fira Ummu Arfi
💙💙💙💙💙
2021-05-28
0