Aku berjalan gontai menuju ruangan tempat ayahku dirawat. Di sampingku, Qylla, sahabatku sejak SMP, terus berjalan diam-diam menemaniku tanpa banyak bicara.
"Qyll... gimana kalau ternyata Pappy aku nggak bisa sembuh seperti sediakala?" tanyaku pelan, hampir seperti bisikan.
Qylla menoleh padaku dengan wajah prihatin. "Rin, lo harus tetap berpikir positif, oke? Lo harus sabar. Gue tahu sekarang masa-masa paling berat buat lo, tapi lo harus tetap semangat," katanya menyemangatiku sambil merangkul bahuku.
Aku mengangguk pelan. "Makasih ya, Qyll. Lo udah mau nemenin gue. Gue bener-bener nggak tahu lagi harus gimana buat nyelametin perusahaan Pappy. Sekarang Pappy juga jatuh sakit… gue bingung, Qyll..." ucapku lirih. Tanpa terasa, air mata jatuh dari pipiku.
Di dalam ruangan, kulihat Mommy terus menggenggam tangan Pappy yang masih tak sadarkan diri. Wajahnya sembab dan matanya merah karena menangis semalaman.
"Mom, mendingan Mommy istirahat aja. Biar aku gantian jagain Pappy ya," ujarku pelan sambil menyentuh bahunya.
Mommy menggeleng lemah. "Enggak, sayang. Mending kamu pulang aja. Kasihan tuh teman kamu, jadi ikut repot bantuin kita. Besok kamu juga ada kuliah, kan?" jawab Mommy, melirik ke arah Qylla yang duduk di bangku luar ruangan.
Tak lama, Om Ryan masuk ke ruangan sambil membawa kantong plastik berisi makanan.
"Rin, lebih baik kamu pulang dulu ya. Ini sudah malam. Biar Om yang jagain Pappy malam ini," kata Om Ryan sambil menepuk pundakku.
Aku mengangguk. "Baik, Om. Aku titip Pappy ya, sama Mommy."
Mommy ikut menimpali, "Iya, sayang. Mommy dan Pappy akan baik-baik saja. Kamu pulang aja. Doain Pappy ya, supaya cepat sembuh dan bisa pulang lagi."
Akhirnya, aku dan Qylla pulang ke rumah. Sejak para pembantu pulang kampung karena pandemi beberapa bulan lalu, rumah kami jadi sepi. Malam itu pun kami lewati dengan kelelahan.
Pagi harinya, aku dan Qylla berjalan menuju kampus. Setelah memarkirkan mobil di basement, mataku langsung menangkap sebuah mobil yang terasa sangat familiar.
"Qyll, itu bukan mobil yang kemarin buang sampah ke arah kita, ya?" bisikku sambil menunjuk ke arah sebuah mobil hitam. Di sana, seorang laki-laki tampak sedang bersandar di pintu mobilnya.
Qylla menoleh dan menarik tanganku. "Rin, jangan gila deh. Buat apa lo samperin orang kayak gitu?"
"Gue cuma mau kasih dia pelajaran sedikit aja, Qyll."
"Rin, please... kita ke kelas aja, yuk."
Tapi aku sudah berjalan mendekati pria itu. "Permisi, Mas. Kemarin Anda buang sampah di depan kampus ini, kan? Di pinggir trotoar," tegurku dengan sopan, meski nada suaraku agak tegas.
Pria itu menoleh, lalu menatapku dari atas ke bawah. Diam. Sama sekali tidak menjawab.
"Heii! Saya nanya, jawab dong, Mas," ucapku lebih keras.
Akhirnya dia angkat bicara, menatapku dingin. "Terus, kalau iya, emang urusannya apa sama kamu?"
"Dengar ya, gara-gara Mas buang sampah sembarangan, saya kena lemparan sampah basah waktu itu!" bentakku, mulai kesal.
"Oh, jadi itu kamu? Ya udah. Maaf. Beres, kan?" katanya dengan cuek lalu berbalik hendak pergi.
Aku mengejarnya. "Tunggu dulu!" teriakku. "Mas kira masalahnya selesai cuma dengan minta maaf doang? Oh, nggak segampang itu!"
Dia menghentikan langkahnya, lalu menoleh lagi. "Lantas aku harus gimana, Nona?" ucapnya ketus.
Qylla yang sedari tadi berdiri di belakangku mulai panik. "Rin, udah dong. Lihat deh, orang-orang udah mulai ngelihatin kita. Nanti rame..."
Aku tetap menghadang pria itu. "Mas, biasa aja dong. Nggak usah marah-marah! Udah salah, masih nyolot juga. Ingat ya, ini belum selesai!"
Dia mendengus. "Sudah cukup, ya. Mas... mas... mas... Stop panggil saya ‘Mas’. Saya bukan mas-mas!"
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum sinis. "Oh, gitu? Oke. Berarti mulai sekarang gue panggil lo ‘Mas Sampah’."
Dia menyipitkan mata, lalu balas menyindir, "Enak aja lo ngomong gitu. Lo tuh malah kayak tong sampah."
Mataku membelalak. "Ehhhhhh! Berani lo ngomong gitu?!"
Qylla makin panik. "Rin, udah, udah! Jangan bikin keributan. Nanti ada dosen atau rektor lewat!"
"Bodo amat!" teriakku sambil mendorong pria itu pelan dengan pundakku. Tapi dia tetap berdiri, hanya menatapku dingin.
"Hey, kamu udah nggak waras, ya? Dasar perempuan aneh!" bentaknya.
Aku berbalik dan berjalan pergi dari basement menuju lift. Di belakangku, Qylla berlari menyusul.
To be continued...
Halo, gaes! Jangan lupa baca kelanjutannya ya!
Follow dan vote-nya ditunggu... Yuhuuu! Salam persahabatan untuk semua author di sini!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
KIA Qirana
Favorit nih, buat Author ♥️♥️♥️♥️♥️
2021-12-03
0
Hanna Devi
lanjut..
nyicil nih 🤭
2021-06-21
0
Abu Alfin
hadirkan like gift komen dan favorite
salam hangat dari
Cinta Asteria & Isyaroh
🙏🙏🙏
2021-06-14
0