Aku berjalan gontai menuju ruangan Pappy. Setelah tiba di depan pintu, ternyata ruangan itu kosong. Tidak hanya Pappy yang tak ada, Mommy pun tak terlihat di sana.
Dengan tergesa-gesa aku melangkah ke arah seorang suster yang sedang membereskan obat-obatan di dekat nurse station.
“Suster, pasien yang dirawat di kamar ini ke mana ya?” tanyaku cemas.
“Oh, tadi kayaknya jalan-jalan sama istrinya, Mbak,” jawab sang suster santai.
Aku menghembuskan napas lega mendengar jawabannya. Kekhawatiran yang sempat menyesaki dadaku perlahan menguap.
“Oh, makasih ya, Sus.” Aku tersenyum singkat sebelum suster itu berpamitan dan berlalu.
“Jalan-jalan ke mana Mommy bawa Pappy ya?” gumamku. “Ah, palingan ke taman.”
Tanpa pikir panjang, aku segera menuju taman rumah sakit. Langkahku cepat, hampir setengah berlari. Namun langkahku terhenti saat mataku menangkap sosok yang amat sangat familiar—dan menyebalkan.
Adrian.
Laki-laki yang beberapa waktu lalu dengan santainya membuang sampah dari dalam mobilnya. Ia sedang berjalan sambil menatap ponselnya, tanpa peduli keadaan sekitar.
Aku sengaja menghampirinya. Namun ia berlalu begitu saja tanpa menyadari keberadaanku. Aku mengikutinya, hingga langkah kakinya membawanya ke arah taman rumah sakit.
Aku sempat lupa kalau Pappy dan Mommy juga ada di taman itu.
“Hai, Dad!” seru Adrian tiba-tiba, menghentikan langkahnya. Suaranya membuyarkan niat isengku untuk mengejutkannya.
Saat tubuhnya bergeser, dan pandanganku tak lagi terhalang olehnya, aku terbelalak. Jantungku seolah berhenti berdetak. Adrian berdiri di dekat Pappy—yang sedang duduk di kursi roda—dan Mommy.
Astaga…
“Eh, Hen, ini anakku, Adrian. Anakmu mana, belum datang?” tanya seseorang yang duduk tak jauh dari Pappy. Itu… Om Syafiq?!
Aku berusaha bersikap sewajar mungkin dan berjalan ke arah Pappy dan Mommy.
“Hay, Pap. Lama ya nunggunya. Pappy ngapain sih main ke taman, ini udah sore, loh,” ucapku berdiri di samping kursi roda Pappy, pura-pura tak melihat Adrian.
“Adrian, kenalin, ini anak Om. Namanya Karina,” kata Pappy sambil tersenyum.
Adrian menoleh ke arahku dan menyodorkan tangannya. “Adrian,” katanya dengan senyum ramah—yang kemudian berubah menjadi seringaian menyebalkan.
“Kamu kan...” ucapku bersamaan dengannya. Padahal aku sudah tahu sejak tadi kalau dia adalah Adrian, si cowok ‘buang sampah’ itu.
Keheningan menyergap.
Mommy memecah suasana. “Kalian sudah saling kenal?! Ya ampun, Mommy sampai nggak tahu kalau cowok yang sering kamu ceritain itu ternyata anaknya Om Syafiq sama Tante Icha.”
Adrian terkekeh. “Oh, jadi kamu sering cerita tentang aku ke Mommy kamu?”
“Yee, geer banget. Mommy bukan ngomongin kamu! Tapi Rama, anaknya Om Ryan!” ucapku cepat-cepat, ketus.
“Yasudah, ayo, kedatangan kita ke sini kan mau jemput Mas Hendardi. Kita bantuin beresin barang-barangnya, ya, Mas,” kata Tante Icha dengan ramah.
Kami pun pulang dari rumah sakit. Pappy sudah berangsur pulih, meskipun belum sepenuhnya sehat. Tapi cukup membuatku lega karena beliau sudah bisa tertawa-tawa lagi.
“Oh ya, Rin. Kita mampir dulu ke restoran milik Om Syafiq, ya. Katanya ada hal penting yang ingin dia sampaikan,” ujar Mommy di tengah perjalanan saat aku sedang menyetir.
“Yaudah, bisa sekalian makan, nggak, nih, Mom?” sahutku sambil tertawa kecil.
“Hus, kamu ini. Makanan aja yang dipikirin,” celetuk Pappy sambil menggeleng.
“Hehe... itu kan kebutuhan juga, Pih,” jawabku bercanda.
Tak lama kemudian, aku menepikan mobil di depan sebuah restoran besar bertuliskan Bharata Resto & Café.
“Wow, gede juga nih restorannya,” gumamku kagum.
“Ayo Mas, silakan. Ayo, Sayang, silakan duduk,” ucap Tante Icha mempersilakan kami.
Aku menarik salah satu kursi untuk duduk, namun tanpa sengaja—dan sialnya—Adrian juga menarik kursi yang sama. Kami saling menatap.
“Gue duluan yang narik kursi ini,” ucapku ketus.
“Nggak bisa, pokoknya gue duluan!” balas Adrian, tak mau kalah.
Mommy dan Tante Icha saling menatap sambil berbisik kepada kami.
“Karin, jangan bikin Mommy sama Pappy malu,” tegur Mommy pelan.
“Adrian, jangan bikin malu Ibu, dong,” bisik Tante Icha ke arah putranya.
Akhirnya aku mengalah, dan Adrian tertawa puas, jelas meledekku.
“Oh ya, Mas Syafiq, katanya ada hal penting yang ingin Mas sampaikan ke kami?” tanya Mommy membuka pembicaraan.
“Iya, memangnya Mas Hendardi belum cerita ya ke Mbak?” tanya Om Syafiq sambil melirik ke arah Pappy.
“Oh iya, Fiq. Saya hampir lupa,” ujar Pappy seraya mengangguk. “Ya mumpung anak-anaknya ada di sini, kita kasih tahu aja sekalian.”
Deg. Deg. Deg.
Aku mulai merasa cemas. Apa ya kira-kira yang mau disampaikan?
“Karina, Om mau nanya soal hal pribadi, ya,” ujar Om Syafiq.
Aku menegang.
“Hal pribadi apa, Om?” tanyaku hati-hati.
“Menurut kamu, Adrian ini anak yang seperti apa?”
Aku menoleh ke arah Adrian. Hmm... sekilas memang dia ganteng dan cerdas. Tapi minusnya, ya itu... suka seenaknya.
“Karina?” panggil Om Syafiq lagi.
“Anaknya Om... baik, kok. Sebagai laki-laki cukup bertanggung jawab,” jawabku... bohong tentu saja.
“Wes, cocok iki, Pah,” celetuk Tante Icha dengan logat Jawa yang kental.
Hah? Cocok?
“Kalau gitu,” lanjut Om Syafiq mantap, “Karina mau ya... menikah dengan Adrian?”
Petir rasanya menyambar tepat di atas kepalaku. Aku terbelalak. Bahkan Adrian sampai tersedak.
“Apa?! Dad, menikah?” serunya kaget.
“Pappy udah tahu soal ini, tapi kok Pappy nggak cerita ke aku sih, Pih?” tanyaku dengan nada sedikit naik.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
KIA Qirana
Sukses Thor, lanjut
🌹🌹💐💐💕💕
2021-12-03
0
Fira Ummu Arfi
👍👍👍👍
2021-05-28
0
👑ꪖꪶ 'ᠻꪖɀɀꪖ
👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2021-05-08
0