Bab Sepuluh

Amanda mendekati mobil itu. Seorang pria keluar dengan santainya. Amanda lalu menyapanya agar pria itu tak terkejut.

"Selamat Pagi menjelang siang!" sapa Manda pada pria itu sambil tersenyum. Pria itu tampak sedikit terkejut dengan sapaannya. Namun, tetap membalas tersenyum.

"Selamat Siang," balas pria itu.

"Maaf, Pak. Saya bicara dengan siapa ya. Oh, ya kenalin saya Amanda," ucap Manda dan mengulurkan tangannya.

Pria itu sedikit ragu menerima uluran tangan Amanda. Beberapa detik kemudian barulah dia menyambutnya dan menyebut namanya. " Toni."

"Sekali lagi saya minta maaf jika pertanyaan saya ini membuat Bapak tersinggung. Apa ini mobil Bapak?" tanya Amanda.

Dahi Toni tampak berkerut mendengar pertanyaan dari Amanda. Sepertinya dia sedikit ragu untuk menjawab.

"Kenapa kamu tanyakan itu?" Bukannya menjawab pertanyaan Amanda, Toni justru balik bertanya. Dia memandangi wajah Amanda dengan intens. Dia juga memperhatikan tubuh wanita itu mulai dari kepala hingga kaki. Hal itu sedikit membuat Amanda risih.

Amanda berdehem agar Toni mengalihkan pandangan dari tubuhnya. Hal itu berhasil karena pandangan pria itu beralih dan tak lagi menatapnya.

"Itu mobil milikku yang di bawa suamiku Aditya. Kenapa bisa dengan Bapak?" tanya Amanda lagi.

Toni tampak menyunggingkan senyumnya. Dia baru paham kenapa wanita ini menghadang langkahnya.

"Tak ku sangka, Aditya memiliki istri seperti kamu!" seru pria itu. Dia kembali meneliti penampilan Amanda. Kembali wanita itu merasa risih.

"Katakan saja terus terang, kenapa mobilku bisa berada di tangan Bapak!" ucap Amanda sedikit ketus karena tak suka dengan tatapan pria itu.

Kembali Toni menyunggingkan senyumnya. Dia lalu berjalan menuju mobil dan membuka pintunya. Dia mengambil sesuatu. Lalu kembali ke hadapan wanita itu.

"Mobil ini telah menjadi milikku. Kamu lihat surat bukti jual belinya," ucap Toni dengan suara tegas.

Amanda tak mau mengalah. BPKB masih ada di tangan dirinya, bagaimana mungkin bisa di jual belikan.

"Tapi BPKB mobil itu ada di tanganku. Mana bisa itu di jual belikan!" seru Amanda dengan suara tegas.

"Suamimu memiliki banyak hutang denganku dan telah menandatangani pemindahan kepemilikan mobilnya. Jika kamu emang menginginkan mobil ini kembali. Bayarkan hutangnya dan ambil mobil ini!" ucap Toni penuh penekanan.

Dari awal melihat mobil itu berada di tangan orang, Amanda sudah menduga jika mobilnya dijadikan jaminan. Namun, tak menduga jika nominal hutang suaminya sangat besar. Dalam hatinya bertanya, untuk apa uang sebanyak itu bagi suaminya. Padahal setiap hari dia memberikan uang saku untuk Aditya.

Amanda lalu menarik napas berat untuk menetralkan perasaannya yang tak menentu. Matanya seolah baru dibuka untuk mengetahui siapa sang suami.

"Tapi Bapak pasti tau jika tindakan Bapak ini salah. Kenapa menerima mobil sebagai pembayaran padahal BPKB mobil tidak ada!"

"Aku tak peduli mengenai itu. Aku hanya ingin uangku kembali. Mobil ini juga akan aku jual. Jika kamu memang masih menginginkan mobil ini, bayar segera hutangnya!"

"Aku tak punya uang sebanyak itu. Terserah mau Bapak apakan mobil itu, tapi aku tak akan memberikan BPKB nya!" seru Amanda dengan penuh penekanan.

Merasa obrolan mereka tak ada guna, Amanda meninggalkan pria itu. Dia langsung menuju mobilnya. Melajukan kembali ke rumah mertuanya. Dia harus mengatakan apa yang suaminya lakukan pada sang mertua.

Dalam perjalanan pikiran Amanda tertuju terus pada suaminya. Tak mengerti kenapa pria itu sampai begini. Memiliki hutang banyak dan kabur dari rumah.

Sampai di rumah mertua, Amanda melihat putrinya telah tertidur lelap dengan anaknya Kak Dian. Kakak iparnya dan sang mertua duduk di ruang keluarga sambil menonton.

Amanda memilih duduk di samping mertuanya. Wanita paruh baya itu lalu menghadap menantunya itu.

"Bagaimana Amanda, apakah kamu dapat mencari keberadaan Adit? Kamu tau dimana dia berada?" tanya Mama Sari, mertuanya.

Amanda menarik napas berat. Bagaimana dia mau mengatakan itu. Takut mertua DNA iparnya tak percaya dengan apa yang dia utarakan.

"Kamu tak dengar Mama bertanya? Kenapa diam saja, Manda?" tanya Kak Dian.

Amanda yang sedang termenung, terkejut mendengar pertanyaan kakak iparnya itu. Dia kembali tampak menarik napas untuk memberikan kekuatan dan keberanian mengungkapkan apa yang dia ketahui.

"Ma, apakah mama tau bisnis apa yang dijalankan Mas Adit?" tanya Amanda.

"Kenapa kamu bertanya begitu, Manda? Kafe itu bisnis kalian 'kan?" Mama Sari balik bertanya.

"Ada-ada saja pertanyaan kamu, Manda. Jelas-jelas bisnisnya kafe. Jika pun ada bisnis lain, seharusnya kamu sebagai istrinya yang lebih tau, kenapa justru bertanya dengan mama. Katakan saja, apakah kamu tau keberadaan Adit?" Kak Dian kali ini yang balik bertanya.

"Kalau bisnis kafe itu jelas aku tau, Kak. Yang aku tanyakan bisnis lain. Karena Adit telah mengambil uang tabunganku sebesar lima ratus juta dan memiliki hutang tiga ratus juta di tempat bilyard sehingga mobilku dijadikan jaminan," ucap Amanda.

Dia tak peduli lagi bagaimana penerimaan dari kakak ipar dan mertuanya. Mereka harus tahu bagaimana Aditya sebenarnya.

Mama Sari tampak terkejut dan syok mendengar ucapan Amanda, begitu juga Kak Dian. Sepertinya dia tak percaya dengan ucapan Amanda.

"Kamu jangan bohong, Manda? Buat apa Adit mengambil uangmu? Aku rasa uang itu pasti untuk kafe. Siapa tau kafe kalian itu merugi sehingga membutuhkan suntikan dana. Aku tak suka kau menuduh adikku. Apakah ini penyebab pertengkaran kalian dan Adit memilih pergi? Bukankah uangmu itu berarti uang Adit juga? Pasti dia tersinggung dan marah karena kau tuduh pencuri!" seru Kak Dian dengan suara cukup tinggi.

Seperti dugaan Amanda, Kak Dian tak bisa terima adiknya di tuduh begitu. Namun, dia tak mungkin juga menyembunyikan semua itu.

"Manda, apakah yang kamu katakan itu benar? Dengan siapa Adit berhutang sebanyak itu?" tanya Mama Sari dengan suara pelan. Tampaknya masih syok dengan kenyataan.

"Benar, Ma. Aku datangi tempat bilyard yang biasa Mas Adit datangi. Ternyata mobil yang Mas Adit pakai saat pergi dari rumah telah dijadikan jaminan hutangnya pada pemilik usaha itu," ucap Amanda.

Tubuh Mama Sari terasa lemah. Dia bersandar ke sandaran kursi. Air mata jatuh membasahi pipinya.

"Ma, maaf. Aku tak bermaksud membuat mama bersedih. Aku hanya ingin tau kenapa Mas Adit memiliki hutang begitu," ucap Amanda.

Kak Dian yang masih tak terima dengan ucapan adik iparnya itu kembali angkat suara. Dia menuduh Amanda yang salah.

"Semua ini salahmu! Kau pasti terlalu pelit dan perhitungan jadi istri. Uang kafe kau kuasai sendiri. Adikku capek melayani sikap manjamu itu, dia juga butuh hiburan. Kalaupun dia mengambil uang tabungan, itu juga hak Adit. Bukankah dia juga ikut serta memajukan kafe milik kalian itu. Sesekali dia berfoya-foya untuk menghibur dirinya, aku rasa itu tak salah!" seru Kak Dian dengan suara lantang.

"Kak Dian, uang yang Mas Adit ambil itu bukan hasil usaha kami. Itu uang warisan dari orang tuaku! Dan Mas Adit itu setiap hari mengambil uang di kafe untuk uang sakunya paling sedikit tiga ratus ribu bahkan terkadang sampai satu juta sehari. Apakah uang segitu tak cukup untuk keperluan pribadinya?" tanya Amanda dengan penuh penekanan.

Terpopuler

Comments

Sri Puryani

Sri Puryani

dian itu sekali kali perlu ditampar mulutnya

2025-02-15

1

sherly

sherly

Dian sinting

2025-02-25

0

Raufaya Raisa Putri

Raufaya Raisa Putri

wah KK ny perlu dirukyah nih

2024-10-13

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!