"Lain kali tolong perhatikan makanan dan aktivitas Lily, ya Pak."
Begitu pesan yang sangat kuingat setelah dokter keluar dari ruangan. Aku yakin betul dari tadi Lily tidak melakukan hal aneh. Semuanya masih sangat wajar. Makan siang, dari tadi sudah ku yakinkan tidak ada yang aneh. Lalu kenapa?
"Kamu istirahat saja dulu," kata Pak Bima sembari menunjuk sofa di ujung ruangan. Pak Bima memang kaya, ruang rawat saja sudah seperti kamar hotel. Ini yang namanya kamar VIP itu.
"Tidak apa-apa Pak, nanti saja."
"Atau kalau kamu risih, kamu pulang saja sekalian jaga rumah."
"Bukan begitu, Pak. Tapi saya mau tunggu Lily siapa tahu sebentar lagi sadar." Tukasku cepat.
"Ya. Kalau begitu istirahat lah dulu, biar nanti saya bangunkan atau kabari kalau Lily sudah sadar."
Aku cuma menggeleng, menghentikan perdebatan.
"Kenapa ya Pak, bisa kambuh begini?" Aku bertanya dengan suara pelan.
"Memang tubuh Lily yang lemah atau bisa karena saya kecolongan lagi." Jawabnya dengan nada yang sama, kemudian pergi menuju sofa di seberang sana.
"Dia sarapan dengan benar, cuma makan sayur bening dan ayam goreng. Makan siang juga makan kentang goreng. Kalaupun kelelahan, kita dari tadi pergi pakai mobil bukan jalan kaki."
"Tidak, saya tidak ngomong soal dia bersama kita. Tapi, kecolongan yang saya maksud; waktu dia sendirian."
"Maksud Pak Bima saat kita berdua kerja tadi?"
"Dalam perkiraanku, ya," jawabnya.
Aku menatap Pak Bima dan dia balik menatapku, kutatap wajah Lily yang masih dipasang masker oksigen sekadar agar ia mampu bernapas.
Ini salahku. Aku yakin.
Bukan kah aku dipekerjakan Pak Bima sebagai pengasuh Lily? Tapi, aku masih juga bekerja sebagai petugas kebersihan di universitas dan meninggalkan dia sendirian. Lantas sudah jelas dimana letak khilaf-ku sebagai pengasuhnya 'kan?
Lily begini, akibat kelalaianku menjaganya.
"Pak ... Maafkan saya, ya Pak?" ucapku gemetar. Berat rasanya menahan isak, tapi aku takut itu cuma buat Pak Bima tambah kesal.
Kutundukkan pandangan. Hampa dan perih. Kini aku tak berani melihat kedalaman matanya, melihat dirinya.
"Ini salah saya," lanjutku dan keluarlah air mata itu. "Kalau bukan karena saya lalai, Lily tidak akan sakit begini. Kalau saja saya tidak tamak sama pekerjaan, mungkin Pak Bima tidak akan kecolongan."
"Saya paham maksudmu." Jawabnya, ku dengar langkah kaki Pak Bima mendekat. "Tapi semua sudah terjadi, tidak ada yang perlu disesali. Lagian, saya juga tidak ada bedanya, saya cuma kerja dua jam tapi buktinya juga masih sama kecolongan. Intinya, penyakit Lily kambuh masih belum jelas sebabnya. Jadi, tidak perlu menyalahkan diri sendiri."
"Saya mau berhenti kerja saja Pak,"
Dengan hati-hati dan agak gemetar, aku mengangkat kepala. Sampai berhadapan dengan Pak Bima, air mata ku tahan sebentar sehingga nampak tegar.
"Huuuuhh...." Dia mendengus.
Pak Bima menghela napas. Dia terdiam sejenak, berpikir. Matanya menerawang ke atas, ke langit-langit ruang rawat. Lehernya jenjang dan kecokelatan mirip pohon jati yang di pahat, dan dagunya yang dipenuhi janggut tipis bagaikan padang rumput yang manis. Dadanya tampak sempurna dan bidang dalam balutan kaus hitam berkerah. Pakaian dan rambutnya sudah kering kena angin.
"Begini," dia melanjutkan kata-katanya dan membangunkan lamunanku. "Kalau begini, saya bingung dengan reaksi Lily nanti."
"Kamu sudah terlalu membekas di hatinya. Dan kamu sudah memiliki satu tempat tersendiri di hidupnya, kita memang lalai karena meninggalkan dia beberapa jam sendirian. Tapi, kalau kamu mundur kerja menjadi pengasuhnya, bukankah itu lebih menyakiti Lily?" Ujar Pak Bima sambil mengelus-elus kepala Lily. "Dia butuh ibu, dan orang itu cuma kamu. Saya sih tidak menyalahkan siapa pun, terutama kamu, Jul. Jadi coba kamu pikirkan lagi."
Air mata memenuhi mataku. Aku menundukkan kepala sambil mengusap kelopak mata dengan jari tangan. Sementara di luar sudah mulai gelap, saksi mata sebuah sejarah yang kutorehkan.
"Tapi saya bukan mau berhenti kerja jadi pengasuh Lily, Pak." Jawabku sambil terisak. "Saya mau berhenti jadi petugas kebersihan."
Mendadak ekspresi Pak Bima berubah. Dia langsung mendengus sambil berkacak pinggang melihatku.
"Apa sih! Kenapa tidak bilang dari awal?!" Hardiknya.
"Lagian, Pak Bima langsung menyela." Jawabku tenang, berpura-pura serius dan membela diri. "Aku kan belum selesai bicara."
"Terserah kamu, sana!"
Di tengah kebisingan kami itu. Tanpa kami sadari Lily mulai bangun, tangannya bergerak-gerak pelan, menyentuhku.
"Ma, Mama..." Ucapnya dengan suara lirih.
"Ly? Lily sudah sadar?"
Pak Bima meninggalkan kami dan bergegas keluar mencari dokter untuk memeriksa keadaan Lily. Begitu dokter masuk melewati pintu, Aku segera menyingkir lagi ke ujung ranjang, namun tiba-tiba aku mendengar suara lirih dari Lily berkata,
"Mama ... di mana!"
Dokter segera memeriksa dada Lily pakai stetoskop. Lalu melempar senyum ke arahku.
"Dia sudah melewati masa daruratnya, aku akan datang lagi nanti untuk periksa."
Aku mengangguk berkaca-kaca, "Terima kasih, dokter."
Tatapan ku bertemu dengan mata Pak Bima menyiratkan keheningan dan syukur yang sama saat Lily akhirnya sadar. Kemudian aku mencondongkan tubuh ke dekat wajah Lily dan ku peluk dia erat-erat.
"Mama di sini, sayang. Mama sayang Lily. Mama sangat bersyukur Lily baik-baik saja."
Aku mulai sesenggukan lagi, "Apa Lily merasa kesakitan?" Kataku begitu melepas pelukannya. "Mama bisa panggilkan dokter lagi jika Lily merasa ada yang sakit atau tak nyaman."
"Tidak." Jawabnya tersenyum. Tatapannya dalam menyusuri sorot mataku yang terharu. Lantas dengan susah payah dia berusaha mengangkat tangannya untuk menyentuh wajahku. "Maafkan Lily, buat Mama panik -----"
"Tidak, jangan pikirkan soal masalah itu lagi. Mama akan jaga Lily, biar Lily tidak sakit lagi."
"Jangan menangis,"
"Tidak, Mama tidak menangis. hanya terharu dan sangat bersyukur." Jawabku.
Omongan Lily barusan, tiba-tiba mengingatkan aku pada Pak Bima. Di luar ruangan tadi dia juga mengatakan hal yang sama, 'jangan menangis'. Aku pun merasa tenang.
"Apa yang Lily lakukan waktu Papa dan Mama tidak ada?" Sahut Pak Bima di sisi kiri sana.
"Tidak ah, tidak buat apa-apa!"
"Bohong," Pak Bima kali ini serius. "Coba bilang,"
"Lily bereskan kamar di ujung dekat tempat belajar Papa, terus buatkan bunga tabur." Jawab Lily, lesu. "Biar Papa dan Mama bisa tidur berduaan malam ini di sana."
"Bunganya dari mana?" Pak Bima menginterogasi lagi.
"Taman belakang."
"Kamar itu kan sudah lama tidak kepakai. Debunya banyak, Lily tahu kan tidak boleh ada di tempat kotor? Lily juga tidak boleh kecape'an..."
"Sudah, Pak. Sudah!" Ucap ku melerai. Begitulah pria, orang baru sadar langsung dimarahi.
Sebenarnya aku mengagumi kebaikan hati seorang Lily. Dia bekerja sangat keras untuk orang tuanya. Niatnya baik. Cuma salah sasaran ya, Ly. Pikirku.
Kalau sungguh tidur berduaan, bisa panjang urusan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Nur Hayati
Thor, maaf ya, ini kan kamar VIP, biasa nya ad tombol di ujung kepala ranjang pasien untuk memanggil dokter..
2024-09-01
0
Mamah Nisa
ceritanya mengandung bawang....bikin mewek....tapi bagus....
2024-08-22
0
ummah intan
nikhkan dl mereka ly spy bs tidur bersama
2024-08-17
0