"Pak Bima tahu Lily di mana?"
"Iya."
"Di mana?"
"Dia sudah aman sekarang." Pak Bima melihatku sambil menyunggingkan senyum.
"Sungguh?"
"Ya, sungguh."
"Kenapa bilang begitu?" tanya ku lagi. Cuma buat memastikan.
"Lily itu masih kecil, seperti kata kamu. Tidak punya keberanian besar untuk kabur langsung ke jalan."
Ya terus apa? Itu sama sekali tak menjawab. Aku bukannya tenang, malah makin cemas.
"Tapi biarpun usianya kecil begitu, Lily bisa berpikir jauh lebih pintar dibanding anak seumurannya." Lanjutnya, dan memang aku pun mengakui yang dia katakan itu benar. Anaknya itu terlalu genius!
"Dia marah padaku, jadi dia hilang begini untuk menggertak ku. Dia tidak pergi jauh kok. Aku yakin dia di sana, dan bodohnya aku tidak kepikiran sebelumnya."
"Ya, wajar Pak. Namanya panik, mana bisa mikir jernih." Sahutku. "Tapi di mana Lily?"
"Di rumah." Jawab Pak Bima. "Lagi tidur."
"Hah?" balasku dengan wajah cengo.
"Aku salah sudah membentak dia."
Lagi, Pak Bima menampakkan wajah penyesalan itu lagi.
Tanpa di jelaskan pun, semua tahu persis bagaimana perasaan Pak Bima sekarang. Semakin hujan menderas, Pak Bima makin linglung. Memang tidak ada yang salah dalam penglihatannya, namun kini dia malah menuntunku ke pondok kecil tempat orang jaga malam, setelah sebelumnya dia berulang kali menjulurkan kepala ke depan seakan menerawang sesuatu yang ada di depan.
Hal berikutnya yang baru kusadari adalah sepanjang jalan ini Pak Bima terus menggenggam tanganku, pantas saja aku merasa tenang. Di antara kucuran air hujan dan dinginnya kitaran angin malam ini, tangan dan tubuhku jadi hangat dalam rengkuhan tangan Pak Bima yang besar dan kuat.
"Maaf," katanya, tak lama setelah kami berhasil berteduh di bawah atap pondok.
"Kamu jadi ikut-ikutan repot begini sampai tidak sempat pakai jaket, maaf ya... pasti dingin."
Pak Bima melepas jaketnya lalu memakaikannya di tubuhku, harum tubuhnya langsung tercium hadir lebih dekat sampai membuat ku sesak. Dadaku langsung panas, terutama saat dia mengangkat wajahku dan mengelusnya untuk menyeka air hujan.
Selama beberapa saat yang mendebarkan itu, sorot terkejut dalam mataku beradu dengan tatapan Pak Bima. Sementara menyerap pemandangan indah sosok pria ini, aku nyaris tak berkedip di depannya.
Pak Bima terbahak-bahak dan aku jadi semakin heran, tetapi justru karena tawanya itu juga aku bisa sadar dari lamunan.
"Ada upil, tahu."
Sesudah melontarkan ejekannya, Pak Bima melihat ke arahku dan aku langsung berpaling muka dengan cepat, terlalu cepat! terkutuk lah jika sampai dia melihat aku membersihkan kotoran hidung ini.
"Saya bercanda," ujarnya terkekeh.
Dia tersenyum manis, sementara aku? Ya, aku sedang berkelahi dengan jantung. Di dalam dadaku ini seakan penuh bintang yang berkitaran mendekat satu sama lain, sampai menyesakkan dan jantung jadi berdebar tidak karuan.
Aku menyunggingkan senyum masam untuk menutupi rasa gugup dan mendebarkan ini. "Bercandanya jelek! Sleketep."
Aku membalas dengan nada menyeloroh, menirukan gaya Makmur di film komedi TV.
Pak Bima diam saja, hanya tersenyum. lalu mengeluarkan sapu tangan dari saku jeansnya dan mengusapkannya di atas rambutku.
"Jangan sampai flu ya."
Dan disaat yang sama juga, aku menangkap sorot matanya yang cemerlang. Senyumnya nakal seperti laki-laki yang suka menggoda, jarang sekali bahkan belum pernah ku lihat dari awal bertemu dengannya.
"Lily itu sering dengar Pak Bima dan Mbak Maya ribut. Seperti tadi pagi, Mbak Maya selalu bilang soal Pak Bima mengangkat anak, sesudah memutuskan hubungan dengannya." kataku pelan. "Dari situ, Lily tahu istilah anak angkat."
Tetapi, lagi-lagi Pak Bima berpaling, mengalihkan ucapanku. Dia sibuk memandang langit yang semakin menghitam, pada akhirnya aku menyadari bahwa Pak Bima enggan aku membahas perihal yang menyangkut tentang keributannya dengan Mbak Maya.
"Maaf,"
"Tidak masalah." Jawab Pak Bima yang masih sibuk mendongakkan kepala, "Saya justru berterima kasih padamu, sekarang aku jadi mengerti kalau sekarang sudah sepatutnya tegas pada Maya."
Dia lantas kembali menatapku.
"Ternyata kamu memang cocok, ya jadi ibu." Dia tersenyum. "Saya sangat tertolong karena Lily lebih bisa mengutarakan isi hatinya sekarang. Ternyata peran Ibu memang sepenting itu untuknya."
Desa-han resah terlontar dari bibir hatiku. Mengapa dadaku berdebar hebat. Oh, apa sebenarnya yang kulakukan? ini bukan kuasa ku. Aku menepuk pipi sambil menggeleng-geleng.
Udara semakin dingin, dan angin berdesir meniup-niup rok yang ku kenakan, menemani kebersamaan kami di bawah pondok bambu.
Beberapa saat kemudian debit hujan mulai turun, airnya tinggal rintik. Sementara suasana sekitar sepi, tidak ada tanda-tanda kehidupan di rumah-rumah. Hanya lampu jalan yang hidup kedap kedip, tidak ada mobil yang terlihat. Pak Bima menatapku, seakan memberi isyarat; Ayo pulang!
Aku mengangguk seraya meraih lengan Pak Bima, benar-benar spontan saja. Bersamaan dengan itu, Pak Bima menatap tanganku yang menyentuh tubuhnya hingga kemudian beralih ke mataku.
"Ma-maaf, Pak." Tetapi Pak Bima segera menggenggamnya, menenangkan hatiku yang jelas merasa tersesat dan malu.
"Kemarilah, biar kututupi kepala mu biar tidak kena hujan langsung."
Mataku mengerjap-ngerjap melawan air yang menimpa wajahku, tetapi di depan punggung Pak Bima yang gagah bagai benteng yang memberikan ku perlindungan dan rasa tenang. Hujan ini bukan lagi halangan yang berarti.
Pak Bima ... tanpa ku sadari, ada bagian lain yang membuat hatiku gugup. Jauh di lubuk hatiku, aku takut malah menaruh rasa padamu.
...****************...
"Oh, astaga dia di sana."
Kataku histeris, tapi tidak juga berteriak begitu kami sampai di rumah. Dan Pak Bima pelan-pelan mengangkat Lily ke atas ranjang.
Benar kata Pak Bima, dia sedang tidur. Dan lucunya, ternyata Lily dari tadi sembunyi di bawah ranjang kasur. Memang tidak kelihatan dan aku bahkan tidak kepikiran kalau dia akan sembunyi di sana karna kolongnya tertutup selimut yang lebar, besar dan tebal.
"Saya tidak kepikiran cari di sana, Pak."
Pak Bima cuma terkekeh pelan. Rupanya dosen galak ini bisa juga ketawa, pikirku bangga.
"Kalau tidur begini, sekilas kalian berdua terlihat sama." Kata Pak Bima.
"Apanya, Pak?"
"Mukanya."
"Masa? Memang Pak Bima pernah lihat saya tidur?"
"Pernah." Jawabnya sambil melirik ku.
"Kapan?"
"Kemarin, waktu kamu tidur di sini."
Aku melotot, "Loh, Pak Bima lihat? Bukannya kita tidurnya bareng?"
"Kamu ngorok," hardiknya dengan wajah kaku. "Aku jadi bangun, susah tidur."
Waduh! Malunya aku.
...****************...
Halo ini author sanskeh 🫡
Semangat ya! Mohon maaf hari ini kemalaman update. Author sibuk berhalu dulu tadi, muehehehehe ,( ꈍᴗꈍ)
Jangan lupa tekan like-nya ya! Absyeeennnn!! Jumpa lagi besok... ta ta (。•̀ᴗ-)✧
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Ita rahmawati
bagus
2024-08-30
0
Mamah Nisa
semakin suka
2024-08-22
0
Esther Lestari
Pak Bima bikin jantung Julia berdebar2 terus
2024-08-20
0