"Ah, oke. Jadi aku ngak tau apa maksud mama ngomong kayak itu ke Gill. Tapi aku anggap aku ngak dengar apa-apa,"
Renata berusaha mengalihkan pembicaraan kearah lainnya. Aku tau, sebenarnya Renata sangat peduli dengan ibunya. Tiga tahun yang lalu saat pertama kali Tante Emila sakit, Renata benar-benar merasa jatuh. Perasaan yang sebenarnya ingin Renata sembunyikan adalah dia tidak ingin ibunya khawatir.
"Ini udah siang banget. Gill kita berangkat, nanti keburu sore. Ma, Rena pamit dulu nanti Rena kesini lagi,"
Renata langsung mengajakku pergi dengan mobilnya. Aku pun pamit dengan Tante Emila sambil memeluknya dan berbisik ; Tante jangan khawatir ya. Ren pasti akan baik-baik saja, aku juga akan melihatnya. Dia mengangguk dan tersenyum.
Renata menghidupkan mobilnya dan meluncur ke salah satu mall terdekat. Aku yang duduk di bangku di sampingnya memperhatikan raut wajahnya yang sedikit berubah.
"Mama bilang apa ke kamu?" tanya Renata sambil mengemudi.
"Tante bilang dia sangat khawatir padamu. Kamu ngak sedikit kasar sama tante tadi?"
"Itu udah biasa terjadi. Kamu juga tau kenapa aku begitu,"
Setelah beberapa saat di jalan, kami sampai di mall tersebut. Renata memarkirkan mobilnya. Dan kami berjalan naik ke lantai atas. Dia mencari toko langganan tempat biasa dia kunjungi. Akupun mengikutinya dari belakang.
"Gill kamu ngak belanja?"
"Hm? Ngak. Tapi kalau ada yang cocok ya aku beli,"
Renata mencoba beberapa pakaian dan setelah itu membelinya. Renata merupakan tipe orang yang tidak teralu banyak memilih. Kalau dia sudah nyaman dan cocok, dia akan langsung membelinya. Aku senang dengan sifatnya itu, jadi aku tidak terlalu menunggu lama kalau dia sedang membeli sesuatu.
"Gill, coba lihat ini deh. Ini kaosnya lucu banget. Bukannya ini muat sama adik kamu ya? Siapa namanya? Leon kan?"
Ahh.. Karena aku merahasiakan soal Leon pada Renata, jadi yang Renata tau Leon itu adalah adikku.
"Iya benar nih, kaosnya lucu. Kok kamu tau banget ini cocok sama ukurannya Leon?"
"Aku kan sering perhatiin kamu beli baju buat adikmu. Jadi aku tau ukurannya,"
"Ya kali kamu merhatiin sampai segitunya,"
"Aku kan perhatian sama kamu, hahaha! Sini aku beliin yang ini juga buat Leon. Hitung-hitung aku sering pinjam kakaknya wara-wiri"
"Enak saja, memangnya aku barang, jadi bisa di pinjam-pinjam."
Saat kami sedang memilih pakaian, seorang pria di sampingku sepertinya sedang kebingungan. Dia melihat satu per satu ukuran kaos yang terpajang. Pria ini menyadari kalau aku berdiri di sampingnya sambil memilih.
"Ahh, maaf. Boleh tanya tidak?"
"Ya?"
"Kalau kaos untuk anak berumur 11 tahunan, kira-kira ukurannya berapa ya?"
Dia bertanya padaku. Aha, ternyata dia kebingungan cari ukuran. Aku kira dia kenapa karena gerakannya mencurigakan banget.
"Kalau untuk 11 tahunan, biasanya pakai ukuran ini. Apa anaknya tinggi?"
"Iya! Anaknya tinggi segini!"
Dengan semangat dia menjawab. Aku menyarankannya untuk memilih ukuran yang lebih besar, karena mungkin postur tubuhnya berbeda. Dia langsung memilih beberapa dan membayarnya di kasir. Aku lihat Renata juga masih sibuk memilih, jadi aku mengambil beberapa yang ku suka dan membayarnya.
"Terimakasih ya sudah bantu. Soalnya ini buat anak temanku. Dia baru pulang dari Hongkong dan membawa anaknya pulang, jadi aku bingung cari ukuran,"
"Iya, ngak apa-apa. Semoga ukurannya muat ya."
Dia pergi. Aku dan Renata melanjutkan belanja kami. Karena banyaknya cahaya yang ada di dalam mall, jadi waktu yang terlewat tidak terasa. Hari sudah mulai malam, Renata pun mengajakku untuk pulang.
Kami turun dan mengambil mobil. Meluncur keluar dari area mall. Renata puas karena semua yang dia perlukan sudah terbeli. Aku juga menemukan beberapa barang yang aku suka.
"Wah, aku beneran ngak sabar buat besok~"
Sambil mengatakan itu, aku tau dia sangat senang. Coba aku ganggu ah~
"Cih, kamu sih senang. Besok aku cuman bisa tidur seharian. Sahabatku sudah pergi meninggalkanku untuk bersenang-senang, sedih aku,"
"Hahaha! Jangan begitulah! Kapan-kapan aku temenin kamu lagi kok,"
"Yee, apaan yang kapan-kapan. Nanti kamu juga lupa sama aku,"
"Buset dah, aku ngak sejahat itu juga kali, hahaha!"
Kami mengitari kawasan Food Area. Ada beberapa restoran dan kafe di sana. Renata mengajakku untuk makan malam sebelum pulang. Dia memarkirkan mobilnya dan kami pun turun.
Karena sangat banyak tempat untuk makan di sini, aku dan Renata sampai merasa bingung mau makan di mana. Dia terus mengajakku berjalan lebih dalam ke area itu. Sampai akhirnya ada satu tempat yang mencuri perhatiannya.
"Gill, kita makan di sini ya! Aku sempat lihat di Nine Chat kalau makanan di sini enak,"
"Beer up Table? Kamu yakin mau makan di bar ini Ren?"
"Iya, aku yakin dong. Tenang saja kita ngak akan pesan sesuatu yang beralkohol kok. Percaya sama aku deh,"
Karena Renata yang mengajak, jadi aku memutuskan untuk ikut saja. Tempat ini tidak buruk juga, suasananya cukup nyaman. Musik yang di putar juga cocok untuk tempat ini. Kelihatannya Bar ini cukup terkenal, pengunjungnya ramai. Kami bahkan hampir tidak dapat tempat duduk.
"Gila, tempatnya rame juga. Untung ada yang sudah keluar jadi kita dapat tempat duduk deh. Benarkan kataku, tempat ini bagus."
"Aku serahin sama kamu saja deh Ren, kamu lebih tau soal tempat beginian,"
Kami mendapatkan meja di pojok ruangan lantai atas. Renata pun melihat menu makanan yang dia suka. Untuk menu yang di sajikan, bar ini cukup menyediakan makanan yang lengkap. Belum sempat memesan, seseorang muncul dan menghampiri meja kami.
"Rena?"
Seorang pria memanggil Renata dengan tatapan penuh harap. Renata langsung terkejut dan bangkit dari kursinya.
"Astaga! Raian?!! Ngapain kamu di sini!"
"Rena, aku ngak mau kita putus! Kenapa kamu tiba-tiba menghindar dari aku?! Apa salah aku?!"
Mantan pacar Renata itu terus mendesaknya. Mereka terlibat pertengkaran hebat dan menjadi pusat perhatian sekeliling. Aku yang berdiri di sana tidak bisa hanya berdiam diri saja.
"Maaf! Kamu ngak bisa begitu sama teman saya, sebaiknya kamu pergi!"
Aku membentak Raian, tapi dia tidak memperdulikan perkataanku. Aku mencium bau alkohol yang sangat menyengat dari Raian, Sial! Pria ini sedang mabuk!
"Heh! kamu ngak usah ikut campur ya! Ini urusan aku sama Rena!"
"Sinting kamu! Kita udah putus ya putus saja! Aku ngak mau punya hubungan sama cowok brengsek kayak kamu!"
"Kamu dengarkan apa yang Ren bilang?! Sebaiknya kamu pergi sebelum aku panggil keamanan!"
"Kamu ngak ada hubungannya! Minggir sana!!"
Raian mulai emosi, dia membentak dengan suara yang lebih kencang dan semua orang di sana melihat kearah kami. Walaupun aku takut, aku berdiri di depan Renata, agar Raian tidak bisa menyentuhnya.
"Kamu jahat... KAMU JAHAT BANGET SAMA AKU RENA!!!"
Raian langsung berteriak lagi. Aku mulai merasakan firasat buruk, dan aku berbisik pada Renata untuk segera pergi dari sini. "Ren, orang ini sinting beneran. Kita mesti kabur,"
Saat aku mulai bergerak sedikit, Raian langsung menyerang ke arahku. Dia ingin mencekik Renata!
Duaaakk!!!
Suara tinjuan yang cukup nyaring terdengar. Raian terpental seketika ke lantai. Seorang pria dengan jaket hitam berdiri di hadapanku. Ternyata dia yang menghajar Raian seketika sebelum Raian berhasil menyentuh kami.
"Laki-laki seperti anda sangat menjijikan. Anda membuat keributan seperti ini dan menyerang perempuan di tempat umum,"
Dia berkata seperti itu sambil mengibas tangannya yang ikut lebam saat menghantam Raian tadi. Aku mengatur napasku yang tak beraturan karena takut. Tangan Renata yang kupegang gemetaran. Aku berpikir dengan akal sehatku untuk tetap kuat.
"Brengsekkk!!! Siapa kamu!!! Ikut campur urusan orang!!"
"Harusnya anda yang malu, sudah melakukan keributan seperti ini,"
Raian mulai bangkit lagi, dan tubuhku mengisyaratkan untuk melindungi Renata yang di belakangku. Aku merasa kami akan terancam lagi.
"MINGGIR KAMUU!!!"
Benar saja, Raian langsung mengambil botol bir yang ada di atas meja dan menyerang lagi. Pria tadi mencoba menghentikannya, kali ini Raian benar-benar di luar kendali dan kami semakin terpojok!
"Ren!!! Lari dari sini!!"
Aku berteriak pada Renata, dia langsung berlari ke arah tangga. Melihat Renata pergi, Raian langsung mendorong pria itu ke meja dan menjambak rambut Renata.
Renata tersentak dan terduduk di lantai. Raian sudah gila! Dia ingin memukul Renata dengan botol bir itu!
"MATI KAMU ******!!!"
PRAANGGG!!!
Sesaat, aku tidak mendengar apa-apa lagi. Kepalaku sakit dan sepertinya aku terbaring di lantai. Pengelihatanku menjadi buram, nafasku menjadi sesak. Sepertinya Renata sedang berlutut dan dia menangis. Mulutnya terus mengucapkan sesuatu tapi aku tidak tau apa itu.
Ren, kamu ngomong apa..? Aku ngak bisa dengar kamu. Kepalaku kok jadi berat ya?Terus kenapa semuanya jadi gelap ... .
•
•
•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
Dhina ♑
Hadiah boleh
2021-08-15
0
alien
like e
2021-01-22
0
RN
like kk
aini mampir lagi kk
follback ya kk
2021-01-02
1