Saat kami kembali tugas yang ada sudah menunggu. Renata kembali keruangannya dan aku juga harus menyelesaikan pekerjaan yang sebelumnya.
Sempat terpikir sebelumnya, Federick yang biasa kami temui di rumah sakit memang terlihat ramah dan serius tapi tidak aku sangka ternyata dia orang yang menyenangkan juga.
"Hei~" ucap Renata yang tiba-tiba muncul di belakangku.
"Eeh Astaga! Gila kamu datang dari mana?!"
"Cieee~ Makanya jangan melamun terus, padahal aku sudah jalan dengan keras tapi kamunya yang ngak dengar," lanjutnya.
"Bohong deh," jawabku ketus.
"Aku serius tau,"
Kami duduk bersama di sebuah meja yang berada di sudut ruangan ini. Renata mulai membicarakan lagi kejadian barusan yang membuatnya sangat penasaran.
"Kamu sudah akrab banget sama Dokter Federick?" tanyanya sambil melihat catatan masuk yang selesai aku catat.
"Ngak, baru juga tadi ketemu selain di rumah sakit," jawabku singkat.
"Yakin kamu?"
"Yakin banget," jawabku lagi dengan memasang wajah datar.
"Idihh ngak asik ah! Gill serius kamu ngak ada apa-apa atau kesan khusus atau apa saja semacam itu?" ucap Renata geregetan.
"Lagian ngak ada apa-apa jadi apa yang harus diseriusin? Aneh kamu,"
"Aku ngak percaya! Buktinya tadi dia ngejar kamu sampai segitunya cuma buat kasi kartu biasa? Ayolah, itu pasti ada sesuatu!"
"Enak saja kartu biasa, ini susah banget di dapat tau ngak. Aku malah berterimakasih banget bisa dapat ini dan gratis pula,"
"Yeee anak komik dan novel emang beda ya, aku ngak paham sama jalan pikiran kalian. Tapi ngomong-ngomong kamu ngak ada niat nih?" ujar Renata yang meletakkan kembali dokumen. Dia memegang kedua pipinya sambil menatap penuh semangat padaku.
"Haa? Niat apa?"
"Itu tuh~"
"Itu apaan, ngomong yang jelas dong!"
"Kamu ngak peka banget deh, prihatin aku jadinya," ucapnya kemudian sambil menunjukkan wajah merendah.
"Kamu ngajak berantem ya masang muka begitu," ucapku yang mulai kesal walau sebenarnya aku sengaja.
"Bwahaha begini nih, aduh Gill sayangku. Kamu ngak niat untuk dekat sama Dokter Federick juga? Kayaknya dia naksir kamu deh,"
"Emangnya tau darimana kamu bisa yakin banget,"
"Kamu meremehkan Renata ini, aku sudah tau hanya dengan melihat matanya hahaha! Ini soal pengalaman sayangku~"
"Stres kamu, aku ngak kepikiran sama sekali,"
"Mumpung ada yang tertarik harusnya kamu juga respon dong, masa mau jadi jomblo terus-terusan," sambungnya.
"Kalau ngak ada rasa ya mau diapakan. Lagian aku ngak mau seperti kamu, pas putus langsung melarat seakan-akan dunia mau runtuh,"
"Aku ngak begitu tau~" ucapnya menyangkal.
Jika membahas masalah ini sepertinya semangat Renata tinggi sekali. Dia bisa menasehati temannya, padahal hubungannya sendiri putus-nyambung tidak karuan.
"Bulan depan sudah masuk natal, ada ide segat untuk katalog baru kita?" tanya Renata memulai topik yang serius.
"Bagian staf pemasaran sudah buat kelompok dan menetapkan jadwal rapat. Kalau aku sendiri sudah dapat beberapa contoh baru untuk desain dan proposalnya,"
"Gerak kamu cepat banget ya, padahal kayaknya baru bulan kemarin aku bilang untuk siap-siap dan kamu malah sudah kelar duluan," ujarnya memelas.
"Tapi aku juga senang, desain yang kamu buat untuk acara paskah saja benar-benar lancar. Kita malah kewalahan untuk proses produksi karena permintaan meningkat," lanjut Renata lagi.
Aku lebih senang karena hasil kerjaku bisa sangat menguntungkan. Memang sih aku sampai membuat jariku membengkak untuk menggambar dan melepuh karena terkena lem panas saat membuat modelnya, tapi setara untuk hasil yang didapatkan
"Saingan semakin banyak dan kalau cuma mengandalkan barang impor yang sudah, kita bisa kalah saing. Tapi karena barangnya hasil desain dan produksi sendiri itukan beda cerita," ujar Renata lebih dalam.
Sebenarnya, walaupun Renata terlihat cuek dan tidak serius menjalankan tugasnya tapi dari hatinya yang paling dalam dia itu sangat peduli.
Toko ini dan pabrik yang menyokong produksi adalah hasil kerja keras ibunya ketika muda serta bukti rasa sayang ayahnya ketika itu. Walaupun tidak bersama lagi, ayahnya Renata tetap memberikan perhatian pada putrinya sedangkan Tante Emila sudah tidak mempermasalahkan perceraiannya.
"Gill sabtu ini kamu liburkan? Temani aku belanja, oke?" tanya Renata dengan tiba-tiba.
"Hm? Aku oke saja sih, tapi ada apa ini? Kok tumben sekali?"
"Duuh~ Aku jadi malu bilang ke kamu!" lanjut Renata yang kemudian refleks memukul lenganku sambil tersenyum menghayati apa yang dirasakannya.
PLAKK!
"Aduh!! Gila nih anak, sakit tau! Aku tau kamu kayaknya lagi senang, tapi ngak perlu pukul-pukul segala," ucapku sambil menggosok lengan yang merah dipukulnya.
"Bwahaha! Sorry aku kelepasan, hehe. Minggu aku mau kencan sama Dave, jadi mesti dandan yang cantik~"
Dia benar-benar sebegitu senangnya, jadi begini ya orang kalau sedang jatuh cinta?
"Enak ya yang bisa mesra-mesraan di hari libur," jawabku sambil tersenyum jahil.
"Iya dong, memangnya seperti kamu yang bertelur dalam rumah doang. Sana cari gebetan biar bisa diberi kasih sayang," ucapnya membalasku.
"Ngak tertarik tuh~ Eh tapi bukannya kamu baru putus? Siapa namanya, Rian? Raian? Rehan?"
"Jangan mengungkit masa lalu deh, mood aku jadi luntur tau ngak,"
"Pffttt, ya kali aku berharap yang ini ngak bernasib sama~"
"Beri dukungan sedikit kenapa sih. Pokoknya kalau kali ini aku sampai putus lagi maka aku bakal ikut jejak menjomblo orang di sebelahku ini biar tidak merasakan perihnya sakit hati!"
"Woi woi, jangan bawa-bawa aku ke kehidupan kamu,"
"Pokoknya Renata harus semangat berjuang!"
"Kamu ngak mendengarkan aku ya?"
Waktu pun berlalu dan langit sudah menjadi gelap. Yang tertera di jam dinding sekarang sudah pukul 20.15 dan semuanya sedang bersiap-siap untuk pulang.
Renata menghampiri aku yang sedang mengemaskan tasku sambil membawa kunci mobilnya.
"Gill sayang~ Malam ini aku ngak nginap di rumah kamu ya," katanya dengan perasaan senang berseri-seri.
"Seneng banget kamu, habis dapat kabar dari pangeran ya?"
"Hohoho rahasia perusahaan~"
"Kamu mau balik ke apartemen?"
"Haaa~ sayangnya bukan. Malam ini aku pulang ke rumah mama, ponselku sudah mau pecah karena chat yang dikirimnya sudah menumpuuuk~ banget dari tadi siang,"
"Lagian kamu sih jarang pulang, aku titip salam buat Tante ya,"
"Oke sip~ Mau aku antar dulu ngak?" tawar Renata.
"Ngak perlu kok, aku jalan kaki saja. Lagian kamu putar baliknya jauh kalau masuk perumahan,"
"Ya sudah deh sampai ketemu lagi ya, bye~"
"Ya bye~"
Aku berpisah dengan Renata dan menyelusuri jalan pulang. Cahaya yang lembut terpancar dari lampu-lampu penerangan di sepanjang jalan. Suara kendaraan mulai memudar seiring berjalan menjauh dari jalanan utama.
Aku melintasi sebuah toko bunga. Beberapa bunga segar masih terpajang dan bunga anggrek yang cantik juga ada disana.
Kerinduan
Hatiku seketika menjadi berat dan sebuah rasa kerinduan yang besar datang. Aku teringat dengan ibuku juga putraku, Leon. Mereka berdua sangat menyukai bunga anggrek, bunga ini mempunyai arti tersendiri untuk hidupku.
Aku mulai mengambil nafas panjang dan berpikir. Seandainya saja aku bisa memutar waktu kembali ke masa itu, apakah jalan yang aku pilih akan tetap sama atau penyesalan ini akan tetap ada?
"Apapun yang sudah terjadi ibu akan selalu memaafkan kamu nak,"
"Ibu Leon jangan bersedih, kalau bersedih Leon juga akan sedih. Kita sama-sama harus senyum terus, oke!"
Tetesan air mata mulai mengalir hingga ke pipinya Gill. Dia menggenggam kedua tangannya dengan erat di dada. Isak tangis yang tertahan membuatnya sulit untuk bernapas.
Kakinya kemudian terus melangkah, menelusuri jalan pulang dengan angin dingin yang berhembus.
5 tahun yang lalu
Saat itu Gill berumur 18 tahun, dia merupakan putri yang dibanggakan orang tuanya karena berprestasi, sikap bertanggung jawab yang baik serta penurut.
Dia bukanlah anak yang bisa mengungkapkan perasaannya secara langsung. Didikan keras keluarga yang mengharuskannya mandiri dan dapat melakukan segala hal sendiri berdampak pada dirinya yang tertekan dan akhirnya menjadi pribadi yang menyendiri.
Di saat dirinya merasa kesepian tapi tidak bisa mengungkapkannya, Oscar muncul dan berusaha mendapatkan perhatiannya.
Hati yang kemudian luluh dan berakhir di buta-tulikan oleh cinta pertama, menjadikan sosok Gill berubah drastis.
Berlahan sifatnya menjadi lebih tertutup, membangkang dan bahkan mulai berani bertengkar karena beradu argumen dengan ibunya.
Komunikasi yang kurang antara orang tua dan anak, membuatnya mencari sandaran lain dan beranggapan sandarannya itu adalah segalanya.
Saat Ibunya Gill menyadari ada yang salah, Gill telah berhari-hari mengurung diri dan enggan untuk bertemu.
TOK TOK TOK ( suara mengetuk pintu )
"Nak, ibu tau kok kau di dalam. Maukah kamu membukakan pintu?" ucap ibunya Gill dengan wajah yang terlihat sedih.
Seminggu ini Gill hanya mengurung diri di kamarnya. Saat makan bersama, dia cepat-cepat menghabiskan makanan dan segera kembali. Ayah Gill orang yang keras, dia pernah mendobrak pintu karena marah oleh sikap tidak masuk akal putrinya saat itu tapi di hentikan oleh ibunya Gill.
"Kamu tau kan sikap ayahmu memang keras dan pemarah, tapi sebenarnya dia sangat sayang denganmu. Maafkan ayahmu itu ya," ucapnya.
"Ibu juga minta maaf karena selama ini tidak memperhatikan kamu, harusnya ibu selalu di sisimu,"
Tidak ada jawaban sama sekali dari sana. Dengan hati yang kecewa, Ibunya Gill masih berdiri di depan pintu kamar yang tidak kunjung terbuka.
Air mata yang tak kuasa ditahan jatuh mengalir dan mulai membasahi pipi. Sebuah perasaan kecewa yang bercampur aduk dengan kesedihan membuatnya hanya bisa terdiam sambil mengusap tangis dengan lengan baju.
KLEK
Terdengar suara kunci pintu yang terbuka, dengan perasaan penuh haru Ibunya Gill langsung memeluk putrinya itu. Suara tangis keduanya semakin kuat, kaki yang tidak kuat dan melemah membuat mereka terduduk di lantai.
"Gill, apa yang sudah terjadi nak?"
Suaranya bergetar, menahan tangis yang tak terbendung sambil memeluk putrinya itu dengan lebih kencang.
"I-ibu, m-maafkan aku...."
"Tidak apa-apa. Tidak apa-apa sayang, ibu di sini dan jangan takut ya,"
"I-Ibu... "
"Sayang, sekarang kamu mau ya cerita sama ibu. Apa yang terjadi? Kenapa kamu seperti ini?"
Gill tidak menjawab ibunya, dia menunduk-menangis sampai tak bisa bersuara dengan mulut terbuka karena tidak bisa bernafas.
"Jawab nak! Jawab! Ibumu yang sudah tua ini di sini!! Biar di luar sana semua menentangmu, ibumu ini masih kuat untuk melindungimu! Ibu mohon, cerita sama ibu," bentaknya sambil mengguncang tubuh putrinya.
Hatinya benar-benar terasa teiris, ibu mana di dunia ini yang tidak merasa hancur melihat anaknya dengan kondisi seperti ini.
"Ibu mohon nak ..." lanjutnya lagi dengan putus asa.
Seluruh tubuh Gill gemetaran dan menggenggam pakaian ibunya dengan kuat. Dengan mengumpulkan suara yang nyaris tidak bisa keluar,
"I-Ibu... A-Aku hamil... ."
•
•
•
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 94 Episodes
Comments
BELVA
mangatzzzz
2021-01-22
0
alien
likee
2021-01-22
0
Ayuwidia
like......
2020-11-20
1