1
Di mimpi Roy, setelah dia diperkenalkan dengan anak teman ibunya, Riyono. Dia dan Riyon bermain sepak bola. Kejadiannya sama persis dengan mimpi Riyon, dia di kejar kepala buntung.
Saat dia masuk gerbang rumahnya, dia melihat Riyono tersandung batu, dia terjatuh ke selokan dan tiba-tiba dia menghilang begitu saja.
Roy masuk ke dalam rumahnya, dia mengunci pintu.
Blar! Blar!. Kepala buntung itu menabrakkan dirinya ke pintu rumah Roy berkali-kali.
Setelah Roy mengunci pintunya, dia langsung berlari ke kamarnya di lantai dua. Lampu dinding rumahnya berkedip-kedip, sesaat kemudian mati semuanya.
Gelap, Roy memanggil nama bapak ibunya. Tidak ada jawaban.
Saat matanya sudah mulai terbiasa oleh kegelapan, akhirnya dia bisa melihat sekeliling, walaupun tidak terlalu jelas. Banyak bayangan samar putih di pojok-pojok dinding rumahnya. Pocong, dengan berbagi bagian wajahnya hanya terlihat hitam pekat.
Duk! Sesuatu menggelinding dan membentur kaki Roy, dan Roy melihat kebawah.
Kepala buntung tadi menempel di kakinya. Meringis lebar, mata melotot penuh ancaman, dan lubang hidung, mulut dan telinganya mengeluarkan darah. Bau anyir tercium sangat pekat, membuat Roy pusing. Roy Mattalatta pingsan.
2
Kamar Roy luas, jendela menghadap ke arah barat, beberapa rak buku berdiri di dinding. Lampu-lampu bohlam menempel di dinding juga. Meja belajar tepat di bawah jendela.
Ranjang dengan tiang di keempat sisi, dan di pasangi kelambu nyamuk, berdiri di tengah ruangan.
Roy terbaring di sana. Dia di kelilingi pocong pocong yang membungkuk ke arah dia. Salah satu pocong, berdiri di atas perut dia, melotot penuh amarah. Wajah pocong tersebut sama persis dengan yang di lihat Riyono di mimpinya.
Roy hanya bisa berteriak kencang, namun apalah daya. Itu di alam mimpi, tidak ada yang bisa mendengar teriakannya.
"Ini pembalasan atas perbuatanmu tadi, kau buat kepalaku sebagai bola. Kau tendang, kau injak." Kata pocong yang berdiri di atas perut dia.
"Maaf.." Roy cuma bisa mengguman lemah. Dia menangis, dan pipis di celana. "Maaf, aku ga tau kalo itu kepala."
"Maaf.?" Saat pocong menjawab begitu sambil seketika menjatuhkan dirinya ke arah Roy. Muka pocong tersebut tepat di muka Roy. Begitu dekat sehingga Roy Mattalatta pun berteriak-teriak histeris. "Maaf.? Enak saja."
3
Di tidurnya, Roy berteriak-teriak. Melihat itu Bu Luluk mencoba membangunkannya, tapi begitu bangun, yang ada Roy malah tambah histeris. Di dalam pandangannya, seperti Riyono. Siapapun itu terlihat sebagai pocong. Dia juga kesurupan.
Dukun dukun di datangkan dari berbagai tempat, niatnya supaya di jampi jampi supaya sembuh. Tapi Roy masih tetap histeris, menunjuk-nunjuk mereka satu-persatu bagaikan kesetanan. Terlihat olehnya, dukun dukun itu adalah pocong. Pendeta, Romo pun di panggil. Hasilnya nihil, hingga suatu hari. Salah satu pemuka agama mendengar hal itu dan dia datang melihat Roy.
Roy di aja bicara oleh pemuka agama tersebut, seperti Riyono. Yang menjawab Roy, tapi suaranya bukan suara Roy. Tapi orang lain, suaranya menggelegar dan menyeramkan.
Dia menyuruh mengembalikan kepalanya yang di pakai oleh Roy dan Riyono sebagai bola sepak, untuk di kembalikan ke kuburannya.
Dan berbondong-bondong warga sekitar dan keluarga Roy menuju pemakaman. Tengkorak kepala di temukan di salah satu semak di pinggir lapangan bola. Dan di kuburan di kuburan yang sedikit terbuka.
Ternyata kuburan itu di gali oleh salah seorang yang sedang melakukan ritual pesugihan. Kuburan itu di gali untuk di ambil kain kafannya, tapi jejak galian tersebut tidak di tutup dengan baik, sehingga kepala jenazah tersebut di gali dan di bawa keluar oleh binatang liar. Entah itu anjing atau yang lainya.
Setelah di kembalikan dan di kuburkan kembali, dan di doakan. Lambat laun Roy beranjak tenang, dan beberapa hari kemudian dia sudah kembali normal.
Cerita tersebut di peroleh bapak Riyono saat menjenguk anak temannya tersebut. Bapak Riyono meminta maaf gara-gara kenakalanku, Roy jadi kesurupan sepertiku.
Tapi keluar Mattalatta memakluminya karena anaknya juga nakal. Dan cerita pun berakhir.
Nex
Setelah aku sehat, aku pergi keluar untuk bermain. Hari itu Minggu pagi, suasan masih dingin dan berkabut. Aku menuju ba'an, tempat mengumpulkan hasil panen. Aku kesana karena kudengar teman-teman sedang bermain di lapangan sana.
"Eh Yon, kamu sudah sehat?" Tanya Udin saat melihatku berjalan menuju merekan. Udin, Angga, Efi sedang menyalakan api unggun.
"Yoi Din, Alhamdulillah sudah." Jawabku. " Kalian sendiri.?"
"Sehat " jawab mereka bergantian.
"Ada orang baru nih." Kata Angga. "Namanya pak Ponijan, aktifis kesenian jaranan."
"Eh serius.?"
"Iya, dia mengumpulkan beberapa warga buat berpartisipasi. Bapaknya Bogel sama Dika ikut, dan orang-orang desa sebelah juga banyak yang ikut."
"Wah, seru kelihatannya."
"Hai teman-teman." Seorang gadis seumuran kami menyapa.
"Yoo," jawab Udin dan Angga.
"Yon, perkenalan. Ini Sri Rahayu, anaknya pak Ponijan." Efi memperkenalkan dia padaku.
"Riyono."
"Ayu, salam kenal."
"Salam."
Ayu berkulit sawo matang, mata coklat, rambut keriting, dan tingginya sama dengan Efi.
Nex
Setelah perkenalan tadi, kami duduk mengelilingi api unggun. Dan satu persatu dari kami menceritakan kisah horor nya satu-persatu.
Aku mulai duluan, aku ceritakan kisahku mulai dari sapi penasaran hingga kepala buntung yang aku alami satu minggu yang lalu. Bogel dan Dika bergabung saat aku tengah bercerita.
"Kalau cerita kalian gimana.?" Setelah aku menyelesaikan ceritaku. "Cerita yang kalian alami sendiri lho ya, bukan orang lain."
"Wah ramainya disini." Orang berumur seusia bapakku menyapa kami. Dia tidak terlalu tinggi, perut buncitnya lumayan bikin geli. Kumis tebal, alis tebal, dan dia memakai hitam-hitam di bawah matanya. Dia memakai baju serba hitam tidak berkancing, baju bagian dalamnya bewarna garis-garis merah putih. Tak lupa, dia juga memakai blangkon. Ikat pinggangnya terbuat dari tali tambang besar berwarna putih. "Lho, nambah satu anaknya rupanya." Dia menunjukku.
"Aku Riyono, putra pak Ngateno Harianto. Salam kenal." Jawabku.
"Salam. Aku Ponijan, bapaknya Sri Rahayu."
Oh ini rupanya, orang baru kata Udin, sang aktifis kesenian jaranan.
"Ini ada singkong, silakan di bakar. Dingin-dingin begini paling enak makan yang hangat-hangat kan.? Pak Ponijan memberi kami singkong cukup banyak dan dia pun pamit ke ladang.
Kami semangat sekali untuk membakar singkong. Dan melupakan kisah horor yang rencananya mau di ceritakan secara bergiliran. Setelah kenyang, kita pun bubar.
Nex
Sore harinya di rumah, Mas Andri yang kemarin tidak ikut ke kota, dia bercerita pengalamannya saat ronda.
"Aku dan pak Santoso dapat giliran ronda. Jam sebelas malam, giliran pak Santoso yang berkeliling kampung melihat keadaan. Jadi aku menyalakan api unggun di dekat pos ronda." Kata Mas Andri, dia bercerita panjang lebar. "Saat Pak Santoso kembali ke pos ronda, karena dia melihat api unggun, dia bersemangat sekali,
' wah mantap,' kata Pak Santoso. ' aku tak cari singkong kala begitu.' setelah itu dia pergi ke Ba'an. Disana ada ladang singkong. Saat kembali, Pak Santoso membawa singkong di tangannya. Tapi wajahnya pucat pasi.
'ada apa?' tanyaku 'kok kelihatan pucat wajahmu?'
'waktu di kebun, pas mencabut singkong, di dekat gubuk penyimpanan. Ada pocong.!!' jawab Pak Santoso."
"Kalian ini, saat ambil singkongnya, kalian sudah ijin belum ke yang punya?" Tanya ibuku.
"Hehehe. Enggak Mak." Jawab Mas Andri. "Habisnya, kalian ke kota ga pulang pulang sih. Karena kelaparan, dan Pak Santoso bawa singkong. Hasil nyuri ga kenapa-napa lah, sesekali saja." Mas Andri cengengesan.
Dan saat itu ibu menjewer dia dan berkata. "Masa petugas keamanan, malah nyuri sih?"
"Adaadadaddadah, maupun Mak. Ampun."
Setelah itu karena sudah larut malam, kami pun pergi tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Ryuu Ajaa
Jadi keinget abis tarawih ngumpul bareng sepupu bakar singkong ama jagung didepan rumah nenek sambil Cerita2 pengalaman horror.
2024-10-08
5
NiaNii
duh ga bisa bayangin jadi si Roy 😭
2024-08-05
2