Sudah hampir satu jam aku berputar-putar disana, mungkin pemilik sawah di daerah situ memasang pagar ghaib sehingga siapapun yang masuk sana saat malam hari, dipastikan dia akan berputar-putar terus sampai pemiliknya mengeluarkan orang yang tersesat disana. Efi tetap mengejar ku kemanapun aku berlari. Dia tetap meneriakkan hal yang sama "Mana. Mana. Mana." Dengan nada yang sangat tinggi, mengerikan, bukan seperti teriakan manusia pada umumnya.
Di depan kulihat ada siluet ayam Kate. Ya celengan ayam tadi. Dia lompat-lompat kearah kanan, aku mengikutinya. Ayam itu yang mengantar ku kesini, berarti dia tahu jalan keluarnya. Pikirku.
Rimbunan pohon pisang lain terlihat di depanku. Agak jauh tapi terlihat cukup jelas, di tengah-tengahnya ada jalan setapak sempit. Cukup untuk anak kecil lewat sana. Ayam itu menuju jalan itu, dan langsung saja aku mengikutinya.
Jalan itu cukup panjang, cukup lama aku berlari disana. Di kanan kirinya ada deretan pohon rindang yang sangat lebat. Di belakangnya lagi deretan pohon pisang.
Di ujung jalan terlihat seberkas cahaya remang. Ayam itu masih didepan, aku ga sempat kepikiran, kok bisa-bisanya ayam itu tidak terkejar-kejar juga. Padahal dari tadi aku berlari sangat kencang.
Ternyata itu cahaya lampu templek yang di pasangkan di pos ronda, ya pos ronda tempat bapakku biasanya jaga malam. Entah gimana ceritanya, kok bisa jalan setapak yang aku lalui ini bisa tembus ke arah pos ronda. Padahal jarak pos ronda dan tanggul kedua itu sangat jauh.
Bodoh amat lah. Yang penting mulai dari depan aku hafal jalan pulang.
Pos ronda itu tepat di pertigaan jalan. Ke arah timur menuju Ba'an. Tempat dimana hasil panen di kumpulkan. Ke arah selatan itu ke arah sungai wedok. Harusnya habis sungai wedok itu musti melewati bentangan sawah yang sangat luas untuk sampai ke tanggul kedua. Dan ke arah barat itu jalan ke rumahku.
Pos ronda berada di sebelah kiri ku. Berdiri di bawah rimbunan pohon bambu yang sangat rimbun. Tidak ada seorangpun yang terlihat di sana. Mungkin masih keliling desa untuk melihat keadaan.
Aku melesat ke arah kiri - kearah barat. Menuju rumah. Karena aku sudah tidak mendengar suara dari belakang, aku coba untuk memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Ternyata setan Efi itu sudah tidak mengejar. Alhamdulillah. Pikirku. Selamat deh.
Aku mengatur nafas sebentar dan melanjutkan perjalanan menuju rumahku.
2
Terdengar suara adzan dari arah masjid AL-Barokah saat aku masuk ke dalam rumah. Ku lihat ibuku makan malam bareng bapak.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab bapak ibu barengan.
"Wajahmu kenapa berkeringat begitu?" Tanya ibuku "dan dari mana saja kamu barusan?"
Aku pun bercerita tentang kejadian barusan yang aku alami. Karena merasa sangat bersalah, bapak langsung memelukku. Dia berjanji besok pagi aku di kasih uang jajan. Dia benar-benar tidak ada uang karena belum gajian.
"Efi tadi mukanya hancur sebelah, matanya copot menggantung di pipinya. Mata satunya lagi merah menyala. Mulutnya terbuka lebar." Kataku menjelaskan gambaran sosok Efi di tanggul kedua tadi. "Dan ayam itu aku tidak tahu kemana dia menghilangnya. Pokoknya setelah aku masuk jalan setapak yang tembus ke pos ronda, tau tau aja ayam itu sudah menghilang."
"Mungkin itu bukan Efi nak." Jawab ibu. "Mungkin itu arwahnya Efa. Kakak perempuannya Efi." Lantas ibu diam cukup lama untuk melanjutkan ceritanya. "Efi punya kakak perempuan, dia meninggal saat kamu dan Efi masih berusia satu tahunan."
"Kenapa cerita mbak Efa tidak pernah di bicarakan?" Tanyaku.
"Itu untuk menjaga perasaan Bu Sari, Yon. Hampir setiap hari, Bu Sari selalu datang ke tanggul sana. Sampai akhirnya pak ustadz Fatkhur Rohman meng rukyah Bu Sari. Setelah di rukyah, lambat laun Bu Sari mulai tenang dan tidak pernah lagi ke tanggul. Sampai sekarang. Karena tanggul kedua
sangat angker, orang-orang desa memasang pagar ghaib aga tidak ada anak-anak atau pendatang menuju ke sana pas malam hari. Kamu beruntung bisa keluar dari sana sendirian. Biasanya orang yang terjebak di sana baru bisa keluar keesokan harinya."
Mendengar cerita itu, seketika pula itu tubuh ku lemas. Merinding. Dan berkeringat sangat deras. Ibuku pun melanjutkan kisahnya. Dia bercerita tentang banjir bandang yang menewaskan Mbak Efa. Ibuku juga mewanti-wanti untuk tidak menceritakan hal tersebut, dan melarang - dengan alasa apapun - pergi ke bendungan kedua terlebih saat malam hari.
Yang menjadi pertanyaan ku. Aku merasa sangat lama di tanggul kedua. Serasa Berjam-jam disana. Tapi, anehnya waktu aku keluar rumah dan akhirnya bisa sampai pulang itu hanya sekitar tiga puluh menitan saja. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya terjebak di sana semalaman.
Sesudah makan malam, bapak yang mestinya hari itu libur ronda. Dia terpaksa harus ronda dikarenakan salah satu hansip yang jaga malam itu sakit mendadak. Oh jadi itu alasan kenapa di pos ronda tadi sepi belum ada orangnya. Karena masih belum masuk jam ronda. Masih terlalu sore.
3
Sekitar jam sembilan bapak pun berangkat. Erni sudah pulang dari menginap dirumahnya Mbah Di. Jadi aku pun main sama dia, aku lupa samasekali kejadian sapi penasaran-. Kami bermain, bercanda, kadang ibu bergabung sama kami. Bercerita macam-macam, suasana yang sangat jarang terjadi. Karena biasanya aku dimarahi macam-macam atas kenakalanku.
"Sudah jam setengah sepuluh, kalian cepat-cepat tidur sana." Ibu menyuruh kami. "Aku masih mau menunggu mas Andri pulang."
"BRAK!!" Saat ibuku bilang 'Pulang', pintu dibuka dengan cara sangat kasar. Kita bertiga kaget setengah mati.
"Bisa sopan sedikit tidak.!?" Ibuk memarahi mas Andri, ya mas Andri pulang dan baru kali pertama ini dia di marahin sama ibu.
"Hiiiiiiiiii....." Dia ga memperdulikan kata-kata ibu tadi. Dia langsung aja memeluk ibuk sambil gemetaran hebat. Dia menangis.
Amarah berganti rasa cemas. Ibu membelai rambut mas Andri sambil bertanya. "Ada apa Ndri? Kenapa kamu?"
"Efa, Mak." Diam cukup lama. "Efa. Tadi ada Efa." Kata mas Andri. Tanpa di jelaskan lagi, aku langsung paham maksud dia. Sepertinya dia juga di ganggu arwah Efa. "Tadi pas dari desa Wagir. (Wagir harus lewat ringin kembar kearah timur.) Tadi kan lewat sebelah bendungan yang dulu. Emak tahu sendirian maksudku. Di dekat pohon randu di pinggir selatan bendungan, tadi ada Efi sama pak Rawi, mereka boncengan pake sepeda ontel dari Wagir juga katanya. Ban sepedanya bocor, kebetulan pas aku lewat situ Pak Rawi memanggil. Dia menyuruh mengantar Efi pulang duluan. Karena satu arah, jadi aku iyakan saja.
Saat aku bonceng, awalnya normal-normal saja, tapi pas mau sampai di depan kelurahan sepedaku terasa sangat berat. Aku kira ban sepedaku juga bocor, aku pun berhenti. Saat itulah aku sadar kalau Efi tidak ada di boncengan. Aku kan belum turun dari sepeda saat itu, cuma menoleh kebelakang saja. Dan pas aku menoleh kedepan. Efi ternyata duduk di stir sepedaku. Langsung saja aku lompat dari sepeda dan lari pulang. Tapi Efi berteriak. 'Andri. Kenapa kamu lari? Kan kita sering main bareng, masa kamu lupa sama aku. Aku Efa.' Efa sudah meninggal Mak, tapi tadi dia.. diaa.." Mas Andri tidak bisa melanjutkan ceritanya. Dia menangis hebat sambil memeluk ibu.
"Sudah, sudah" kata ibu. "Kamu tidur aja dulu sana. Mungkin kamu capek, tadi cuma halsuinasi, eh anu. Hasunilasi. Eh bukan. Itu cuma halu, hal, haluli. Cih. Tadi cuma halusinasi kamu saja. Duh. Ngomong halusinasi saja belibet amat sih" Hibur ibu. Karena aku dilarang menceritakan kisahku tadi, aku jadi hanya diam saja.
"Efa. Mukanya hancur sebelah Mak." Lanjut mas Andri. "Dan aku ga capek, ga mungkin itu tadi cuma hansyulni, Halah apalah namanya tadi. Kok jadi ikutan saja. Kamu ga percaya sama ceritaku ya mak.?" Terlihat muka mas Andri sangat kecewa. Dia menatapku, aku memberi tatapan kalau aku percaya sama dia. Dan dia pun pergi ke kamar dan tidur.
"Riyon. Pokoknya kamu jangan cerita ke siapapun. Kasihan Bu Sari, biar dia tidak teringat meninggalnya Mbak Efa yang tragis itu."
"Iya Mak. Aku janji."
Tapi sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 129 Episodes
Comments
Green Force
Kisahnya Efa singkat amat
2024-12-18
1