Senja kian tua. Langit gelap tanpa bintang, hanya ada cahaya perak redup bulan sabit, yang menyelinap di sela-sela kerimbunan daun bambu.
Dara dan lelaki itu saling menatap, mata mereka terkunci satu sama lain, seolah magnet maha kuat saling tarik menarik, membuat Dara tak bisa mengalihkan pandang.
Perlahan, kaki Dara melangkah, memangkas jarak antara dirinya dan lelaki itu. Tidak ada orang lain di sini. Bahkan makhluk lain pun tidak ada. Hanya mereka berdua. Dan batang-batang pohon bambu yang rapat, seolah menutupi keberadaan tempat ini dari mata orang lain.
Mereka tersembunyi dari dunia luar. Tidak akan ada yang mengusik mereka. Bahkan mungkin, keberadaan tempat ini pun tidak diketahui orang lain.
Semakin dekat jarak mereka, deburan jantung Dara kian memburu. Antara antisipasi dan kecemasan, takut lelaki itu menghilang lagi. Atau ini semua hanya halusinasi, dan laki-laki itu kembali lenyap.
Namun, tidak. Hingga dirinya tiba di tempat Damar berdiri, lelaki itu tetap di tempatnya. Dan tangannya yang terulur, akhirnya menggenggam tangan Dara. Itu terasa dingin. Entah yang dingin tangannya atau tangan Damar, Dara tidak terlalu peduli.
Kini ia sudah tahu di mana menemui Damar. Ia bisa datang kapan saja untuk menemuinya. Mereka bisa menikmati kebersamaan, mengekspresikan rasa, mereguk nirwana. Seluruh emosi dan hasrat memenuhi dada Dara hingga luber, harus segera ditumpahkan.
Damar benar-benar nyata, bukan antara ada dan tiada, antara mimpi dan ilusi, antara khayalan atau mimpi. Tidak kali ini. Dia benar-benar berdiri di hadapannya.
Damar mendekat. Dalam posisi tak berjarak, kepala Dara hanya mencapai pundaknya. Dengan penuh semangat Dara mengangkat kepala, ingin mencetak wajah Damar lekat-lekat di benaknya.
Damar agak menunduk. Ia sangat tampan, dengan garis wajah yang tajam. Irisnya yang kekuningan tajam penuh misteri, bulu matanya panjang dan lebat. Dara terbius dan hampir lupa diri, jantungnya seketika meliar tak terkendali.
“Jadi nama kamu Damar?” suara Dara bergetar menahan emosi yang meluap. “Aku Dara.”
Damar hanya tersenyum dan mengangguk.
“Kenapa kamu hanya muncul saat ada kiriman ular?”
Damar tertawa kecil. “Karena aku terikat dengan mereka.” Suaranya membelai telinga Dara. Tidak melepaskan tatapannya.
Daya tarik lelaki ini sungguh tak mampu ditepisnya. Itu terlalu kuat, Dara sudah ingin melompat untuk memeluknya.
“Terikat?” Dara mengernyitkan dahi, tidak mengerti.
Damar mengangguk. “Itu tidak penting. Kamu sudah di sini, malam ini aku tidak ingin berbicara tentang itu.”
Damar maju satu langkah, dan jarak tubuh mereka kini hanya setipis kertas. Karena Dara masih mendongak dan Damar masih menunduk, bibir mereka hampir bersentuhan.
Tangan Damar menyentuh pipi Dara, dan sekujur tubuh Dara gemetar. Ada sesuatu dalam sentuhan itu yang membuat Dara ingin menenggelamkan diri dalam pelukannya.
Dara baru saja berpikir, dan ia telah melakukannya. Kepalanya rebah di dada Damar yang telanjang. Otot-otot dadanya yang liat terasa kencang. Tanpa malu, Dara melingkarkan tangannya ke sekeliling pinggang Damar, memeluknya erat-erat hingga tubuh mereka menempel.
“Jangan pergi lagi…” Dara berbisik.
Karena tidak mendengar jawaban, Dara kembali mengangkat kepala. Ia melihat Damar sedang tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Aku di sini,” dia berbisik di telinga Dara. “Selalu di sini.”
Tanpa mampu menahan gejolak, Dara melabuhkan bibirnya di bibir Damar. Merasakan Damar tersenyum di bawah bibirnya, sebelum balas memagut dengan lebih ganas. Ciuman itu penuh nafsu, lidah mereka saling mengait, saling menjelajah rongga mulut masing-masing. Setiap serat tubuh Dara seolah disulut dengan bara api, merasakan desakan keinginan yang sama kuat dalam dirinya.
Intensitas ciuman mereka kian meningkat. Hanya ada mereka di sini, ini adalah dunia mereka berdua. Tangan Damar menjelajahi tubuh Dara penuh hasrat. Dara merasakan sentuhan itu mengalirkan panas ke seluruh tubuhnya.
Tanpa kata-kata, mereka saling melepaskan pakaian, membiarkan kulit mereka bersentuhan langsung. Damar memimpin Dara ke atas rerumputan di dekat kolam. Di bawah sinar bulan yang redup, tubuh mereka bersatu dalam tarian cinta yang panas dan penuh gairah.
Setiap sentuhan, setiap ciuman Damar membuat Dara merasa seolah terbang ke dunia lain. Ini bukan tempat yang layak untuk melampiaskan hasrat. Tetapi logika telah pergi dari kepala Dara. Ia malah merasa lebih hidup daripada sebelumnya. Ia tak lagi ingin pulang.
Membayangkan hidup sehari tanpa sentuhan dan ciuman Damar membuatnya merasa hampir mati. Mereka saling meraba tubuh polos masing-masing, bergerak ritmis, dan akhirnya meledak mencapai puncak kenikmatan bersama.
Setelah itu, mereka berbaring berdampingan di atas rumput, terengah-engah. Dara menatap langit, merasa campuran antara kebahagiaan dan kebingungan. Ia baru saja bercinta dengan penuh nafsu. Padahal ia belum pernah disentuh laki-laki.
Dara memandang Damar yang sedang menatapnya. Dan hasratnya kembali tersulut. Entah bagaimana, mereka telah berada di sebuah gubuk sederhana. Dan tanpa melewatkan waktu, mereka kembali bergumul, lebih liar, lebih gila.
Dara melenguh dan menjerit, berteriak memanggil nama Damar.
“Aaahhh… Damar. Jangan… jangan berhenti…. ahhh…” Dan gerakan Damar kian kesetanan, kejantanannya keluar masuk liang kenikmatan Dara tak henti-henti, membuat Dara melengkungkan pinggang dan bola matanya terbalik.
Mereka melakukannya lagi dan lagi hingga hampir fajar, seolah hanya ini satu-satunya kesempatan mereka. Dara mencapai puncak berkali-kali, hingga tubuhnya lunglai seolah tulang-tulangnya diloloskan. Ia tidak berpikir untuk pulang. Ia ingin menetap di sini, hanya bercinta dengan Damar.
Ketika sekali lagi tergolek di samping Damar, tersengal-sengal mengatur napas, Dara bertanya sambil mengelus pipinya.
“Siapa kamu sebenarnya, Damar?” suaranya berupa bisikan.
Damar memandang Dara dengan tatapan penuh misteri. “Itu tidak penting. Aku hanya menginginkanmu.”
Dara menatap wajah tampan itu. “Kenapa kamu tertarik padaku?”
Damar tersenyum, “Karena kamu berbeda.”
“Apa maksudmu?” Dara mengernyitkan kening. Damar selalu menjawab dengan kalimat-kalimat singkat. Alih-alih menjawab pertanyaannya, malah semakin membuat Dara bingung dan penasaran.
“Nikmati saja kebersamaan kita,” Damar kembali meraba titik-titik sensitif Dara, membuat Dara kembali terempas dalam gejolak gairah tak berkesudahan.
Satu hal yang diketahui Dara dengan pasti. Ia telah kecanduan akan rasa yang diberikan Damar. Dan ia tak ingin melepaskannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Hariyanti Katu
pangeran ular🫢🫢
2024-11-29
0
Imaz Ajjah
apakah damar siluman ular...???
2024-09-20
0
Andriani
kok jd gitu???
2024-09-19
0