Lidah Dara menjilati bibirnya sendiri, tangannya meremas dadanya bergantian dan menggelitik puncaknya yang mengeras. Ia menggelinjang dan melenguh, merapatkan dan menggesek pahanya.
Dara tidak puas. Menyentuh tubuh sendiri hanya seperti menggaruk gatal dari atas sepatu. Ia butuh sebuah kekuatan yang akan membuatnya melambung. Yang akan menghentakkan dan mendorong tubuhnya hingga ia lemas.
Namun, tidak ada jalan lain. Saat ini, hanya inilah pilihannya. Dara terus membelai, meremas dan menggosok seluruh titik-titik sensitif di tubuhnya dengan tangannya sendiri.
Bibir kecilnya sesekali terbuka dan mengeluarkan desah. Matanya terpejam, membayangkan wajah lelaki surfer itu. Pinggulnya bergerak maju mundur, perlahan, lalu semakin cepat. Hingga akhirnya… Dara terkulai lunglai, dengan napas tersengal-sengal.
Perlahan, mata Dara terbuka, berpikir ‘Mungkin aku sudah gila. Bahkan nama lelaki itu pun aku tak tahu!’
Lelaki itu bahkan bukan sosok yang selama ini dibayangkan akan dijatuhi cintanya. Cinta? Ah, terlalu dini untuk menyimpulkan ini adalah cinta. Lalu apa? Hasrat? Nafsu? Bagaimana mungkin sebuah hasrat timbul hanya dari tatapan. Mereka bahkan belum pernah bertukar satu patah kata pun!
Mata Dara nyalang hingga pagi. Ketika alarm di ponselnya berbunyi, yang menunjukkan waktu pukul enam, Dara bangkit dari tempat tidur. Ia meraih gayung berisi peralatan mandi, menyampirkan handuk di pundak, mengenakan sandal jepit, lalu berjalan perlahan menuju kamar mandi di area belakang.
Hari ini agak mendung, sehingga suasana temaram. Rumput tinggi di taman yang bergoyang masih tampak bagai makhluk tak kasat mata yang menggapai-gapai. Rumah masih sunyi, karena tidak ada kiriman dan tidak ada boss, wajar jika para pekerja bermalas-malasan.
Dara bangun karena memang ia tak tidur semalaman, juga karena rasa tidak nyaman di antara kakinya. Ia ingin segera membersihkan area kewanitaannya.
Begitu tiba di bagian belakang rumah, dekat dapur dan kamar mandi untuk karyawan, lampu kuning yang semula masih menyala tiba-tiba mati. Dara membiasakan diri dengan kegelapan.
Dan, ia terpekik.
Hampir saja gayung berisi peralatan mandinya terlempar.
Di sana, ada sosok yang sedang duduk diam. Jantung Dara seketika bagai tambur yang digebuk kencang, bagai ombak mengamuk, napasnya memburu. Siapa itu… apakah manusia atau bukan?
Perlahan, matanya mulai terbiasa dengan kegelapan dan penglihatannya mulai lebih jelas. Sosok itu bangkit diam-diam, dan wajahnya bergerak, memunculkan sebuah raut.
Pak Wira.
Ada apa Pak Wira duduk diam di kegelapan? Membuat jantungnya hampir copot saja!
Dara hampir curiga Pak Wira memang berusaha membuatnya mati kaget.
Tapi hari ini tidak ada kiriman apa-apa, tidak ada pekerjaan apa-apa. Untuk apa Pak Wira datang? Bahkan duduk diam-diam di area belakang sini, yang tidak biasanya dihuni, hanya dilalui jika ada yang mandi atau mengambil minum ke dapur.
Pak Wira meraih kruknya dan berdiri, lalu melangkah mendekatinya.
Tanpa sadar, Dara melangkah menjauhinya. Satu langkah Pak Wira maju, satu langkah Dara mundur. Sampai akhirnya, punggung Dara membentur dinding, dan ia tak bisa lagi mundur.
Namun, Pak Wira masih terus mendekat. Bahkan kini, wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari wajah Dara. Sebelah matanya yang bekas terbakar melotot, bola matanya hampir keluar. Baru kali ini Dara melihatnya sejelas ini, membuat tubuhnya menggigil ngeri.
“Heh, calon sarjana gagal!” Telunjuk Pak Wira teracung di depan wajah Dara, suaranya serak dan berat. “Kalau kepala lo ada isinya, pasti lo tahu pekerjaan di sini bukan buat lo. Cepetan mengundurkan diri, atau…”
Pak Wira sengaja menggantung kalimatnya. Matanya mengamati wajah Dara, seolah puas melihat gadis di hadapannya ketakutan, lalu tersenyum sinis. “Huh!”
Entah mendapat kekuatan dari mana, Dara penasaran dengan kelanjutan kalimat Pak Wira. “Aa… atau… aa… pa?” Terbata-bata, ia balik bertanya.
Pak Wira yang hampir pergi meninggalkannya, menghentikan langkah, lalu menolehkan sebelah wajahnya. Dari samping, profilnya tampak sangat buruk. Dara sekali lagi merinding.
“Atau… jangan menyesal kalo umur lo gak panjang.”
“Pak… Pak Wira… me… ngancam… saya? Akan saya… laporkan ke…”
“Lapor kalau berani!” Pak Wira berbalik cepat, lalu mencibir. “Gak akan ada yang percaya!”
Setelah itu, dia tertatih-tatih melangkah, suara kruknya berdetak-detak.
Dara tertegun di sana. Berpikir, apakah harus melaporkan ancaman ini? Pada siapa? Oom Bernard? Oom Bernard baru akan kembali ke Indonesia dua minggu lagi, apakah tidak terlalu lama menunda? Jangan-jangan, dalam dua minggu ia akan benar-benar telah menjadi mayat i dalam freezer box.
Papa. Ya, ia harus melapor pada Papa. Papa pasti punya jalan keluar. Dan itu bisa dilakukan segera.
Selesai mandi, Dara menelepon ke rumah.
“Papa, Dara takut. Di sini, semua orang bukan hanya tidak ramah sama Dara. Pagi ini, Dara juga dapat ancaman.” Tangisnya tak terbendung.
“Ancaman dari siapa? Bagaimana mengancamnya?” suara Papa terdengar waspada.
“Pak Wira. Dia… dia nyuruh Dara mengundurkan diri, atau bakal menyesal karena katanya umur Dara gak akan panjang.” Dara terisak-isak, menghapus air mata yang mengalir membasahi pipi ranumnya.
“Apa Oom Bernard sudah menegaskan posisi Dara? Bahwa di sana, Dara bukan sekadar karyawan, tapi akan diangkat anak? Akan dijadikan penerus bisnis nantinya? Seharusnya para karyawan itu menghormati Dara.”
Dara menggeleng, lalu ketika menyadari Papa tidak melihat gelengan kepalanya, ia bersuara, “Enggak. Oom Bernard cuma mengenalkan Dara ke Tante Mir sama Siti. Cuma bilang kalau Dara akan pegang pembukuan. Gak ada pembicaraan tentang angkat anak atau dijadikan penerus bisnis.”
“Dara mau pulang. Huaa…” Tangis Dara pecah tanpa dapat ditahan. “Dara mau pulaaanngg…”
“Hm… begini saja, Papa akan cari sewaan mobil dan akan mengunjungi Dara ke sana. Papa juga akan bawa Mbak Halim buat menemani Dara di sana. Mereka harus memandang Dara dengan hormat, Dara bukan karyawan biasa. Dara tenang dulu ya?” Papa membujuk.
Mbak Halim telah bekerja hampir seusia Dara. Dialah yang mengasuh Dara dan kedua adiknya sejak kecil.
“Iya Papa, jangan lama-lama. Dara takut.”
“Sudah-sudah. Jangan menangis… Papa usahakan datang secepatnya.” Papa menutup telepon.
Dengan Papa berjanji akan datang, Dara agak sedikit tenang.
Yang tidak Dara ketahui, Pak Wira belum pergi. Diam-diam, dia menajamkan pendengaran, menguping di luar jendela kamar Dara. Pak Wira menangkap semua kata-kata yang Dara ucapkan pada ayahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Ridho Widodo
pp Dara go blok
2024-09-09
0