Oom Bernard tidak pernah menyebut tentang ular. Sejak awal pembicaraan ketika akan mengajaknya bekerja, Dara hanya diberitahu bahwa Oom Bernard mengekspor belut ke Taiwan dan Cina. Satu kali pun tidak ada kata ular disebut.
Dara menyusutkan tubuh, tanpa sadar kakinya melangkah mundur dengan tegang. Matanya terpaku pada beberapa karung goni yang baru saja diturunkan dari truk. Ular-ular itu ditaruh di dalamnya. Karung itu hanya diikat tali rafia. Lalu diletakkan begitu saja di pojok.
Dara benar-benar tak bisa melepaskan pandang dari karung-karung itu. Bagaimana jika ular-ular itu lepas? Buat apa sebenarnya ular-ular itu? Diekspor juga? Pada siapa ia harus bertanya? Semua orang tidak ramah padanya, jika ular itu menggigitnya, siapa yang akan menolongnya?
Dara berusaha berdiri sejauh mungkin. Tapi bagaimana kalau belut-belut itu mulai ditimbang? Ia tetap harus mendekat bukan? Napasnya mulai semakin cepat, tanda panik mulai menyerang. Tangannya mengepal, telapaknya terasa basah oleh keringat.
Benar saja, Siti meneriakinya agar mendekat, untuk mencatat belut-belut yang mulai ditimbang, seperti biasa.
Rupanya, ular-ular itu belum akan dikeluarkan dari karungnya.
Dara beringsut sedikit, hanya agar ia tidak salah mendengar angka yang diteriakkan Pak Wira, supaya catatannya tidak keliru. Namun, matanya tak lepas dari karung-karung ular yang teronggok di sudut. Penuh antisipasi, kalau-kalau ada ular yang menyelinap ke luar.
Untungnya, sampai seluruh belut itu selesai ditimbang, ular-ular itu tetap anteng di dalam karung. Tidak ada yang berusaha melongok ke luar untuk menyapa para manusia yang entah akan melakukan apa pada mereka.
Fajar mulai datang, dan semburat cahaya mulai mewarnai langit. Beberapa lelaki lagi datang. Sebagian mengasah golok, yang lain mulai membuka pengikat karung goni ular itu satu per satu.
Satu orang dari rombongan yang baru datang itu menarik seekor ular, mengeluarkannya dari karung. Lalu, dengan sigap dia menekan bagian samping mulut ular, membukanya paksa. Ular itu memuntahkan bisa. Lelaki itu memotong kepala ular tersebut, mengucurkan darahnya ke dalam gelas.
Setelah itu, dia menguliti ular itu, meloloskan kulit dari tubuh ular, mulai dari kepala hingga ekor. Kini, yang tampak adalah dagingnya yang kemerahan dan berdarah. Lelaki itu membelah bagian perut ular dan merogohkan tangannya ke dalam perut ular, mengaduknya sebentar, sepertinya mencari sesuatu.
Kemudian, tangan itu keluar lagi dengan memegang sesuatu. Empedu ular itu.
Kaki Dara seketika lemas, tubuhnya hampir merosot. Kepalanya serasa berputar. Matanya berkunang-kunang. Ia merasa sedang berada dalam film horor. Pekerjaan macam apa ini? Penuh lendir dan darah. Ia tak betah. Ia ingin pulang. Ia mengusap matanya yang berair. Tanpa disadarinya, ia telah menangis.
Dara kian menyusutkan tubuh, tidak berani mendekat. Ia beringsut perlahan-lahan, masuk ke kamar dan menguncinya.
Ia menatap bayangan wajahnya di cermin kecil yang tergantung di samping pintu. Rautnya pias, hampir seputih kapas.
Dara mengatur oksigen yang masuk agar napasnya tidak tersengal. Pikirannya kusut. Ia ingin pulang. Ia tak betah. Bukan pekerjaan seperti ini yang ia inginkan. Bukan hidup seperti ini yang ia bayangkan.
Tanpa melihat waktu, Dara memijit ponsel, langsung terisak-isak ketika mendengar suara Mama di ujung sana.
“Ma, aku ingin pulang. Pulang Ma, aku tidak betah!”
“Lho kenapa? Oom Bernard baik kan? Sebentar, bicara sama Papa ya.” Suara Mama masih serak, pasti tadi masih tidur, dan terbangun karena suara dering ponsel.
“Ya halo, kenapa Dara?” suara Papa membuat tangis Dara meledak. Suara yang teduh dan menenangkan, membuatnya rindu rumah.
Berusaha memelankan suara di tengah sedan, membuat kalimat Dara terpatah-patah.
“Pa… Dara… tidak… betah, semua orang… memusuhi… Dara. Bukan pekerjaan… seperti… ini yang Dara mau, Pa…”
“Ini kan baru dua minggu. Kemarin Oom Bernard menelepon dari Taiwan, memuji-muji Dara, katanya Dara pintar, pekerjaannya terpakai. Kasihan Oom Bernard kalau Dara pulang. Juga, nanti Mama merasa gak enak karena Mama yang minta Dara dipekerjakan.”
“Papa bohong, Oom Bernard sudah pergi di hari ketiga Dara di sini. Dia belum lihat hasil kerja Dara. Bagaimana dia bisa bilang perkerjaan Dara terpakai?” Dara terisak-isak.
“Ya… kemarin Oom Bernard bilang begitu. Katanya dia sudah akan kembali juga ke Jakarta. Dara bisa sabar sampai tiga bulan? Tunggu sampai Oom Bernard kembali, siapa tahu nanti kondisi membaik setelah Dara lebih terbiasa?” Papa membujuk.
Pembicaraan telepon itu berakhir dengan sebuah putusan, Dara harus tetap berusaha menyesuaikan diri sampai tiga bulan ke depan.
Dara duduk di tempat tidurnya, menunggu air bening yang mengalir dari matanya berhenti. Ia tidak mau orang-orang melihatnya menangis. Ia mengintip sedikit dari jendela yang mengarah ke area kerja.
Lalu… dari balik matanya yang kabur karena air mata, ia melihat sosok seorang lelaki.
Tadi ia tak melihatnya datang, padahal lelaki itu tampak menonjol, karena dia berbeda dari para lelaki yang lain.
‘Mungkin perhatianku terlalu terpaku pada ular-ular itu.’ Pikir Dara.
Lelaki itu mengenakan celana jeans selutut berpinggang rendah, hampir di garis duyung. Dia tidak mengenakan atasan, bertelanjang dada. Keringat terlihat mengaliri dadanya yang kencang, membuatnya terlihat mengilap.
Kulitnya gelap terbakar matahari, perutnya tampak keras tanpa lemak, dengan garis-garis otot. Rambutnya ikal panjang, hampir sepunggung, diikat dengan karet. Dia tampak seperti para pemain selancar di Bali.
Karena dia berdiri di bawah atap dimana lampu bohlam masih menyala, Dara dapat melihat matanya coklat kekuningan, bahkan dari kejauhan.
Lelaki itu sedang menatapnya, lekat. Seolah matanya hanya tertarik pada objek yang sedang dilihatnya saat ini, yaitu Dara. Ada senyum tipis tersungging samar di bibirnya.
Lelaki itu tampak liar, sekaligus… seksi. Ya, itulah kata yang melintas di otak Dara melihat penampilannya. Seksi. Dan matanya yang lekat menatapnya itu, seolah juga menarik mata Dara agar balas hanya menatapnya.
Tiba-tiba Dara merasa panas dingin.
Jantungnya memompa darah lebih rajin, membuat pipinya terasa panas. Dara menunduk dan memejamkan mata.
Setelah agak tenang, ia mengangkat kepala, dan kembali memandang ke luar jendela.
Namun, lelaki itu sudah hilang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
orgtua apa g peduli dg anak, mlh memaksakan kehendak g cemas dg kepanikan Dara
2025-02-15
0
Reksa Nanta
orang tuanya malah lebih mementingkan perasaan tidak enaknya ke Om Bernard.
2024-10-09
0