Satu demi satu karyawan mulai datang. Semuanya laki-laki. Ada yang muda, ada yang tua. Jumlahnya enam orang.
Tampaknya Pak Wira adalah yang paling senior, semacam pemimpin di sini. Karena dari pengamatan Dara, dia yang terlihat memberi perintah ini dan itu. Dan para karyawan lain melakukan apa yang dia perintahkan.
Karena Oom Bernard sudah berangkat Ke Taiwan, dan kiriman belut akan datang dalam minggu ini, tentu saja bak-bak penampungan harus segera dikosongkan. Jangan sampai belut-belut lama bercampur dengan kiriman baru.
Box-box styrofoam sudah disusun berjajar. Belut-belut diserok dengan ember, dituangkan ke keranjang besar, lalu diletakkan di atas timbangan, sehingga hanya berat belut yang ditimbang, tanpa air.
Setelah itu, dari keranjang belut-belut itu ditumpahkan ke dalam box styrofoam yang telah diisi air sekitar seperempatnya, lalu diberi es batu beberapa bongkah, baru kemudian box itu ditutup, dilakban dan diberi beberapa lubang kecil di tutupnya.
‘Mungkin untuk udara agar ada oksigen yang masuk.’ Dara menduga-duga, sebab ia tidak berani bertanya apa-apa, meskipun ia bingung dengan beberapa pertanyaan tak terjawab di kepalanya.
Misalnya, bukankah belut itu seperti ikan yang bernapas di air? Lalu mengapa box-box styrofoam itu harus dilubangi? Kalau dilubangi, bukankah ketika diangkut nanti, airnya bisa tumpah ke luar ketika box-box itu terguncang di perjalanan?
“DARA!” Siti berseru, Dara yang berdiri agak jauh, mengalihkan pandang padanya dengan ekspresi bertanya. “Ke sini. Catat nih, kok malah bengong!” Ketus Siti. “Ambil bukunya di kantor. Yang besar warna kuning.”
Meskipun kesal diperlakukan seperti bawahan dan diomeli, Dara hanya membisu, berjalan ke kantor untuk mengambil buku yang dimaksud Siti, lalu kembali ke area kerja.
Dara sempat melihat Pak Wira memandangnya sebentar, seolah menilai apakah ia bisa melaksanakan perintah Siti, sebelum kembali melengos.
Dara menghela napas, kesabarannya benar-benar akan diuji. Dan ini baru hari kedua!
“Box 1, 55 kilo.” Siti berseru, sambil menuliskan nomor “1” besar-besar di box styrofoam, menggunakan spidol permanen berwarna biru.
Dara mencatat di buku. Begitu selanjutnya sampai seluruh box styrofoam telah diberi nomor dan dicatat.
“Berapa totalnya?” Siti bertanya.
Dara melihat catatannya. “Total lima puluh dua box, 2900 kilo.”
“Pak Wira, pas satu kontainer FCL ini.” Siti berteriak, menggunakan istilah yang tidak dimengerti Dara. Seolah ingin pamer kalau dia lebih ‘pintar’ dari calon sarjana putus kuliah.
Pak Wira hanya mengangguk. Lalu kembali memberi perintah pada para karyawan lain, untuk menguras bak-bak belut, membereskan peralatan kerja, menumpuk kembali sisa box styrofoam, dan mengguyur lantai dengan air untuk mengenyahkan sisa bau amis.
Tak lama kemudian, dua buah truk datang. Para karyawan memuat box-box styrofoam ke dalam truk-truk itu. Dan pekerjaan hari itu beres sudah.
Namun, para pekerja belum pulang. Mereka masih menunggu bayaran. Rupanya mereka tidak digaji bulanan, melainkan diberi upah per kedatangan.
Tante Mir baru muncul setelah semuanya beres, di tangannya ada sebuah amplop yang sepertinya berisi uang.
Seperti biasa, dia tampil dengan make-up lengkap, rambut disanggul tinggi di atas kepalanya, sehingga lehernya terekspos sepenuhnya. Mengenakan gaun terusan selutut berkerah V, yang meskipun tidak rendah sampai menunjukkan belahan dada, tetapi tetap mengarahkan fokus pandangan ke dadanya yang membusung.
Gaun itu dari bahan jersey, sehingga mencetak lekuk tubuhnya yang sintal. Bahkan Dara merasa risih melihatnya, tetapi Tante Mir tidak mengindahkan betapa mata karyawannya yang semua laki-laki, menatapnya hampir tanpa berkedip.
Ya, harus diakui, meskipun sudah setengah abad, Tante Mir memang masih cantik dan seksi. Tubuhnya membusung di tempat-tempat yang tepat, dan perutnya masih rata.
“Udah beres?” Tante Mir bertanya, tanpa menyebut nama seseorang. “Berapa ton?”
“Udah, Nyonya.” Siti menjawab dengan sigap, “2.9 ton.”
“Ya udah, nih buat bayaran.” Dia menyerahkan amplop di tangannya pada Siti, lalu beralih pada Dara. “Catat yang betul ya, tiap orang harus tanda tangan, sebagai bukti udah dapat upah.”
Setelah itu, Tante Mir hendak kembali masuk, tetapi belum tiga langkah, seolah tiba-tiba teringat sesuatu, dia berbalik.
“Nanti subuh akan datang kiriman belut dari Lampung. Kamu harus bangun jam tiga, ikut menimbang dan bantu Siti mencatat.”
Tanpa menunggu jawaban, Tante Mir kembali melangkah, hanya meninggalkan aroma parfumnya, bahkan sebelum Dara mengangguk.
Meskipun Oom Bernard mengatakan Dara hanya bertanggung jawab untuk urusan pembukuan, dan tidak ada urusan dengan belut, tetapi karena dia sedang tidak ada di Indonesia dan yang berkuasa adalah Tante Mir, tentu saja Dara harus patuh.
Jam tiga pagi itu, pintu kamar Dara digedor sangat keras, seolah ada bencana gempa besar dan ia harus segera menyelamatkan diri. Tetapi bukan, itu hanya Siti yang membangunkannya dengan memukul-mukul pintu kamarnya sekuat tenaga.
Dara bangkit dari tempat tidur dengan kepala pening karena tersentak bangun. Tanpa peduli cuci muka atau sikat gigi, apalagi berganti pakaian, ia segera tergopoh-gopoh ke luar kamar, masih mengenakan piyama.
Semua karyawan di sini laki-laki, Dara tidak berani mengenakan daster tipis atau celana pendek, meskipun udara cukup gerah. Untung menjaga hal-hal yang tidak diharapkan. Untunglah ia membawa beberapa piyama yang cukup sopan.
Beberapa truk memasuki garasi. Tanpa protes Dara membantu Siti mencatat, satu tong demi satu tong belut dari truk diturunkan dan ditimbang sampai habis. Meski masih gelap, suasana hiruk pikuk.
Seperti tadi siang, Pak Wira juga berperan sebagai tukang timbang. Suaranya yang berat dengan lantang memberi perintah ini dan itu. Setelah selesai ditimbang, tong demi tong belut itu diangkut untuk ditumpahkan di bak. Pekerjaan itu baru beres sekitar jam sembilan.
Sementara menunggu giliran mandi setelah Siti, Dara mendengar suara langkah dan detak kayu. Pak Wira. Hatinya mulai ciut. Pak Wira tampak membencinya. Ia tak ingin terlalu berurusan dengannya.
Namun, Pak Wira hanya melewatinya, seolah Dara tak ada di sana. Dia hanya mengedarkan pandang ke bak-bak yang sekarang telah kembali terisi belut baru, setelah yang sebelumnya habis diekspor ke Taiwan kemarin pagi.
Dara menahan napas, menunggu dengan tegang, apakah kali ini Pak Wira akan mengatakan sesuatu padanya? Sejak ia bertemu dengannya kemarin, belum sepatah kata pun terlontar dari mulut Pak Wira.
Tiba-tiba Pak Wira menoleh. Matanya yang melotot sebelah tampak menyeramkan, membuat Dara bergidik.
“Bukannya lo pernah kuliah? Berarti lo punya otak, jadi lebih baik lo cepetan mengundurkan diri.” Suaranya yang berat terdengar mengancam.
Dara baru membuka mulut, memberanikan diri untuk menjawab, tetapi Pak Wira telah kembali tertatih-tatih, menyeret kruknya pergi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Reksa Nanta
Pak Wira sepertinya hanya berusaha menyelamatkan Dara. tapi kalau begitu caranya ya Dara pasti malah ketakutan 😅
2024-10-09
0
Reksa Nanta
karena belut juga bisa menghirup oksigen dari udara untuk bertahan hidup saat pasokan oksigen di air atau lumpur sangat minim.
2024-10-09
0
Kustri
misteri nih, knp anggota badan pa wira hilang 1-1
karyawan baru emg hrs byk belajar g salah jg mirna menyuruh bangun dini hari
2024-09-07
1