Dara berguling ke kiri dan ke kanan dengan gelisah. Tubuhnya basah oleh keringat.
Tak ada oksigen yang melewati kerongkongannya, ia tak mampu bernapas, saluran udara di lehernya tersumbat.
Ia mencoba membuka mata dengan susah payah. Dan irisnya menangkap sosok yang kabur, tangannya yang besar melingkari lehernya, sehingga Dara menjulurkan lidah sambil tersengal-sengal.
Sosok itu kian jelas. Pak Wira.
Dara mencoba menatap dengan sorot memohon, ingin bertanya apa salahnya sampai harus diperlakukan seburuk ini. Tetapi suaranya tidak keluar. Sebaliknya, tekanan di nadi besar di lehernya kian kuat, sehingga kini bukan hanya oksigen yang tersumbat, melainkan aliran darahnya juga.
Kaki Dara menghentak-hentak dan menendang, mencoba bangkit, mengedarkan pandang dengan susah payah ke sekitar, mencari sesuatu untuk membela diri.
Ia melihat dua sosok lain, tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri di sana menontonnya menjemput kematian. Siti, dan… Tante Mir!
Air mata sudah meleleh dari sudut mata Dara. Ia tidak mau mati seperti ini, hidupnya seharusnya masih panjang. Usianya baru dua puluh dua. Ibarat buah sedang ranum-ranumnya, dan belum ada yang memetiknya.
Dengan sekuat tenaga, Dara memukul-mukul tangan di lehernya, sampai wajahnya memerah dan urat-urat di pelipisnya menonjol. Dan akhirnya… tangan itu terlepas.
Dara membuka mata.
Tidak ada siapa-siapa. Tidak ada Pak Wira, tidak ada Siti, juga tidak ada Tante Mir.
Ia hanya mimpi buruk.
Dara terduduk di tempat tidur, menyedot udara dengan rakus. Benar-benar mengerikan! Ia mengira telah tiba di akhir hidupnya. Untunglah, ternyata hanya mimpi…
‘Tidak mungkin mereka berniat membunuhku, kan? Meskipun terlihat tidak menyukaiku, mereka tidak akan berbuat sejauh itu, kan?’ Dara bergumam sendiri. ‘Masih ada hukum di negara ini. Dan bagaimana mereka mempertanggungjawabkan pada Oom Bernard?’
Dengan pemikiran seperti itu, perlahan-lahan Dara kembali tenang. Degup jantungnya sudah tidak seliar tadi, dan oksigen telah kembali lancar keluar masuk hidung dan paru-parunya.
Tiba-tiba Dara merasa haus. Ia juga ingin buang air kecil, dan kamar mandi terletak di belakang, dekat dengan dapur karyawan. Dara meraih cangkir minumnya di atas nakas di samping tempat tidur, dan berjalan ke luar.
Ia membuka pintu kamarnya sepelan mungkin, berusaha agar tidak menimbulkan suara. Jika tidak ada kiriman belut di pagi buta, suasana sangat hening. Tidak ada suara apa-apa, bahkan suara tonggeret atau kodok pun tidak ada.
Di luar, taman yang tak terurus itu tampak menyeramkan. Tanaman-tanaman yang tinggi itu bergoyang-goyang, padahal tidak ada angin, udara sangat pengap. Melihatnya, entah mengapa Dara merasa itu seperti sekumpulan makhluk tak kasat mata yang menggapai-gapai.
Ia agak merinding, mempercepat langkah setengah berlari ke dapur, yang sialnya… gelap gulita.
Dara meraba-raba saklar lampu, dan ketika dapur terang benderang, ia mengembuskan napas lega.
‘Tidak mati dibunuh, aku bisa mati ketakutan karena pikiranku sendiri.’ Dara mengomel sendiri, lalu mengucapkan doa Bapa Kami.
Setelah kencing dengan cepat, Dara segera kembali ke kamar dan mengunci pintu kembali.
‘Kata Papa, yang harus ditakuti itu justru manusia, karena makhluk tak kasat mata itu tidak bisa melukai kita.’ Dara menghibur diri, mengingat kata-kata ayahnya setiap kali ia takut terhadap ‘setan atau monster’ ketika ia masih kecil dulu.
Ia mengucapkannya berulang-ulang, seolah mantra untuk menenangkan diri. Akhirnya ia berhasil kembali pulas, dan baru terbangun jam tujuh pagi, setelah sinar mentari menembus tirai jendela kamarnya.
***
Hampir tiap tiga hari sekali datang kiriman belut. Itu berarti Dara harus bangun jam tiga pagi, duduk mencatat angka timbangan yang diteriakkan Pak Wira.
Selain Pak Wira, Siti dan Tante Mir, para pekerja lain tidak ada yang pernah mengajaknya bicara. Itupun kalau ucapan ketiga mereka bisa dikategorikan bicara. Dara lebih menganggapnya sebagai komentar sinis dan ungkapan permusuhan.
Entah apa kesalahannya, ia hanya ingin bekerja di sini. Ralat, ia bahkan tak ingin bekerja di sini. Ia ‘terpaksa’ bekerja di sini karena mempertimbangakan pertemanan Mama dengan Oom Bernard.
Dara tak ingin memulai pembicaraan basa-basi dengan para pekerja lain. Takut menerima sikap permusuhan lagi. Meski dari beberapa tatapan mata mereka, ia menangkap sorot yang lebih bersahabat. Bersahabat? Lebih tepatnya kasihan. Ya, tampaknya mereka kasihan padanya. Pasti mereka melihat, betapa buruk ketiga ‘pentolan atas’ itu memperlakukannya.
Dara dibekali ponsel Nokia 8110 oleh Mama. Hanya ponsel bekas, tapi Dara bersyukur karena ketika Papa atau Mama meneleponnya, itu bisa langsung kepadanya. Tidak perlu menerimanya di telepon yang terletak di kantor, dan tidak bisa berbicara leluasa karena Siti menguping atau Tante Mir memelototinya.
“Aku masih belajar.” Begitu Dara menjawab ketika Papa dan Mama bertanya bagaimana kabarnya.
Dara tak bisa mengeluh, tidak bisa melapor bagaimana ia diperlakukan. Atau Mama akan protes pada Oom Bernard, dan Oom Bernard akan menegur Tante Mir dan memarahi Siti. Kemudian, hidupnya akan lebih seperti neraka.
Karena itu, Dara menelan semuanya, berusaha bertahan demi gaji yang jumlahnya belum jelas, sampai hari ini. Padahal Tante Mir sudah mengatakan akan memotongnya lima ratus ribu. Sebagai pengganti uang yang diberikan Oom Bernard untuk belanja, di hari pertama ketibaannya.
Tanpa terasa, dua minggu hampir berlalu. Oom Bernard akan segera kembali ke Indonesia. Dara menanti-nanti dengan tidak sabar. Seluruh pembukuan telah selesai ditulis ulang. Dara siap menunjukkannya pada Oom Bernard. Ingin mendengar pendapatnya.
Malam ini, ada kiriman lagi.
Namun, Dara benar-benar hampir pingsan.
Kali ini, yang datang bukan hanya belut. Melainkan juga ular. Berpuluh-puluh jumlahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
Reksa Nanta
lima ratus ribu di tahun segitu adalah jumlah yang sangat banyak. berarti gaji Dara juga lumayan.
2024-10-09
1