Lelaki itu benar-benar lenyap!
Seolah yang dilihat Dara hanya ada dalam khayalannya. Dara mengedarkan pandang ke seluruh area kerja, tetapi dia benar-benar sudah tidak ada.
‘Apakah dia sudah pulang? Begitu cepat gerakannya ketika aku menunduk sebentar?’ Kepala Dara dipenuhi tanda tanya, tetapi ia tidak berani bertanya pada siapa pun.
Namun, hati Dara dipenuhi rasa penasaran. Dan entah mengapa, ia yakin akan melihat lelaki itu lagi. Entah kapan, tetapi Dara tiba-tiba merasa bergairah. Ia tak lagi ingin pulang. Tidak sebelum ia bertemu lagi dengan lelaki itu, meskipun ia tak tahu alasan mengapa ia ingin bertemu lelaki itu lagi.
Tidak seperti belut-belut yang masih hidup, daging-daging ular yang telah dikuliti itu, karena telah dibunuh, tentu saja harus dibekukan, sebelum nanti dikirimkan bersama ke luar negeri setelah memenuhi kuota cargo.
Dara menatap bungkusan-bungkusan di dalam freezer box yang sekarang telah hampir setengah penuh. Sebagian besar adalah daging-daging ular itu. Dan sebagian lain adalah makanan-makanan sisa yang dibekukan berulang kali oleh Tante Mir.
Saat pertama kali datang, Dara pernah membayangkan dirinya terbujur beku di dalam freezer box itu. Ia menganggapnya masuk akal. Bagaimana tidak, itu freezer box daging berbentuk kotak, seperti peti mati. Jika ia meringkuk, tubuhnya akan muat di dalamnya. Apalagi jika dipotong-potong.
Dara bergidik. Kembali teringat mimpi buruk malam sebelumnya yang terasa sangat nyata. Bahkan lehernya masih terasa ngilu.
Dara beringsut pergi dari sana. Sepertinya ia mendengar suara Siti, pasti dia telah selesai mandi, sehingga sekarang adalah gilirannya.
Dara menenteng gayung berisi sabun, odol dan sikat gigi, menyampirkan handuk di pundak, dan membawa baju ganti di lengannya. Ia melangkah tanpa alas kaki, berpikir, toh ia akan membasuh kakinya di kamar mandi. Ia menenteng sandalnya di tangan yang lain.
Tiba-tiba saja, tanpa peringatan, hujan turun sangat deras, seolah air memenuhi langit dan seketika ditumpahkan ke bumi sekaligus.
Air langsung menggenangi seluruh lantai. Hujan benar-benar sangat dahsyat, diiringi guntur menggelegar membelah langit. Suasana seketika gelap, dan aliran deras terus masuk dari arah garasi. Tampaknya di luar sudah banjir. Dengan cepat, air bahkan telah setinggi betis Dara, warnanya kecoklatan, sepertinya bercampur dengan lumpur.
Dara terpekik kaget karena tiba-tiba mendengar teriakan Oom Bernard, mengalahkan suara gemuruh hujan.
“DARA, hati-hati! Cepat naik ke tempat kering. Perhatikan stop kontak!”
Rupanya Oom Bernard sudah tiba. Dia melihat air hampir mencapai stop kontak yang terletak agak rendah di dinding. Jika listrik belum padam, ketika mencapai stop kontak itu, genangan air akan dipenuhi aliran listrik entah berapa ribu watt. Dan Dara yang kakinya sedang terendam, akan mati kelojotan akibat tersetrum.
Dara segera berlari dan naik ke tangga yang masih kering. Dadanya naik turun, napasnya tersengal-sengal. Hampir saja ia mati, lagi. Bukan dicekik Pak Wira, tetapi tersetrum. Selain dibenci dan dimusuhi, apakah nyawanya begitu terancam di sini?
Dara menggelengkan kepala, benar-benar tidak mengerti. Sebenarnya ada apa di rumah ini? Apakah ia benar memutuskan untuk tinggal? Atau lebih baik angkat kaki segera? Oom Bernard telah kembali, apakah kini ia aman?
“Tunggu ya, Dara duduk saja di situ. Tunggu sampai airnya surut.” Oom Bernard melambaikan tangannya pada Dara, dan menunjuk ke arah kakinya. “Hindari lantai basah, dan pakai sandalnya.”
Dara buru-buru mengenakan sandal yang sejak tadi ia tenteng. Naik beberapa tangga lagi, dan duduk diam di sana. Tidak berani turun.
Hujan akhirnya berhenti. Karena tercurah sedemikian deras, itu hanya berlangsung sekitar dua puluh menit. Meskipun demikian, air baru surut sampai di ketinggian aman, sekitar satu jam kemudian.
Sebenarnya Dara telah kehilangan minat untuk mandi. Ia takut masih ada bahaya yang mengancam nyawa. Namun melihat orang-orang, maksudnya Siti dan Tante Mir, sudah mulai kembali lalu lalang, akhirnya ia turun dari tangga, dan menuju kamar mandi.
“Ini buang, ini buang, buang, buang.”
Keluar kamar mandi, Dara mendapati Oom Bernard sedang melempar-lemparkan beberapa bungkusan plastik berisi makanan beku dari dalam freezer box.
“Eh… jangaaaan…” Tante Mir memungutnya lagi sambil melirik Dara dengan kening berkerut. Seolah menuduh ia mengadu dan mengeluh pada Oom Bernard.
Padahal sumpah, satu kata pun tidak terucap dari mulut Dara setiap kali Oom Bernard menelepon dari Taiwan. Ia tahu diri. Tak akan mengadu atau melaporkan apa pun. Tak ingin hidupnya semakin sengsara jika ditinggalkan Oom Bernard lagi.
Dara hanya menggeleng tipis, tapi tidak berani bersuara.
“Selamat datang kembali, Oom.” Hanya itu yang dikatakan Dara, sambil lewat dan masuk ke kamarnya untuk meletakkan seluruh peralatan mandi.
Setelah makan siang, Dara menunjukkan pembukuan yang sudah selesai ia salin ulang dan rapikan.
“Wah… Dara pintar, kerjaannya rapi sekali.” Mata Oom Bernard berkilat senang. Ia mengelus kepala Dara.
“Dara maklumi Tante Mir ya, dulu dia orang susah, jadi suka sayang untuk buang barang, termasuk makanan,” Oom Bernard tersenyum.
Dara mengangguk. “Iya Oom, gak apa-apa kok.”
Esok harinya Oom Bernard masak. Ternyata dia koki handal. Makanannya enak, dan yang jelas bahan-bahannya segar, sebab pagi harinya dia belanja ke pasar.
“Dara mau jalan-jalan ke mal? Nanti sore temani Oom ke Bekasi ya? Ada bahan-bahan yang tidak ada di pasar, jadi harus beli di supermarket.”
Dara mengangguk. Baygon yang ia beli waktu pertama kali datang juga sudah habis. Salahnya sendiri ia membeli yang ukuran kecil. Sekarang kakinya yang mulus sudah dihiasi bentol-bentol kemerahan akibat gigitan nyamuk. Jadi ia harus membeli lagi, kali ini harus ukuran besar.
Di mal itu, Oom Bernard memberinya uang dua juta rupiah.
“Ini gaji Dara, Oom senang dengan hasil pekerjaan kamu. Yang betah ya.” Oom Bernard tersenyum.
“Tapi Oom, Dara kerja belum satu bulan, dan lagi, waktu itu Oom sudah kasih Dara lima ratus ribu. Apa tidak kebanyakan? Apakah Tante Mir…”
“Tante Mir tidak perlu tahu. Dara adalah urusan Oom. Oom sudah bilang, urusan gaji gampang, Oom gak akan menghitung. Selama pekerjaan Dara memuaskan Oom, Dara tidak usah khawatir. Oom tidak punya anak perempuan, Dara sudah Oom anggap sebagai anak angkat.”
Oom Bernard menepuk punggung tangannya, menatapnya sayang. Dara hampir menangis terharu. Seandainya hanya ada Oom Bernard di sini, hidupnya akan jauh, jauh lebih baik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
weh, org susah kok bs jadi istrinya gmn crtany yi
2025-02-15
0
Minartie
bagus 👍👍👍👍ceritanya menarik
2024-12-25
0