Pagi yang cerah menyelimuti Akademi Gargantia. Pukul 06:58, dari kejauhan, Rika, Fukari, dan Asuka terlihat berlari tergesa-gesa menuju gerbang akademi. Mereka tampak sangat terburu-buru, napas terengah-engah terdengar dari kejauhan.
"Selamat pagi!" seorang murid menyapa saat melewati Miwel sensei yang berdiri tegak di tengah gerbang, memperhatikan setiap murid yang datang.
"2 menit lagi!" teriak Miwel sensei dengan suara tegas, matanya tajam mengawasi beberapa murid yang masih bergegas menuju gerbang.
Dari kejauhan, Miwel sensei terpaku ketika melihat Rika, Fukari, dan Asuka berlari dengan penuh semangat. "Tumben sekali mereka berangkat bareng," gumamnya dengan sedikit heran.
Asuka berlari sambil mengeluh, "Kenapa kita harus lari ditanjakan begini?!"
Matanya terpejam, seolah mencoba memfokuskan seluruh energinya untuk berlari lebih cepat.
"Mana aku tahu! Aturan ya aturan!" jawab Fukari dengan mata tertutup, seolah-olah tidak ingin ketinggalan.
Rika, yang berada di belakang mereka, berlari dengan langkah yang lebih lambat. Napasnya terdengar sangat berat dan terengah-engah.
"Rika, kau lama sekali!" teriak Fukari, berusaha mendorong semangat Rika dibelakang.
"Ah. Mo! Kenapa harus ada aturan segala!" teriak Asuka, frustrasi.
Hanya mereka bertiga yang belum sampai ke gerbang akademi. Sementara itu, Miwel sensei dengan tenang menghitung mundur dengan suaranya yang jelas terdengar.
"Lima..."
Asuka, Fukari, dan Rika masih bergegas, mencoba mengejar waktu yang semakin sedikit.
"Empat..."
Mereka berlari dengan segala tenaga yang tersisa, keringat mengalir deras di wajah mereka.
"Tiga..."
Miwel sensei memperhatikan mereka dengan pandangan yang tajam namun penuh ketenangan. Mereka akhirnya melewati Miwel sensei, pandangan Miwel mengikuti gerakan mereka dengan seksama, namun tetap memandang lurus memastikan tidak ada murid lain yang tersisa.
"Dua..."
Asuka, Fukari, dan Rika melewati gerbang akademi dengan napas yang semakin berat.
"Satu..."
Sesaat setelah mereka melewati gerbang, mereka terjatuh ke tanah, terengah-engah dan kelelahan. Miwel sensei menoleh dengan senyum puas.
"Yosh, hari ini tidak ada yang telat, kerja bagus!" ucap Miwel sensei dengan nada bangga.
"Aman!" seru Fukari meskipun masih terengah-engah.
"Pas banget!" sahut Asuka, napasnya terpotong-potong.
"Se-selamat, pagi Miwel sensei!" kata Rika, berusaha menyapa meskipun napasnya masih berat.
"Pagi, Rika," jawab Miwel sensei dengan senyum tipis, merasa bangga melihat usaha keras murid-muridnya.
Mereka bertiga berusaha untuk bangkit, merapikan seragam mereka sambil tersenyum lega karena berhasil sampai tepat waktu. Sementara itu, Miwel sensei terus memantau gerbang, memastikan tidak ada murid yang terlambat.
Bunyi bel masuk berbunyi dengan nada yang memuaskan, menandakan dimulainya pelajaran di kelas 2-F. Ruangan kelas itu berada di lantai atas gedung sekolah, memberikan pemandangan yang luas ke arah laut dan langit biru yang membentang.
Rika, yang duduk di dekat jendela, memandang takjub keluar. "Laut dan langitnya kelihatan dari kelas ini!" serunya dengan penuh kegembiraan, matanya berbinar-binar melihat pemandangan yang indah.
Di kursinya, Fukari duduk dengan wajah yang disandarkan pada tangan, sikunya menopang di meja. Dia memandang Rika dengan rasa bosan dan sedikit kelelahan. "Sudahlah, duduk saja," katanya dengan nada malas.
Rika, yang ceria dan penuh semangat, berpaling ke arah Fukari. "Oh, Fukari! Kamu juga harus menikmati pemandangan!" ajaknya dengan antusias, berharap Fukari bisa merasakan kebahagiaan yang sama.
Fukari yang masih mengantuk dan enggan ikut dalam keceriaan Rika hanya menggeleng pelan. "Rika, kamu tak pernah bosan memandang lautan ya," gumamnya, mencoba menahan kantuk.
Kemudian, Rika menatap Asuka yang duduk tidak jauh darinya. "Oh! Asuka!" serunya, berharap Asuka akan ikut menikmati pemandangan bersama.
Namun, Asuka menatap malas, seperti Fukari, dia juga tidak ingin meladeni semangat Rika yang begitu menggebu-gebu di kelas itu. "Pura-pura ga liat ah," pikir Asuka dalam hati, berusaha menghindar dari perhatian Rika.
Melihat reaksi Asuka, Fukari tersenyum tipis. Dia tahu betul bagaimana Asuka merasa enggan, tetapi di sisi lain, dia senang melihat Rika yang begitu penuh semangat. Fukari kemudian menatap lekat-lekat Rika. "Rika, kenapa kamu begitu semangat sekali hari ini? Apalagi kamu tak pernah bosan memandang lautan," tanyanya dengan penasaran.
Rika berpikir sebentar sebelum menjawab dengan senyum lebar. "Apa yang kamu katakan! Tentu saja aku suka karena, lautan itu bebas..."
Rika terus mengoceh tanpa kenal lelah, "Lautan itu tempat yang paling tenang didunia! aku berharap suatu saat nanti aku bisa berenang disana!"
Fukari tersenyum tipis, merasakan kehangatan melihat semangat dan kebahagiaan Rika. Meskipun Fukari dan Asuka mungkin tidak sepenuhnya memahami, mereka menghargai dan menerima energi positif yang dibawa Rika ke dalam kehidupan mereka. Keceriaan Rika di kelas itu memberikan warna tersendiri dalam rutinitas sehari-hari mereka.
"Bodoh, nanti kamu tenggelam. Rika," gumam Fukari, tersenyum manis kearah Rika.
Tiba-tiba, Asuka memanggil Rika dengan suara pelan namun cukup jelas. "Rika, ini buku yang kau cari kan?" katanya sambil menyerahkan sebuah buku novel bertema isekai kepada Rika.
Rika terkejut dan matanya melebar saat melihat buku itu. Dia tampak terpaku, mengangguk pelan.
Asuka sedikit tersenyum, merasa senang ingin membantu Rika, meskipun awalnya mereka saling terlibat dalam masalah Akademi. "Kalau begitu, kau boleh meminjamnya," ucapnya, tersenyum tipis.
Rika tersenyum lebar dan segera menghampiri Asuka, memegang buku itu dengan hati-hati seolah itu adalah harta karun. "Tidak kusangka di dunia ini ada karya seperti ini, aku pikir tidak ada," katanya dengan nada kagum.
Asuka tiba-tiba menatap Rika dengan heran. "Hah?" gumamnya, merasa bingung dengan pernyataan Rika.
Fukari yang duduk di dekat mereka, menyadari kecerobohan Rika, tiba-tiba berdiri dan mengatakan sesuatu dengan nada santai. "Ah, Rika kehilangan ingatan. Makanya dia bersikap seperti itu. Jangan dipikirkan, hehe," seru Fukari sambil terkekeh, mencoba meredakan kebingungan Asuka dan teman-temannya dikelas.
Rika tampak bingung sejenak, kemudian memahami apa yang dikatakan Fukari. "Ah ya, benar.. kejadian kemarin, saat aku pingsan, aku... aku.. tidak ingat apa-apa," katanya dengan nada sedikit ragu, berusaha menjelaskan dirinya.
Fukari kemudian berjalan mendekati Rika, meraih tangannya dengan lembut. "Ah, Rika, sepertinya aku lupa, Miwel sensei memanggilmu kan?!" katanya berbohong dengan nada ceria, kemudian menarik Rika keluar kelas dengan cepat.
Rika mengikuti Fukari, masih memegang buku novel itu dengan erat. "Oh, ya, tentu," katanya, meskipun masih bingung dengan situasi yang terjadi.
Mereka berdua meninggalkan kelas, meninggalkan Asuka yang masih duduk di kursinya, mengangkat bahu dan kembali fokus pada buku pelajarannya. "Aneh sekali,"
Sementara itu, di luar kelas, Fukari dan Rika berjalan cepat dikoridor akademi, berusaha menghindari sesuatu yang tak harus mereka tahu. Fukari berharap tindakan cepatnya bisa membantu Rika terhindar dari situasi yang lebih rumit.
"Dengar Rika, jika semua orang tahu tentang kamu, bisa-bisa gawat!" seru Fukari dengan nada tegas dan sedikit cemas. Mereka berdua berjalan dengan cepat menyusuri koridor akademi.
"Ah, aku tidak mengerti," jawab Rika dengan nada bingung, wajahnya memperlihatkan ketidakpahaman.
Fukari menghentikan langkahnya dan menatap Rika dengan tatapan serius. Dia merasa frustasi dan menoleh dengan wajah yang penuh emosi. "Dengar! Kalau mereka tahu kamu tidak bisa mengendalikan Katafrakt, murid-murid yang menyandang sebagai bangsawan akan merebut gelarmu sebagai Maiestas di akademi ini! Itu adalah sesuatu yang berharga! Itu adalah peninggalan Rika untukmu!" katanya dengan penuh semangat, berharap Rika mengerti betapa pentingnya hal ini.
Rika mengernyitkan dahi, matanya tampak kaku dan sulit mencerna apa yang dikatakan Fukari. "Aku.. tidak tahu, Fukari! Maiestas itu apa? Sejauh ini aku tidak pernah mengerti tentang apa itu Maiestas," katanya dengan suara yang masih penuh kebingungan.
Fukari menganga, terkejut dengan ketidaktahuan Rika. "Ah iya! Aku lupa!" serunya, merasa bersalah karena lupa menjelaskan hal penting itu kepada Rika.
Fukari kemudian melihat sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Wajahnya terlihat cemas dan waspada. Setelah memastikan situasi aman, dia menarik tangan Rika dengan cepat. "Ayo, kita bicara di tempat yang lebih aman," katanya sambil membawa Rika ke toilet perempuan.
Mereka masuk ke dalam toilet, dan Fukari segera memeriksa setiap bilik, memastikan tidak ada orang di dalamnya sebelum mengunci pintu. Rika melihat sekeliling, merasa sedikit bingung dan cemas dengan situasi yang tiba-tiba ini. Matanya mengikuti gerakan Fukari yang tampak sangat serius dan waspada.
"Di sini kita bisa bicara dengan tenang," kata Fukari, berusaha menenangkan dirinya dan Rika. "Maiestas adalah gelar yang sangat penting di akademi ini. Itu adalah gelar yang menunjukkan bahwa kamu adalah pilot Katafrakt yang luar biasa dan memiliki peran penting dalam perlindungan dan kejayaan akademi. Gelar itu adalah peninggalan dari Rika yang asli, dan sangat berharga. Kamu harus menjaga rahasia ini, Rika. Jangan sampai orang lain tahu kalau kamu tidak bisa mengendalikan Katafrakt. Itu bisa berakibat sangat buruk," jelas Fukari dengan nada serius. Matanya menatap langsung ke mata Rika.
Rika mendengarkan dengan seksama, berusaha memahami betapa pentingnya situasi ini. Namun, meskipun dia mencoba keras untuk mencerna informasi itu, kebingungan masih jelas terlihat di wajahnya.
Fukari menatap lekat-lekat ke arah Rika. Wajahnya serius, matanya menatap dengan rendah dan kekhawatiran yang tinggi. "Rika, kamu adalah Ratu di akademi ini," katanya dengan suara yang dalam dan penuh tekanan.
Rika terpaku setelah mendengar hal itu dari mulut Fukari. Mata Rika membesar, tubuhnya sedikit gemetar. Kata-kata Fukari menggema di kepalanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments