Sanade berjalan dengan tergesa-gesa di koridor Akademi, wajahnya menunjukkan rasa kesal yang mendalam. Langkahnya terdengar bergema di sepanjang lorong, menunjukkan betapa marahnya dia.
Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari bayangan koridor, membuat Sanade terhenti dan tidak bergeming. Suara itu tajam dan penuh dengan kewibawaan, memaksa Sanade untuk berhenti dan memperhatikan.
"Sanade, kau pikir bisa pergi begitu saja setelah membuat kekacauan seperti itu?" Suara itu datang dari seorang perempuan yang berdiri di ujung koridor, sebagian besar tubuhnya tersembunyi dalam bayangan.
Sanade menoleh, matanya menyipit dengan amarah dan kewaspadaan. "Siapa kau?" tanyanya dengan nada menantang, tangannya mengepal di sisinya.
perempuan itu melangkah maju, perlahan-lahan muncul dari bayangan. Rambutnya hitam legam tergerai sepunggung dan matanya bersinar dengan kecerdasan tajam. Dia mengenakan seragam akademi dengan tanda pangkat yang menunjukkan statusnya yang tinggi. "Kau seharusnya tahu siapa aku, Sanade. Kau telah menyeberangi batas yang seharusnya tidak pernah kau lewati."
Sanade menggertakkan giginya, tetapi dia tidak bisa menyembunyikan rasa takut yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. "Apa yang kau inginkan?" tanyanya, suaranya masih dipenuhi kemarahan namun terdengar sedikit ragu.
perempuan itu tersenyum tipis, penuh dengan kepercayaan diri. "Aku hanya ingin mengingatkanmu, Sanade. Kau bukan yang terkuat di sini. Dan tindakanmu tadi hanya menunjukkan kelemahanmu."
"Lena!" kata Sanade dengan nada Tinggi.
Lena melangkah lebih dekat, hingga cahaya lampu koridor sepenuhnya menerangi wajahnya yang tenang namun penuh kewibawaan.
Sanade berdiri diam, ketegangan memenuhi udara di antara mereka. Dia mencoba mempertahankan tampilan keberaniannya, meskipun rasa takut jelas terlihat di balik matanya. "Aku tidak butuh ceramah darimu, Lena. Aku tahu apa yang aku lakukan."
Lena mengangkat alisnya, senyum tipisnya masih terpampang di wajahnya. "Benarkah? Jika kau benar-benar tahu, kau tidak akan bertindak bodoh seperti tadi. Menyerang Asuka tanpa alasan yang jelas? Memancing amarah Rika? Kau hanya memperburuk keadaan."
Sanade membuka mulutnya untuk membalas, tapi Lena mengangkat tangannya, menghentikannya. "Dengar, Sanade. Kekuasaan dan kekuatan tidak datang dari sekedar menunjukkan otot. Semua murid wajib mengerti tentang kebijaksanaan, tentang mengerti kapan harus bertindak dan kapan harus mundur. Kau telah gagal dalam ujian itu hari ini."
Sanade mengepalkan tangannya lebih erat, tetapi dia tetap diam. Lena melanjutkan, "Ursula mungkin memaafkanmu kali ini, tapi aku tidak akan begitu mudah. Jika kau ingin menjadi pemimpin komite keamanan yang layak, kau harus belajar mengendalikan emosimu dan menggunakan kekuatanmu dengan bijaksana."
Sanade menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Apa yang kau inginkan dariku, Lena?"
Lena melangkah lebih dekat lagi, hingga jarak mereka hanya beberapa langkah. "Aku ingin kau menunjukkan bahwa kau bisa lebih baik. Buktikan bahwa kau layak untuk posisi itu. Dan untuk sementara, kau harus menjaga jarak dari Rika. Beri dia ruang untuk pulih dan tenang."
Sanade mengangguk, meskipun dengan enggan. "Baik, Lena. Aku akan melakukan yang kau minta."
Lena tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit kelembutan. "Bagus, Anak pintar. Aku tahu kau bisa melakukannya. Sekarang, pergi dan renungkan apa yang telah terjadi hari ini. Belajar dari kesalahanmu."
Sanade mengangguk sekali lagi, lalu berbalik dan melangkah pergi, langkahnya sedikit lebih tenang namun masih penuh dengan determinasi. Lena mengamati sampai Sanade menghilang di tikungan koridor, lalu menghela napas pelan. "Mereka semua benar-benar bodoh,"
Sementara itu Rika terbangun dalam mimpi yang terasa begitu nyata, di tengah medan pertempuran yang suram dan penuh bahaya.
Di sekelilingnya, langit gelap dipenuhi awan hitam tebal yang berputar-putar, memancarkan kilatan petir yang menakutkan. Suara gemuruh perang terdengar jelas, memekakkan telinga, dan tanah di bawahnya bergetar seakan merasakan setiap ledakan.
Rika melihat dirinya berada dalam kokpit sebuah katafrakt, mesin perang besar yang kokoh dan mengerikan. Dia mengendalikan tuas dan tombol dengan tangan yang gemetar, menyadari bahwa di sekitarnya, berbagai katafrakt besar lain sedang mengepungnya. Katafrakt-katafrakt ini berkilauan di bawah kilatan petir, dengan baju baja mereka yang kokoh dan persenjataan berat yang mengancam.
Bangunan di sekitarnya terlihat rusak parah, dengan reruntuhan yang berserakan di mana-mana. Api berkobar di beberapa tempat, menghanguskan sisa-sisa struktur yang dulu berdiri megah. Udara dipenuhi debu dan asap tebal, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat.
Tiba-tiba, sebuah ledakan besar terpicu di dekat Rika. Suara ledakan itu begitu keras, mengguncang tubuh dan katafraktnya. Api dan serpihan logam beterbangan ke segala arah, dan Rika merasa tekanan yang luar biasa menghantam tubuhnya. Dia melihat tangannya berlumuran darah, dan rasa sakit yang tajam mulai menjalari tubuhnya.
Dalam pandangan yang semakin buram, Rika melihat dirinya sendiri tergeletak di tanah, bersimbah darah dan tak sadarkan diri. Kesadaran perlahan-lahan meninggalkannya, sementara suara-suara pertempuran semakin menjauh, tenggelam dalam kegelapan yang datang menghampiri.
Kemudian, salah satu katafrakt raksasa mendarat di dekatnya. Kokpitnya terbuka, dan dari dalamnya terdengar suara yang sangat dikenalnya.
"RIKA!"
Rika melihat sosok Fukari menghampirinya. Meskipun terhempas oleh ledakan yang terus terjadi, Fukari tetap berjuang untuk mendekati Rika, meskipun terhuyung dan bersimbah darah. Dengan hati yang kuat, dia mulai menopang Rika, berjalan menuju katafraktnya. Sampai akhirnya, mereka berhasil mencapai kokpit. Di sana, Fukari menekan tombol untuk membawa katafrakt bersama Rika, sementara dirinya terkapar di tempat itu, kesadarannya mulai menghilang.
Kemudian Rika mendengar suara Dokter Vermilion. "Setsuna, apakah kau berhasil menemukan Fukari?"
"Ya, aku berhasil menemukannya! Lalu, bagaimana kondisi Rika?" tanya Setsuna dengan nada panik.
"Rika, ...sepertinya-"
Mimpi itu, kemudian nampak memudar. Rika hanya melihat bahwa tubuhnya sudah tak tertolong. Dia memahami bahwa ingatan ini adalah miliknya, sosok Rika yang menyelamatkannya dari kesepiannya kematian.
Diruangan kesehatan sekolah, Rika terbangun, membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Hatinya terasa berat dan sedih, menyadari bahwa mimpi itu bukan sekedar mimpi, melainkan potongan ingatan yang misterius.
Rika mengerjapkan mata, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan itu. Di sampingnya, Fukari masih duduk dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Rika, kau sudah sadar?" tanyanya lembut.
Rika mengangguk pelan, matanya masih berusaha fokus. "Fukari, aku... aku ingat sesuatu. Pertempuran, ledakan, dan kau yang menyelamatkanku..."
Fukari tersenyum lembut, meskipun air mata masih menggenang di matanya. "Ya, Rika. Kamu pasti mengalami mimpi yang mengingatkanmu akan kejadian itu. Tapi yang penting sekarang, kamu sudah kembali, aku senang sekali Rika!" Fukari merasa bersyukur melihat kondisi Rika membaik.
Disana Rika sudah terbangun, matanya masih terasa berat. Dia merasakan tangan Fukari yang melingkar erat di tubuhnya, memeluknya dengan penuh kasih sayang. Rika menarik napas dalam-dalam, merasa lega meskipun hatinya masih terasa berat. "Fukari," bisiknya lemah.
Kemudian, Rika melihat ada bekas luka di wajah Fukari. "Fukari, apa yang terjadi denganmu?" tanyanya dengan nada khawatir.
Fukari menyentuh lukanya, mengingat kejadian di mana Rika, dalam kondisi tidak sadar, telah menghajarnya. Namun, Fukari tersenyum, berusaha menyembunyikan ingatan itu. "Aku tidak apa-apa," katanya dengan nada ceria.
"Tapi, Fukari!" Rika merasa penasaran, mengetahui ketakutannya akan melukai Fukari.
Fukari menenangkan Rika dengan senyumnya yang hangat. "Tenang saja, ini tidak akan berpengaruh padaku!" jawab Fukari ceria, mencoba mengurangi kekhawatiran Rika.
"Fukari!" Rika terus memanggilnya, tubuhnya terasa ingin bergerak, air mata mengalir dari matanya.
Fukari menatap Rika dengan penuh perhatian. "Rika," panggilnya lembut.
"Kamu tahu, Rika? Waktu pagi hari, senior Setsuna menjumpaiku," kata Fukari, mengingat pertemuannya dengan Setsuna.
Rika terdiam, menatap lekat-lekat ke arah Fukari, tangannya memegang erat pergelangan tangan Fukari.
"Sebelum senior pergi, dia menitipkanmu kepadaku. Jadi... mana mungkin aku mengabaikanmu begitu saja, kan?" ucap Fukari dengan nada ceria namun sedikit serius.
"Fukari, maafkan aku..." kata Rika, air matanya mulai mengalir lebih deras.
Fukari melebarkan matanya, terkejut dengan permintaan maaf Rika. "Kenapa kamu menangis, Rika?" tanyanya lembut.
"Kenapa... kamu selalu membantuku?" tanya Rika, air mata menetes di pipinya.
"Tentu saja, karena aku adalah temanmu!" jawab Fukari, menampilkan wajah cerianya yang khas. "Apa itu saja pertanyaanmu, Rika?"
Rika terdiam seketika, suasana di sana menjadi hening. Dia mengingat perkataan Setsuna yang bergema di pikirannya.
"Rika, aku tahu ini tidak mudah bagimu. Tapi satu hal yang harus kau ingat adalah kepercayaan. Fukari sudah membuktikan bahwa dia rela mengambil risiko demi dirimu. Itu adalah sesuatu yang sangat berharga, sesuatu yang tidak boleh diabaikan," kata Setsuna dalam ingatannya.
Rika bergerak, mengalungkan tangannya ke tubuh Fukari, "Fukari, maafkan aku!" teriaknya dengan suara serak.
Fukari terkejut. "Rika, tenang! Kamu kenapa menangis?" tanyanya, cemas.
"Karena... aku bukan Rika yang Fuka kenal! Aku... aku..." Rika tampak ingin menjelaskannya, tetapi berat.
Fukari tersenyum lembut. "Ya, aku tahu, Rika," katanya dengan nada menenangkan.
Rika menatap Fukari, melihat air mata yang menetes dari mata Fukari. Meski begitu, Fukari langsung menyeka air matanya. "Tentu saja, aku tahu."
"Tapi, bagaimanapun... Rika tetaplah Rika!" kata Fukari, membuat Rika melebarkan matanya.
"Fuka, apakah kamu menerimaku?" tanya Rika dengan suara bergetar.
Fukari mengangguk, "Tentu saja, bodoh!" jawabnya sambil menangis, namun air matanya adalah air mata kebahagiaan karena Rika merasa terbuka kepadanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments