Kuliah akhirnya selesai juga. Padahal selama di kelas, aku sama sekali tidak fokus pada apa pun di sekitar. Hanya diam menatap depan dengan tatapan kosong.
"Nay, duluan, ya," kata Reva saat mereka ada di parkiran. Reva seperti biasa pulang bersama Diki. Kekasihnya.
"Ati-ati, Va."
"Oke. Kamu juga, Nay. Jangan terus ngelamun. Nanti kesambet setan!" ujarnya dengan menarik kedua bibirnya. Aku hanya menanggapi dengan menjulurkan lidah.
"Nay." Panggil seseorang yang ternyata sudah berdiri di sampingku. Aku langsung menoleh dan mendapati Wira ada di sana. Aku masih tidak ingin bertemu dengannya. Berbalik badan dan berjalan menjauhi Wira adalah pilihan tepat untuk saat ini. Namun bukannya menyingkir, justru Wira terus saja mengikutiku. Tatapan matanya terus tertuju padaku.
Saat akan menyeberang, aku yang juga berusaha terus menghindari Wira akhirnya tidak begitu fokus. "Astaga!" jeritku saat melihat sebuah bus yang berjalan oleng dan tepat menuju arahku.
Beberapa orang yg ada di seberang jalan berteriak agar aku segera menyingkir. Namun entah kenapa aku malah diam mematung. Seolah pasrah jika tubuhku ini terhempas oleh kendaraan besar itu.
Tiba-tiba Wira menarikku dan sudah berdiri di depan, memelukku. Ia berusaha mendorongku ke pinggir jalan. Namun terlambat. Saat bus itu lewat, tubuh Wira terserempet badan bus. Ia mengerang kesakitan. Tubuhku kaku. Kejadian ini terasa melambat dan membuatku dengan jelas melihat penderitaan Wira. Aku yang berdiri mematung hanya mampu mendengar jerit Wira dengan darah yang terasa menetes di punggung tanganku. Beberapa daging di punggung Wira terkelupas dan jatuh ke tanah. Ini benar-benar mengerikan. Hatiku sakit sekali melihatnya terluka seperti itu. Bus akhirnya menabrak pagar depan kampus hingga temboknya rubuh. Ada beberapa penjual yang terkena imbasnya juga. Semua orang berlarian menolong para korban.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Wira sambil meringis, membelai wajahku lembut. Aku hanya mengangguk karena masih kaget karena kejadian itu. Wira lalu mengecup keningku dan pergi, masuk ke dalam kebun yang ada di samping kampus.
"Wiraa!" panggilku dengan teriakan yang tersamarkan oleh ramainya keadaan sekitar. Semua orang heboh dengan peristiwa bus yang menabrak beberapa kios tempat berjualan warga. Aku terus berjalan mengikuti Wira. Beberapa dagingnya berjatuhan ke tanah. "Wiraa!" Hatiku nyeri melihat apa yang terjadi padanya. Ia pasti sedang kesakitan. Demi aku. Ia rela melakukan hal semengerikan tadi.
"Nay ...." Suara seseorang yang terdengar familar ada di belakangku. Suara yang membuat kakiku lemas karena dia adalah orang yang sejak tadi kupikirkan. Wira yang berdiri hanya berjarak dua meter dari tempatku hanya menyunggingkan senyum. Aku berlari mendekat dan langsung nemeluknya erat. "Kamu nggak apa-apa?" tanyaku sambil mengamati lekat lekat tubuhnya terutama bagian punggung.
Bajunya memang robek dan ada bekas darah di sana, namun tidak ada luka sama sekali.
Bahkan saking tidak percayanya, aku sampai meraba punggungnya. Benar benar tidak ada luka sama sekali. Mulus.
Wira berbalik menghadapku lalu menggenggam tanganku erat.
"Aku nggak apa-apa,"katanya lembut.
Aku diam beberapa saat. Meneliti tiap mimik wajahnya. Segera saja aku menarik tanganku. "Makasih. Syukurlah kamu nggak apa-apa. Ya udah, aku balik dulu," ucapku tanpa menatapnya.
"Nay ... nayla ..." Wira mengejarku lagi.
"Kenapa?" Terpaksa aku berhenti. Entah terpaksa atau ...
"Kamu mau maafin aku, kan?" tanyanya sambil menatapku dalam. Ia terus menatap kedua bola mataku walau aku terus menghindarinya. Aku takut. Takut jika aku akan luluh kembali oleh sikap Wira yang seperti ini.
"Hm ...," aku menarik nafas dalam, " Iya aku maafin."
Wira yang seolah berhenti bernafas saat melontarkan pertanyaan tadi, kini terlihat lega dengan gurat bahagia di wajahnya.
"Tapi ...." Kalimatku sengaja kupotong untuk melihat kembali reaksinya. Ia kembali memasang wajah serius. "Tapi apa, Nay?"
"Tapi ... aku belum bisa nerima kamu lagi kaya kemarin," kataku. Wira mengerutkan kening, seolah tidak terima atas pernyataanku.
"Kenapa, Nay?"
"Aku butuh waktu, Ra. Aku juga pengen tau, apakah kamu beneran sayang sama aku karena aku ini Nayla, atau hanya karena aku mirip Sekar. Aku butuh waktu. Maaf," jelasku lalu berjalan lagi meninggalkan dia.
"Naylaaaa!" Panggil Wira.
Aku memghentikan langkahku tanpa menoleh sedikit pun. " Aku bakal buktikan sama kamu, Nay, kalau aku sayang sama kamu. Karena kamu Nayla! Bukan karena kamu mirip Sekar!" teriaknya.
Aku meneruskan berjalan dengan menahan nyeri di dada. Nyeri karena jauh di lubuk hatiku, aku masih mengharapkan Wira. Aku ingin berbalik dan memeluknya. Tapi sakit juga karena mengetahui kenyataan yang sebenarnya kalau ada wanita lain di hatinya.
Aku terus berjala menyusuri trotoar jalan. Kuputuskan untuk berjalan kaki. Entah kenapa jika hatiku sedang kalut seperti sekarang, aku suka sekali berjalan sendirian seperti ini. Terlebih jika hujan turun. Itu bagai berkat untukku. Hujan bagai peluruh segala gundah dan lara. Hujan juga mampu mengklamuflasekan tangisku.
Halaman kos sudah cukup kotor karena daun kering yang sepertinya sejak pagi belum dibersihkan. Mungkin ibu kos belum sempat berkeliling atau sedang berada di luar kota. Ibu kos di sini memang tinggal di rumah sebelah gedung ini. Ia rajin menjenguk keadaan kos. Tiap pagi aku sering menyapanya saat sedang menyirami tanaman atau membakar sampah dedaunan yang sudah kering.
Koridor nampak sunyi. Mungkin penghuni kos yang lain masih beraktifitas di luar atau sedang menikmati tidur siang di tengah terik matahari yang memang mampu membakar kulit. Bahkan hingga sore hari pun rasa kantuk masih menggelayut di mata. Karena aku pun pernah merasakan bermalas-malasan di kos seharian.
Sampai depan kamar kos, aku segera masuk dan tak lupa mengunci pintu kembali. Nasehat Wira masih terus terngiang di kepalaku. Pintu balkon kubuka dan segera meraih handuk yang sengaja kujemur di sana. Mandi adalah hal yang menyenangkan setelah beraktifitas di luar dengan kondisi badan yang lengket. Aku berencana akan membeli makan malam setelah mandi. Banyak penjual makanan di sepanjang trotoar jalan. Beraneka ragam makanan tersedia di sana. Itu memudahkan kami para penghuni kos untuk mencari makanan yang tentunya juga murah di kantung.
Dengan memakai baju tidur dan sendal jepit aku segera membuka pintu kamar.
Tunggu! Apa ini?
Di lantai depan kamarku, ada rantang makanan berwarna hijau muda. Sebuah pesan tertempel di sana.
'Dimakan ya, Nay. Pasti kamu belum makan'
Wira?!
Ya ampun. Akhirnya aku kembali masuk kamar dan menuju ke balkon kamarku. Tanpa sungkan aku pun turut membawa rantang makanan ini. Aku hargai perjuangannya untuk kembali mengambil hatiku. Lagi pula jika aku tidak memakannya itu mubazir sekali. Aku duduk di balkon kamar. Menatap senja yang mulai menghiasi semesta. Dengan rantang hijau di meja. Kubuka makanan itu dan menemukan beberapa makanan kesukaanku. Sontak seulas senyum terbit dari bibirku. Aku segera menyantap makanan ini.
Kembali aku teringat kejadian tadi. Wira sampai terluka seperti itu. Sakit apa nggak, ya?
'Pasti sakit lah, Nay! Dia aja sampe meringis gitu. Bego banget sih pake nanya sakit apa nggak!' Runtukku pada diri sendiri.
Setelah makanan habis kuletakan di dapur. Lalu kembali ke balkon dengan membawa buku buku dan secangkir coklat hangat.
Banyak sekali tugas untuk besok, dan harus ku selesaikan malam ini juga. Selama beberapa saat aku masih fokus pada tugas ini. Hingga lama kelamaan aku terus mengucek bola mataku yang terasa gatal. Aku meletakan kepala di meja dengan buku buku sebagai alasnya. Mataku makin berat. Tubuhku juga terasa letih. Aku mengantuk. Sangat.
____
Pov Wira.
Aku menyuruh Arya memasak dan mengantar rantang berisi makan malam untuk Nayla. Karena jika aku harus kembali ke rumah pasti akan memakan waktu cukup lama. Aku yakin Nayla pasti lapar dan sebentar lagi dia akan keluar untuk membeli makanan.
Dan aku tidak mungkin menyerahkan rantang ini langsung ke Nayla. Karena ia pasti akan langsung menolaknya mentah mentah. Kuputuskan untuk meletakannya di depan kamar Nayla saja.
Aku terus mengamati Nayla dari pinggir jalan dekat pohon. Melihatnya dari jarak sejauh ini sudah lebih dari cukup bagiku. Aku tau dia masih bel ujm bisa menerima kehadiranku lagi. Sekeras apa pun aku mencoba memdekat, ia justru malah makin menjauh. Tapi aku tidak akan menyerah begitu saja.
Nayla seperti biasa duduk di balkon kamarnya dengan menenteng rantang pemberianku. Aku lega karena dia tak langsung membuangnya dan mau menerimanya. Aku yakin dia tau kalau aku yang mengirimnya.
Melihatnya makan dengan lahap, membuatku senang. Apa pun yang dia lakukan entah kenapa selalu membuatku tertawa.
Dia memang mirip Sekar. Bahkan awal aku menyukainya karena dia mirip Sekar. Terkadang aku berfikir, apakah Nayla adalah reinkarnasi Sekar?
Namun setelah lama aku bersama Nayla, dia tidak mirip Sekar. Sifatnya, tingkah lakunya, cara berbicaranya, semua hal itu tidak sama seperti Sekar. Tapi aku malah makin mencintai Nayla. Aku akan lakukan apa pun untuknya. Dia menjadi semangat baru dalam hidupku.
Awalnya, aku sudah lelah hidup selama ini. Aku bahkan berfikir untuk mati saja, dan menyuruh Arya menghabisiku. Karena untuk apa aku hidup, jika tidak mempunyai tujuan yang berarti. Bosan. Yah, aku bosan hidup.
Namun semua berubah setelah Nayla datang ke dalam hidupku.
Aku benar benar mencintainya. Sangat mencintai nya. Aku tidak ingin kehilangan dia.
Dan kebiasaan dia yang satu ini memang sulit untuk dihilangkan.
Tidur sembarangan. Bahkan dia sekarang tidur di balkon kamarnya. Dasar bodoh.
Aku berjalan ke halaman kos nya.
Memanjat balkon kamarnya.
Dia ini benar benar ceroboh. Jika ada pencuri masuk bagaiman coba?
Aku mendengus kesal. Lalu membopongnya masuk ke dalam, meletakannya di ranjang, kuselimuti dia. Kupandangi wajahnya lekat lekat. Ku cium keningnya pelan.
Aku tidak ingin dia bangun lalu mengusirku karena melihatku di sini. Setelah memastikan Nayla aman dan nyaman, aku keluar melewati balkon kamarnya dan mengunci pintu dengan kunci cadangan. Nayla sengaja memberikan kunci cadangan kamarnya agar jika aku ingin datang, aku bisa dengan mudah masuk.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Krrrrrriinnnngggggg
Bunyi jam wekkerku sungguh memekakan telinga. Kuraih tanpa melihatnya lalu kulempar saja ke lantai. Beres sudah.
Aku kembali melanjutkan tidur.
Tunggu!
Jam weker?! Bukannya ini ada di meja nakas samping ranjang ku?
Aku langsung bangun dan ternyata benar, aku ada di ranjang. Seingatku semalam aku ada di balkon karena masih harus mengerjakan tugas?
Astaga tugasku?
Segera aku berlari ke balkon.
Terkunci? Siapa yang kunci???
Kuambil kunci balkon dan mengerjakan tugas yang belum selesai.
Dengan secepat kilat aku segera mandi dan bersiap ke kampus.
Ada kuliah pagi, dan ... Ini kelas Wira.
Selesai bersiap, aku mengecek kembali buku bukuku. Setelah memastikan semua sudah lengkap aku segera melenggang keluar kamar. Dengan rambut yang belum disisir rapi, aku segera berlari ke pangkalan ojek dan memanggil Mang Asep.
Dengan diantar Mang Asep, aku sampai kampus tepat waktu. Namun, pasti aku akan terlambat 10 menit nih. Karena dari halaman kampus sampai kelas itu bukan jarak yang dekat.
Aku berlari setelah membayar ongkos ojek. "Nayy!!!"teriak rani .
Aku hanya melambaikan tanganku kepadanya.
'Gak ada waktu basa basi nih. Dari pada aku telat terus dihukum.'
Dengan nafas ngos-ngosan, aku sampai juga di depan kelas.
Kuatur dulu nafas ku sambil berpegangan pada pintu.
"Nay, kenapa?"tanya Reva heran, yang sama-sama baru sampai kelas.
"Enggak. Papaah ...," kataku sambil berjalan ke bangku.
"Ya ampun, Nay, berantakan banget sih lo." Celetuk Boy yang kini duduk berjejeran dengan Reva di belakangku.
"Mandi gak coba, Nay?" Tanya Reva menyelidik.
"Enak aja! Mandi lah!" Kataku sambil mengambil bukuku dan mengibas kibaskan ke wajah.
"Mandi sih, tapi sekarang bau asem lagi tau!" timpal Boy sambil menutup hidungnya.
"Sialan." kupukuli Boy dengan buku yang kupegang. Dia malah tertawa lepas karena berhasil mengerjaiku.
"ASDOS dateng!" bisik Boy agar aku berhenti. Masuklah Wira ke kelas.
Aku kembali duduk menghadap depan. Wira melihatku hanya geleng geleng kepala pelan.
Apakah aku sekacau itu? Batinku dalam hati sambil membetulkan rambutku.
"Nayla? kamu ke toilet sana. Cuci muka mu!" perintah Wira.
"Iya, kak." Aku lalu keluar kelas dengan sungkan. Menundukan kepala karena merasa malu.
Sampai di toilet, ternyata penampilanku kacau sekali. Tampangku yang memang kusut, membuatku berpikir wajar jika mereka menatapku aneh.
"Nay!" Panggil Rani yang tau tau sudah ada di belakangku.
"Eh, ngapain kamu di sini?"
"Kencing. ih kamu acak acakan banget sih, Nay," kata Rani melihatku jijik.
"Ck. kamu nih. Sama aja kaya yang lain. Pinjem sisir sini sama bedak," pintaku lebih ke maksa.
Rani meminjami ku sisir dan make up yang selalu dia bawa.
"Nah, kan, lebih rapi," puji Rani
"Hehe. aku telat bangun tadi, Ran."
"Ya ampun, tumben? kak Wira gak jemput? "tanya nya.
"Nggak," jawabku singkat.
"Ya udah balik kelas, yuk," ajak Rani.
Kami kembali ke kelas masing masing. Saat masuk kelas, Wira tersenyum melihatku. Kubalas senyum kecut.
Dan kelas pun berjalan seperti biasa.
"Lain kali jangan tidur di balkon, nanti masuk angin," ucap Wira sambil berdiri di depanku setelah kelas usai. Lalu dia keluar kelas.
Tungguu! Kok dia tau? Jangan jangan dia yang memindahkan ku ke ranjang semalam?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
🌹*sekar*🌹
bner skali..🤭
2022-10-20
1
Endanks
heeeeeewmmmm warbiasa thor'lanjutin amazing 🥰
2021-12-15
1
Nanda
yaahh mereka harus jadian
2021-01-03
0