Dari siang tadi, aku berada di rumah Rani. Aku menemaninya karena papahnya lembur sampai malam. Dia ini penakut sekali, sama seperti aku sebenarnya.
"Ran, Wira jadi asdos di kelasku tadi ...," kataku sambil mencomot camilan yang sudah hampir habis.
Kami sedang ada di kamar Rani dan asyik membaca buku yang kami pinjam di Perpus.
"Oh ya? Terus? Kamu seneng dong, ngeliatin dia terus. Haha …." tawanya menggelegar bagai badai.
"Kamu nih ... kalo ngomong suka benar aja. Hehe." Dia memang tau apa yang kupikirkan.
"Btw, Nay, kok kamu bisa naksir dia? Kalo dari segi tampang nih, gantengan si Beni deh perasaan. Beni juga tajir, pinter, wah perfecto banget deh, Nay. Kok bisa sih kamu tolak cowok kayak Beni? Malah naksir Wira, cowok aneh misterius itu?" tanya Rani heran.
"Entahlah, aku nggak tahu. Sejak ketemu dia tadi, gimana gitu ya, Ran. Aku belum pernah ngerasain gini sebelumnya. Dia unik," kataku sambil melamunkan Wira.
"Tapi, Nay. Kamu hati-hati loh. Aku udah peringatin ya, sama kamu, dia aneh, misterius. Kalau bisa sih, kamu lupain dia, itu pun kalau bisa," saran Rani serius.
Tin…. tin …
Suara klakson mobil dari halaman Rani.
"Papahku udah pulang deh, kayanya."
Aku melihat jam tanganku. Sudah cukup malam juga, ya.
"Ya udah, aku balik ya, Ran. Ada tugas nih," kataku lalu beranjak dari dudukku.
"Diantar ya, Nay. Bentar aku bilang papah," kata Rani.
"Eh, enggak usah, Ran. Aku naik taksi aja. Lagian, kasian papah kamu, capek pasti pulang kerja. Ya udah ya, see you ...," kataku lalu keluar kamar Rani. Sebelumnya, aku cipika cipiki dulu sama rani.
Sampai di teras, papah Rani masih di sana, sedang menerima panggilan telpon.
"Om, saya permisi mau pulang dulu," pamitku ke papahnya Rani.
"Oh iya, Nay. Makasih ya, udah nemenin rani. Kamu pulang naik apa?" tanya papahnya Rani.
"Naik taksi, Om."
"Saya antar aja gimana? Udah malam, loh?" tawar papahnya Rani ramah.
"Gak usah, Om. Nayla mau mampir juga ini. Makasih tawarannya, kalau gitu Nayla permisi dulu ya, Om."
"Ya sudah, hati-hati, Nay."
Lalu, aku berjalan keluar menuju gerbang rumah Rani. Rumah ini memang besar sekali. Sebenarnya ada seorang pembantu dan tukang kebun. Hanya saja, Rani yang kelewat manja, mintanya ditemenin aku.
Sampai di luar gerbang, kuedarkan pandanganku di jalan, tapi taksi tak kunjung lewat.
Akhirnya, aku berjalan sambil mencari taksi. Malam memang sudah larut, agak takut sebenarnya. Namun, mau bagaimana lagi? Aku harus segera sampai kostku. Ada tugas untuk besok. Kalo nggak ngerjain, bisa-bisa aku dapet nilai D.
Saat aku berjalan di tempat yang agak sepi, kulihat ada beberapa gerombol pria yang sedang duduk di pinggir jalan. Perasaanku tak enak. Ingin balik, namun rumah Rani sudah jauh. Kalau meneruskan, aku takut mereka akan berbuat hal buruk kepadaku. Biasanya, kalau gerombolan cowok gitu pasti jelalatan kalo liat cewek jalan sendirian. Akhirnya, aku nekat berjalan melewati mereka. Semoga, mereka hanya duduk saja di sana.
Saat hampir melewati mereka, langkahku dihentikan seseorang di depanku.Salah satu dari mereka menghalangi jalanku.
"Mau kemana, cantik?" tanyanya.
Aku berusaha menghindar. Namun, yang lain malah ikut mendekat. Karena situasiku buruk, aku berusaha melawan. Kuinjak kakinya dan kutendang kemaluannya dengan keras, sehingga ia jatuh tersungkur. Karena ada kesempatan bagus, aku berlari menjauh dari mereka.
"Sialan! Kejar tuh cewek!" kata salah seorang dari mereka.
Mendengar itu aku makin mempercepat lariku.
"Tolong! Tolong!" teriakku ketakutan.
Aku terus berlari. Namun, langkah mereka jauh lebih cepat dariku. Dan benar saja, mereka dapat meraihku dengan cepat. Rambutku ditarik dengan kencang, hingga aku jatuh tersungkur di trotoar jalan.
"Auw... aduh..."
"Haha.. kamu ngapain lari?" tanya salah satu dari mereka dengan memandang rendah padaku.
"Mau apa kalian? Aku teriak nih!" ancamku.
"Teriak saja. Mana ada yang akan menolongmu!" Mereka menatapku jenaka, seolah aku sedang melontarkan sebuah lelucon.
" Tolong! Tolong!" teriakku lagi.
Saat salah satu dari mereka menarikku dengan kasar kepelukannya, aku berontak.
"Lepas!" Suaraku bergetar, karena aku sudah benar-benar ketakutan. Bahkan, bajuku sudah robek karena ditarik dengan kasar oleh mereka.
Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
"Heh, lepaskan dia!" Suara seseorang terdengar di telingaku. Ah, aku mengenali suara ini. Namun, aku berbalik untuk memastikan.
"Kak Wira?" aku kaget mendapati Wira berdiri di hadapanku.
"Kamu nggak apa-apa, Nay?" tanyanya dengan nada datar, namun wajahnya menunjukkan raut khawatir.
"Tolong aku kak!" rengekku dengan suara yang sudah bergetar. Aku benar-benar takut.
"Kamu tenang aja, Nay. Aku pasti nolongin kamu." katanya lembut.
Aku hanya bisa mengangguk. Mataku sudah berkaca-kaca.
"Kalau kalian tidak melepasnya, aku jamin kalian akan menyesal!" ancam Wira dengan tatapan tajam ke arah preman-preman itu.
"Banyak omong lo! Hajar!" teriak salah satu dari mereka.
Mereka maju bersamaan dan bersiap menghajar Wira. Kulihat Wira tidak gentar, padahal mereka membawa senjata tajam juga.Aku yang melihatnya malah khawatir. Aku takut dia celaka karena menolongku.
Namun, apa yang kulihat malah membuatku tercengang. Dengan mudahnya, Wira menghajar mereka satu persatu sampai mereka tak bergerak lagi.Sisanya, tinggal pria yang memegangiku sekarang.
"Pilih lepasin dia atau aku bikin kamu sengsara kayak mereka?" ancam Wira serius.
Dia melepaskanku dengan ketakutan, lalu berlari meninggalkan kami. Aku masih bingung dan takut. Wira mendekatiku, lalu melepas jaket yang dipakainya dan memakaikannya padaku.
"Kamu nggak apa-apa?" tanyanya lembut, sambil menghapus air mata yg sudah membanjiri pipiku.
Kini, Wira terlihat lebih lembut. Berbeda dari saat kami di kampus tadi, dia terlihat dingin. Aku hanya mengangguk, rasanya aku tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun sekarang.
"Ya udah, aku antar kamu pulang."
Lalu, dia menggandeng tanganku menuju sebuah motor sport yang terparkir di pinggir jalan. Dia memakaikan helmnya padaku.
Sedangkan aku hanya diam saja dari tadi.
"Ayo naik!" perintahnya.
Lalu, aku menaiki motornya.
"Pegangan, Nay … nanti kamu jatuh"
Aku pun berpegangan pada pinggang Wira dengan sungkan. Wira malah menarik tanganku dan membuatku memeluknya dari belakang.
"Pegangan yang kencang ya!" perintahnya.
Aku pun menurut. Rasanya nyaman, saat berada di dekatnya. Aku bahkan bersandar di punggungnya. Dalam perjalanan ke kostku, aku hanya diam menikmati moment ini. Rasanya, aku ingin terus begini.
Tak lama, Wira berhenti.
"Hei, udah sampai. Kamu tidur, Nay?" tanyanya sambil sedikit menggoyang-goyangkan tubuhku.
"Hah? Sampai? Kok cepat banget?" tanyaku heran.
"Kamu maunya lama? Oke, kita putar lagi gimana?" tanyanya dengan nada melucu.
"Hehe, enggak usah." Lalu, aku segera turun. Suasana hatiku sudah lebih baik kali ini.
Tunggu!
Aku memang sampai di kostku dengan selamat. Tapi,darimana dia tahu kalau aku kost di sini? Perasaan, aku belum memberitahunya.
"Eh, Kak Wira. Kok tahu aku kost di sini? Perasaan, aku belum bilang deh?" tanyaku heran.
Kulihat Wira agak kaget dengan pertanyaanku.
"Kamu lupa? Tadi kamu bilang, kalau kost kamu di sini." katanya.
Namun, aku tahu dia berbohong.
Aku tidak mungkin lupa, dia belum bertanya apapun sepanjang perjalanan tadi.
"Masa sih? Hm, ya udah deh," kataku pasrah. Aku malas berdebat. Rasanya badanku masih bergetar karena takut akan kejadian tadi.
"Ya udah, masuk gih. Udah malem," katanya.
"Iya. Aku masuk ya, makasih udah nolongin aku," kataku lalu berbalik hendak masuk.
Entah kenapa kakiku lemas sekali, sehingga langkahku malah membuatku terjatuh.
"Aduh …."
Wira turun dari motornya. Lalu, ia membantuku berdiri.
"Kenapa?" tanyanya bingung.
"Kakiku lemas. Aku masih takut," jawabku jujur.
Dia tersenyum sangat manis. Baru kali ini, aku melihatnya tersenyum semanis ini.Tanpa bertanya terlebih dulu, dia langsung membopongku ala bridal style. Lalu ia membawaku masuk ke dalam.
"Kamar kamu yang mana?" tanyanya.
"Lantai atas," kataku sambil berpegangan di lehernya. Aku memandanginya terus. aku tahu dia menyadarinya. Namun, dia tidak bereaksi apa-apa dan tetap berjalan menuju kamarku di lantai atas.
"Kamar nomor berapa?" tanyanya.
"10."
Saat sampai di depan pintu kamar kostku, dia diam.
"Kamu mau masuk ke dalam atau mau terus memandangiku? Asal kamu tahu, kamu berat banget," katanya tanpa memandang ku.
"Eh, maaf, hehe. Berat ya?" Lalu, aku turun dari gendongannya.
Kucari kunci kamarku di dalam tas. Lalu segera kubuka pintu kamar kostku. Kostku ini memang termasuk kost yang bebas, jadi tidak masalah jika aku membawa teman laki-laki masuk ke dalam.
Ceklek.
Pintu terbuka, Wira masih menatap kamar kostku. Entah apa yang dia pikirkan.
"Mampir dulu kak?" tanyaku basa basi.
"Oke." Dia langsung masuk dan tiduran di ranjangku.
Padahal, tadi aku cuma basa basi.
"Eum, mau minum apa kak?" tanyaku canggung.
"Kopi."
"Oke, sebentar." Lalu, aku segera membuatkannya kopi.
Kamarku ini memang komplit, ada kompor juga. Karena, aku memang lebih suka masak sendiri dari pada membeli matang.
Secangkir kopi dan segelas susu hangat sudah kubuat dan kutaruh di meja.
Wira beranjak menuju jendela, dia seperti mengecek jendelaku. Lalu, ia berjalan lagi ke balkon kamarku.
"Kamu sering lupa kunci pintu balkon ya, Nay?" tanyanya.
"Eum, iya sih, lupa kadang. Tapi aman kok, Kak," kataku sambil meneguk susu hangat yang kubuat tadi.
Dia melongok ke bawah dan mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tak lama, dia menutup pintu itu dan menguncinya.Dia kemudian berjalan menuju ke arahku, lalu duduk sambil menyambar kopi yg baru kubuat.
"Eh, panas ...," ucapku pelan.
Namun, aku kaget karena dia sudah meneguk kopinya bahkan habis setengah cangkir lalu menatapku.
"Nggak panas kok," katanya sambil menaikkan kedua alisnya.
Serius? Enggak panas? Itu baru matang loh kopinya, dan airnya tadi mendidih. Tapi, dia meneguknya seperti minum air putih saja.
"Bengong lagi nih anak," katanya.
"Hah? Ah, enggak. Kamu hebat kak, itu kopi baru matang loh," kataku masih memandangnya tak percaya.
"Udah dingin, Nay. Gak percaya?" tanyanya.
"Enggak," jawabku polos.
"Haha. Kamu lucu ya, Nay," katanya sambil terkekeh.
"Lucu? Emang aku badut?" tanyaku sambil manyun.
"Ih jelek deh, bibirnya manyun kaya Donald. Coba aku ukur pake penggaris, berapa panjangnya," katanya sambil sok sibuk mencari penggaris.
Diraihnya penggaris di meja dekat laptopku, lalu dia benar-benar mengukurnya.
"Ulangin coba?" pintanya.
"Ah, Kak Wira!" Aku memukul dadanya pelan. Sedangkan, ia tertawa sambil berusaha menahan tanganku.
"Oke, oke. Sorry, Nay. Becanda," katanya.
Lalu, mataku dan matanya bertemu dalam jarak yang cukup dekat.Tawanya berhenti, berganti dengan pandangan mata yang tajam. Aku pun menghentikan pukulanku, lalu menunduk malu.
"Ya udah, aku balik sekarang ya, Nay," katanya.
Sepertinya, dia juga merasa sungkan.
"Oh iya kak, makasih ya."
"Oke." Lalu, dia berjalan keluar dari kamarku.
"Kak, jaketnya," kataku lalu melepas jaket yang kupakai.
"Oh iya, aku lupa. Sampai ketemu besok di kampus, Nay." Dia mendekat ke wajahku, membuat jantungku berdegup dua kali lebih cepat, bahkan tiga kali lebih cepat, mungkin.
Cup ...
Dia mencium keningku, lalu membelai pipiku lembut. Jika hatiku terbuat dari es krim, mungkin aku sudah meleleh karena perlakuan darinya.
"Kamu hati-hati," katanya lembut lalu pergi meninggalkanku.
Astaga, dia mencium keningku? Ya ampun...
Aku masuk ke kamar, lalu berlari ke balkon. Kulihat dia dari balik pintu balkon yang memang terbuat dari kaca.Aku melihatnya berjalan ke arah motornya, lalu menatapku dan tersenyum. Dia juga melambaikan tangannya dan pergi melesat dengan motornya.
Dia, sebenarnya apa yang dia lakukan? Kenapa dia melakukan itu kepadaku? Apa maksudnya menciumku seperti tadi?
"Argh!" teriakku frustasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
liani purnapasary
😍😍😍😍jngn 2 Wira indigo bisa liat masa depan.🤔🤔seru ahh
2023-10-08
0
senja
genre roman kah ini? kayak gak kuat utk tau misterimya. . .
2022-03-05
1
Endanks
masih nyimak teruuuuuuuus masih semangat,✊
2021-12-15
1