Pagi ini, aku berangkat kuliah bersama Rani, karena semalam aku menginap di rumahnya. Ini memang bagai agenda rutin beberapa hari sekali.
Sampai di kampus, kami segera menuju ke kantin untuk sarapan.
"Nay, balik kuliah kita jalan-jalan, yuk. Lama nggak jalan sama kamu," kata rani sambil menggandeng tanganku.
"Hm, gimana ya," kataku sambil pura-pura berpikir.
"Ih, Nayla. Gitu deh, mentang-mentang udah ada Wira, aku dilupain?" Rani ngambek sambil mengerucutkan bibirnya.
"Jelek deh, mulutnya maju kayak bebek gitu."
Bug …
"Auw, sorry," kataku karena menabrak seseorang, saking asiknya meledek Rani.
"Dua kali, Nay," katanya.
Wira!
"Eh, Kak Wira ... maaf, nggak sengaja," ucapku.
"Formal banget sih, manggilnya,"
"Ini kan di kampus," kataku sedikit berbisik.
Dia **** bibirnya.
"Oh iya, nanti kasih tahu temen-temen kamu ya. Kerjain soal dulu bab selanjutnya, aku agak telat," katanya sambil menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Emang mau ngapain? Kok telat?" tanyaku dengan tatapan menyelidik.
"Ada janji sama orang sebentar," katanya sambil tersenyum nakal.
Lalu, aku menarik Rani pergi menjauh dari Wira yang masih menahan tawa karena berhasil membuatku kesal.
Aku dan Rani berpisah karena kelas kami berbeda. Sampai di kelas, aku menempati kursi paling depan seperti biasa. Namun, saat duduk ada sepucuk surat, dengan amplop berwarna merah darah.
Aku menengok ke kanan dan ke kiri, menebak siapa yang mengirim.
"Reva ... ini dari siapa ya?" tanyaku ke Reva yang duduk tak jauh dariku.
"Gak tau, Nay. Waktu aku datang udah ada di bangkumu. Buka aja, kali aja ada nama pengirimnya," kata Reva sembari memainkan game di ponsel pintarnya.
Benar juga. Segera kubuka amplop itu.
Lama tak bertemu denganmu..
Membuatku tersiksa akan kenangan dirimu.
Inginku melepasmu, namun hatiku tak mampu.
Jika aku tak bisa memilikimu..
Maka tak akan ada orang lain yang bisa mendapatkanmu..
Hanya aku dan kamu, bukan orang lain!
Pemujamu
Siapa sih yang ngirim? Pemujaku? Wira? Gak mungkin!
Terus siapa? Sepertinya, aku harus mencari tahu siapa pengirimnya. Ada perasaan takut dan was-was. Aku tak pernah merasa mempunyai pengagum rahasia.
Lama tak berjumpa denganku? Apakah mungkin orang dari masa laluku? Namun, siapa dia?
Aku harus membahas ini dengan Rani. Hanya dia sahabatku dari dulu. Siapa tahu dia bisa membantuku memecahkan siapa pengirim surat ini.
"Asdos datang!" teriak Bara sambil berlari masuk ke dalam kelas.
Secepatnya, aku memasukan surat itu ke dalam tas. Aku tak mau Wira mengetahuinya dulu. Aku akan mencoba menyelesaikannya sendiri.
Selama Wira mengajar, aku benar-benar tak fokus.
Bagaimana jika pengirimnya adalah seorang psikopat?
Dari kalimatnya sangat jelas, bahwa dia sangat terobsesi padaku dan takkan membiarkan orang lain mendekatiku.
"Nayla!" panggil Wira sambil menatap tajam kepadaku.
"Eh, iya Kak?" Aku yang sedang melamun, terkejut karena panggilan Wira yang diikuti pukulan penggaris kayu ke meja.
"Kamu melamun di pelajaran saya?" katanya lagi masih dengan sorot mata yang sama.
"Ma ... maaf Kak, saya ... nggak enak badan," kataku bohong.
Duh, Wira kan bisa tahu apa yang kupikirkan. Apakah aku bisa menyembunyikan masalah ini darinya? Mungkin, aku harus sedikit menjaga jarak dengannya.
"Gak enak badan? Kamu sakit?" tanyanya, namun kali ini lebih lembut.
"Agak pusing Kak ... tapi nggak apa-apa, dilanjutin aja kak ... maaf," kataku.
"Ya udah, nanti kalau nggak kuat bilang ya?" pintanya.
Aku mengangguk.
Selesai pelajaran, aku lalu segera membereskan bukuku.
"Nay... aku antar pulang!" kata Wira datar.
"Eh, aku mau pergi sama Rani bentar, gimana? Boleh, ya?" pintaku memelas.
"Mau ke mana?" tanya Wira menyelidik.
"Eum ... jalan-jalan bentar," ucapku.
Wira nampak berfikir sebentar.
"Ya udah, hati-hati ya. Aku juga mau ke rumah Jen, ada perlu," katanya.
"Oke, kamu juga hati-hati." Lalu, aku segera beranjak dari kursiku.
Namun, Wira menghalangi jalanku.
"Give me kiss," katanya manja.
"Kita lagi di kampus loh. Gak mau, ah!" kataku malu sambil menunduk.
"Hm, ya udah."
Lalu...
Cup
Dia mencium keningku lalu berlalu begitu saja meninggalkanku yang bengong, diikuti sorakan teman-temanku yang masih ada di kelas.
"Cie, Nayla...."
"Wah ... jadian ya, Nay?"
"Makan-makan loh, Nay …"
Aku hanya nyengir lalu berjalan ke luar kelas, menghindari pertanyaan mereka selanjutnya. Segera, aku berlari ke kelas Rani. Sampai di kelas Rani, dia sedang di dalam mengobrol dengan teman lelakinya.
"Eh, Nayla!" panggilnya.
"Hai, Ran," ucapku.
Rani lalu keluar kelas dan menghampiriku bersama temannya itu.
"Eh kenalin, ini Dewa temen sekelasku. Dewa, ini Nayla, sahabatku." Kami berjabat tangan.
"Kamu Nayla, anak psikologi, kan?" tanya Dewa sambil menatapku terus.
"Iya, kenapa?"
"Kamu pacaran sama Wira?"
"Hm, iya?" kataku ragu.
Kenapa dia mempertanyakan hubunganku dengan Wira? Padahal, kami tak saling kenal sebelumnya.
"Hati-hati sama dia," kata Dewa serius.
"Memang kenapa?"
"Nanti juga kamu bakal tahu, kok."
Ini orang malah main teka-teki.
"Astaga, Rani. Aku hampir lupa," kataku yang melupakan tujuan awalku bertemu Rani.
"Kenapa? Kok panik gitu, Nay?"
"Aku tadi dapat surat. Tapi, aneh deh," kataku sambil melirik Dewa yang masih ada di samping kami dan tentu saja menyimak obrolan kami.
"Aneh gimana?"
Lalu, aku memberikan suratku ke Rani. Dia membacanya serius dan mengerutkan dahinya.
"Siapa ya, Nay? Serem banget deh," kata Rani, lalu menutup kembali surat itu dan memasukan ke amplop.
Bugh …
Seseorang menabrak Rani, hingga tangan rani agak basah karena tersiram air mineral yang dibawa orang itu.
"Sorry, Ran. Aku buru-buru." Pria itu lalu berlari.
"Duh, Azka kebiasaan deh."
Namun mataku agak terbelalak, melihat tangan Rani yang berubah merah. Amplop yang dipegangnya luntur dan membasahi tangan Rani.
"Ran ... kok tangan kamu merah?" tanyaku keheranan.
Dewa yang ikut menyaksikan, lalu mendekat dan memeriksanya.
"Darah." kata Dewa serius.
"Apa?" Aku kaget dengan penuturannya.
Rani bergidik ngeri, lalu mengambil air mineral dari tasnya dan segera mencuci tangannya yang terkena darah itu.
Dewa mengamati amplop itu.
"Gimana, Wa? Beneran darah?" tanyaku penasaran.
Dewa meraba dan menciumnya.
"Iya, Nay. Ini darah. Amplopnya direndam sama darah!"
"Ya ampun! Gila beneran pengirimnya!" kataku frustrasi.
"Kamu nggak bisa nebak gitu? Siapa yang ngirim?" tanya Dewa sambil membaca surat yang kering, karena belum terkena siraman air.
"Gak tahu, Wa. Aku sama sekali gak bisa nebak siapa pemgirimnya."
"Psycho," kata Rani kesal.
"Hah?"
"Ya pasti pengirimnya sakit jiwa, tuh. Bisa-bisanya amplopnya direndam darah, kurang kerjaan banget kan?" Rani marah, namun juga menunjukkan ekspresi takut.
Aku makin penasaran.
"Kamu dapat dari mana, Nay?" tanya Dewa.
"Tadi pagi waktu masuk kelas, udah ada di bangku, Wa," kataku.
"Hm ... kita cek CCTV, yuk. Pasti keliatan siapa yang menaruhnya," saran Dewa.
"Eh, tapi nggak bisa hari ini. Petugasnya kan libur. Baru masuk besok dan ruangan CCTV juga dikunci kan?" Rani memberikan penjelasan.
"Ya udah, besok aja kalau gitu," ucapku kecewa.
"Besok, aku temanin kalian deh," kata Dewa semangat.
Apakah aku harus memberitahu Wira, tentang masalah ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
Zuraida Zuraida
kasi tau lah
2023-01-14
0
Nanda
semenjak bersama Wira pasti hidup cewe itu ga bakal tenang diteror terus. menakutkan! cerita kakak seru. 😀💪👍
2021-01-02
1
Murtini Aryanto
jangan2 Wira lagi yang ngasih tu surat
2020-08-10
3