"Wanita itu adalah kekasihku," ucapnya pelan dengan penuh cinta sekaligus sakit di waktu yang bersamaan.
Mataku membulat, dahiku berkerut, jantungku seperti berhenti tiba-tiba, dan rasanya nyeri saat Wira sebut "kekasihku".
Cemburu? Pastilah.
Walau aku tahu wanita itu pasti sudah lama meninggal. Namun rasanya aku tidak rela berbagi cinta dengannya.
Mungkin aku terlalu egois. Tapi aku benar-benar tidak bisa menerimanya. Mengetahui ada wanita lain yang Wira cintai, dan sepertinya masih ia cintai.
"Kekasihmu? Pacar?" Sebuah pertanyaan bodoh yang keluar dari mulutku.
Ayolah Nay, jaman dulu nggak ada istilah pacar kali. Kekasih, ya pacar!
"Ya bisa dibilang gitu, Nay.
Namanya Sekar. Dia adalah putri dari Pasangguhan Pranajaya. Pasangguhan Pranajaya adalah pejabat tinggi kerajaan semacam hulubalang istana. Karena intensitas kami sering bertemu, akhirnya aku pun jatuh cinta dengan Sekar, Sekar pun juga sama. Kami saling mencintai, bahkan kami juga sudah merencanakan untuk menikah.
Tapi saat kerajaan kami diserang, Sekar diculik, dan aku nggak bisa menyelamatkannya. Aku terlambat, dia meninggal saat aku tiba. Tepat di hadapan mataku sendiri," terang Wira dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat sangat sedih. Terpukul dan terluka.
"Wajahnya mirip denganku?" tanyaku sambil melihat sketsa itu terus.
Memang benar-benar denganku, mungkin kalau aku pakai pakaian kerajaan jaman dulu pasti aku ini akan terlihat seperti Sekar.
"Eum, iya, Nay. Aku juga terkejut ketika pertama kita bertemu di kantin. Kamu mirip sekali dengannya," katanya.
"Kamu masih mencintai Sekar?" tanyaku mulai penasaran.
Rasanya hatiku bagai teriris sembilu.
"Dia bagian masa laluku, Nay."
"Itu bukan jawaban dari pertanyaanku, Ra! Kamu masih mencintai Sekar? Jawab!" Sergahku serius dengan menekankan tiap kalimat pertanda kemurkaanku.
Dia terlihat gusar, mungkin bingung menjawab. Wira menarik nafas panjang dan terdiam beberapa saat.
"Ya aku masih mencintai Sekar. Bahkan aku butuh waktu seratus tahun untuk melupakan dia." Wajah Wira mulai serius memandangiku. Sepertinya dia tahu pikiranku kalut. Aku sedih dan sakit hati mendengar penuturannya.
"Tapi sekarang aku hanya mencintai kamu, Nay. I love you so much." Wira meraih tanganku sambil mengecupnya lembut. Namun kutarik tanganku dengan kasar. Menolak perlakuan hangatnya. Mungkin jika ini masalah lain aku bisa melunak, tapi ini berbeda. Kutatap kedua bola matanya yang menatapku penuh harap. Mataku memburam. Genangan air mata tak mampu kubendung lagi.
"Nggak! Kamu bohong! Kamu nggak pernah cinta sama aku. Kamu hanya cinta Sekar. Kebetulan saja wajah kami sama. Jadi kamu seolah menemukan lagi Sekar dalam diriku. Iya, kan?!" raungku yang semakin tak terkendali. Aku mundur pelahan menjauhi Wira. "Iya, kan Wira?" Tanyaku mengulanginya sekali lagi dengan nada pelan. Kekecewaanku sudah membutakan segalanya.
"Tapi, Nay. Ini nggak seperti apa yang kamu kira. Aku..."
"Cukup! Aku udah tahu sekarang. Iya, kamu cinta sama aku karena aku mirip dengannya ! Bukan karena aku Nayla. Aku nggak mengira kamu bisa melakukan itu, Ra! Kamu tahu? Kalau aku beneran sayang sama kamu? Aku bahkan berusaha menerima keadaan kamu yang sangat nggak wajar ini. Nggak masalah, kamu hidup 100 tahun lebih dulu dari aku, nggak masalah kamu punya ilmu pancasona, yang jujur itu sangat mengerikan untukku. Aku nggak mempermasalahkan itu semua karena aku cinta kamu! Tapi kalau untuk yang satu ini... Maaf aku nggak bisa terima." Aku segera meraih sweater dan tas yang kuletakan di atas ranjang. Melihat aku akan segera pergi, Wira menahan tanganku. Namun kutepis kasar.
"Nay... Nay... Kamu mau ke mana? Jangan gini dong, Nay. Aku beneran sayang kamu, Nay. Please... Jangan pergi, Nay," bujuknya dengan terus mengikutiku.
Wira lantas berdiri menghadangku. "Nay... Jangan gini dong, Nay... Jangan kaya anak kecil! Kita bisa selesaikan baik-baik," ucapnya.
"Anak kecil? Yah, inilah aku! Seperti anak kecil. Kamu pikir aku nggak sakit hati, Ra?! Lagian ini udah selesai! Lebih baik kita putus!" Kuhempaskan tangan Wira. Berjalan keluar dari rumahnya. Sementara Wira terus mengejarku. Sampai di teras, dia kembali menarik tanganku.
"Aku mohon, Nay. Jangan gini. Kamu mau ke mana? Biar aku antar, ya ...." pintanya memelas. Bahkan dia sampai bersujud memohon agar aku tidak pergi.
Arya yang ada di sana hanya melihat kami heran. Tanpa ekspresi.
"Nggak perlu, Wira! Aku bisa sendiri, dan keputusanku udah bulat. Makasih buat semua perhatian kamu selama ini." Aku pergi meninggalkan nya yang masih dengan posisi sama. Menatapku dengan tubuh kaku di tempatnya bersujud.
Berkali-kali aku menghapus air mata yang terus saja terjatuh.
Aku terus berjalan entah akan ke mana. Rumah Wira memang jauh dari kota, dan sepertinya jarang sekali ada taksi yang lewat.
Dalam keadaan seperti ini, aku memang ingin sendiri. Jadi tidak masalah jika aku berjalan sampai kos.
Tin!
Sebuah mobil berhenti di sampingku. Otomatis aku menoleh ke mobil itu, ternyata itu Dewa!
"Nay? Ngapain?" Tanyanya setelah dia menurunkan kaca mobil.
"Jalan. Kamu nggak lihat?!" Jawabku ketus. Sambil terus melanjutkan berjalan tanpa menghiraukannya.
"Ya udah, bareng aja, yuk. Dari sini jauh lho kalau ke kota." Sarannya.
Benar juga sih.
"Nggak apa-apa nih?" Tanyaku yang akhirnya luluh. Logikaku mulai berjalan melawan sifat egoisku sendiri. Jarak dari daerah Wira ke kota itu sangat jauh jika harus berjalan kaki.
"Udah. Santai aja. Masuk." Dewa membuka pintu mobil samping kemudi dan mempersilakanku untuk masuk.
"Kamu dari mana, Nay?" tanya Dewa basa-basi.
"Nggak dari mana-mana." Rasanya aku malas berbicara dan membahas Wira untuk saat ini. Bahkan menyebutkan namanya saja membuatku sakit kepala.
"Ah iya, aku lupa. Ini kan daerah rumahnya Wira. Tapi kok, kamu pulang sendirian? Tumben. Kamu berantem sama Wira?"
"Iya. Udah, ya. Jangan bahas dia. Aku males!" Sahutku dengan terus melihat ke arah jendela.
"Oke. No problem."
Dewa kembali fokus menyetir. Selama beberapa menit kami diam. Dewa juga sepertinya tidak mau mengajakku berbicara lagi.
"Eh, kamu sendiri dari mana?" Tanyaku yang mulai membuka obrolan. Emosiku berangsur reda seiring berjalannya waktu.
"Aku ada urusan di sana," katanya dengan gerak gerik mencurigakan.
"Urusan apa?"
"Bukan urusan kamu." Dewa ikut menanggapi dengan nada tidak nyaman. Mungkin itu memang privasinya. Ya sudahlah. Akhirnya tidak ada lagi obrolan diantara kami.
Sampailah kami di kos ku.
"Ya udah, makasih ya, Wa," kataku sambil membuka pintu mobil sampingku.
"Oke." Dewa lalu menjalankan kembali mobilnya. Pergi menjauh dari kosku.
Sebelum masuk kos, aku menarik nafas dalam dalam. Rasa sesak karena kejadian tadi masih terasa hingga sekarang. Juga lelah karena terus menangis tadi.
Namun aku yakin, keputusanku itu benar. Bagaimana bisa Wira mencintaiku hanya karena aku mirip dengan Sekar?
Coba kalau wajahku nggak gini. Apa dia masih mau denganku?
Kenapa percintaanku selalu berakhir tragis?
Cinta pertamaku, meninggalkan aku. Lalu sekarang sudah dibunuh oleh pacarku, dan sekarang aku pun dibunuh oleh Wira. Dia membunuh perasaanku, dia membunuh kepercayaanku, dia membunuh cintaku.
Cinta ini benar-henar membunuhku!!
Aku berjalan gontai memasuki kos. Dari ujung ekor mataku, aku dapat menangkap keberadaan Wira di ujung jalan. Sepertinya dia terus mengikutiku dari tadi. Sosoknya sudah kuhafal. Cara dia berdiri. Cara dia duduk. Itu sudah terpatri diingatanku.
Namun aku tidak menanggapinya, aku malah menganggap tidak melihatnya.
Sampai di kamar, aku mengunci kamar. Berjalan ke dapur, menyalakan kompor untuk merebus air. Sepertinya teh hangat yang kubutuhkan saat ini.
Setelah teh sudah berwarna kecoklatan, dengan uap panas yang mengepul dari cangkir, aku berjalan ke balkon kamar. Mencoba mencari udara segar. Balkon adalah salah satu tempatku melepas penat. Saat jengah dengan rutinitas kampus dan segala tugas kampus yang menumpuk. Semoga kali ini juga mampu membuat moodku kembali lebih baik.
Di tempat yang sama, aku melihat Wira duduk di atas motornya. Ia terus memperhatikanku dari tempatnya berdiri. Karena muak, aku kembali masuk ke dalam kamar. Menutup pintu balkon dan menarik korden.
Saat melihat jam dinding aku begitu terkejut. "Astaga! Kan aku ada kuliah! Bego!"
Kembali aku memakai sweaterku dan meraih tas. Dengan langkah terburu-buru aku terus berjalan keluar dari kos. Wira yang melihatku lantas turun dari motornya dan menghampiriku yang berdiri di trotoar jalan, menunggu ojek atau angkutan lain.
"Nay, aku anter, ya, ke kampus. Nanti kamu telat lho," katanya lembut. Ia terus membujukku dan aku terus menolaknya.
"Nghak usah! Aku naik ojek aja!" kataku sinis.
Aku melambaikan tangan ke pangkalan ojek yang ada di dekat kos. Kebetulan Mang Asep baru sampai di pangkalan dan langsung melihatku yang memanggilnya. Mang Asep adalah tukang ojek langgananku sebelum Wira hadir dalam kehidupanku.
"Ojek, Neng?" tanya Mang Asep.
"Iya, Mang. Ke kampus ya. Cepetan." Tanpa memperdulikan Wira aku segera naik ke jok belakang motor tua Mang Asep. Sementara Mang Asep terlihat sungkan dan menatapku dan Wira bergantian.
Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai kampus.
"Lagi berantem, ya, Neng ?" tanya Mang Asep
"Nggak berantem lagi, Mang. Putus!!"
"Walah. Kok bisa, sih? Padahal mah Neng sama Si Aa kelihatan cocok banget. Si Aa juga keliatan sayang sekali sama Neng. Kasian atuh, Neng. Semua hubungan pasti ada masalah, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Terkadang masalah justru membuat hubungan makin awet. Terus biasanya nih, makin sering berantem, nanti kalau udah baikan bakal makin lengket. Coba atuh si Neng dipikirin lagi. Selesaikan dengan kepala dingin. Jangan emosi." Nasehat Mang Asep mampu membuat hatiku tergelitik. Ada benarnya juga semua perkataan Mang Asep. Hanya saja... Ah sudahlah! Aku masih kesal dengan Wira.
"Iya, mang. Terima kasih sarannya."
***
Kami sampai di kampus. Setelah membayar ongkos ojek, aku lalu berlari menuju kelasku. Padahal lima menit lagi kelas dimulai. Gawat kalau telat lagi. Bisa-bisa aku masuk daftar hitam.
Sampai kelas, semua teman sudah ada di dalam lalu heran melihatku.
"Tumben telat? Nggak sama Kak Wira?" tanya Reva sambil melihat keluar pintu. Karena tempat parkir motor terlihat dari kelas kami.
"Nggak. Eh, Va... Aku pinjem bukumu yang kemarin, ya," pintaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
Eka Awa
bagus ceritanya, semangat thor
2023-10-02
0
Endanks
kadang cewek kalo lg jutek nyebelin banget Thor 😘 author lanjutkan makasih ya
2021-12-15
1
Nanda
kak Ozi ceritanya seru loh..
2021-01-02
2