Sampai di rumah Wira, aku sempat tertegun. Rumahnya bagus sekali, sangat asri dan bergaya jaman dulu. Namun, dipoles sedikit modern.
Klasik.
Wira menggandeng tanganku. Kami terus berjalan masuk sampai ke dalam menuju ke ruang tengah.
"Mau minum apa?" tanya Wira sambil melepaskan jaketnya.
"Eum, apa aja asal dingin," pintaku masih memandangi sekeliling.
Dia lalu pergi ke dapur. Tak lama, kembali dengan dua gelas jus buah.
"Minum dulu, Nay," katanya.
"Iya, makasih." Kuteguk minuman itu hampir habis.
"Haus tah?" tanya Wira menatapku heran.
"Hah? Enggak. Kayaknya, gelasnya bocor deh," jawabku asal sambil memerhatikan gelas di tanganku.
"Bisa aja ngelesnya," kata Wira gemas, lalu tertawa.
"Hm … kak?" panggilku pelan setelah tawa Wira berhenti.
"Hm?" gumamnya sambil meneguk minuman di tangannya.
"Kok kamu selamat? Aku jelas-jelas lihat kamu ketabrak mobil tadi," kataku ragu, takut salah ngomong.
Dia diam beberapa saat, lalu melirikku dengan tatapan tajam.
"Kamu salah lihat, Nay. Aku tadi berhasil menghindar kok. Udah ah, jangan bahas itu. Jadi gak nih kita bimbingan?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Jadi, lah. Masa udah sampai sini nggak jadi. Mau ngapain coba kalau nggak jadi bimbingan?" tanyaku lalu membuka tasku.
"Ya, kali aja kamu pengen berduaan sama aku," katanya ngawur sambil tersenyum nakal.
"Ngarang deh," sahutku sambil kucubit lengannya keras.
Namun, kalimatnya mampu membuat pipiku merona merah.
"Kok pipi kamu merah? Kamu malu ya?" tanyanya lalu mendekatkan wajahnya hanya setengah jengkal di depan wajahku.
Hal ini justru membuatku makin salah tingkah dan alhasil pipiku semakin memerah.
"Tuh kan, kamu malu. Pipi kamu merah banget. Hayo … ngaku,"ledeknya
Aku hanya menunduk malu. "Toilet mana ya? Kebelet, nih," kataku lalu berdiri menghindari tatapan Wira.
"Dekat dapur, tuh," tunjuk Wira sambil tersenyum nakal.
Aku bergegas menuju toilet di dekat dapur rumahnya. Saat di dalam toilet, aku mengatur nafasku yg memburu. Aku melihat wajahku di cermin yang ada di dalam toilet, dan memang benar wajahku merona merah karena Wira tadi.
Aku tahu, bahwa aku jatuh cinta padanya. Aku sangat bahagia, karena bisa berada di dekatnya.
Kubasuh wajahku agar terlihat lebih segar lagi. Setelah memastikan semua sudah oke, aku keluar.
Saat pintu dibuka...
"Astaga, Kak Wira! Ngagetin aja! Ngapain berdiri di situ?" gerutuku.
Wira sedang berdiri di depan toilet sambil bersedekap, dan saat aku keluar dia menatapku dalam.
"Lah, kamu ngapain di dalam lama banget."
"Suka-suka aku, dong," jawabku santai.
Lalu, saat aku akan kembali ke ruang tengah dia menarik tanganku, sehingga aku kembali ke posisiku semula. Dia perlahan maju mendekat, membuatku mundur.
Mau apa dia?
Sampai mentok ke pintu toilet, dia makin mendekat. Lalu, aku berjongkok dan keluar darinya sebelum dia melakukan sesuatu lebih jauh.
"Wlee …," ejekku sambil berbalik menatapnya lalu berlari ke ruang tengah.
Dia menyunggingkan sudut bibirnya sambil menatapku yang sudah menjauh. Ah, disaat semua orang takut berada di dekat Wira, aku justru sebaliknya. Aku malah merasa nyaman dengannya. Aku lalu duduk di sofa panjang berwana hitam sambil membuka buku untuk bimbingan bersama Wira sore ini.
"Yuk, cepat bimbingannya. Entar keburu kemalaman. Aku pulang kost jam berapa coba? Rumah kamu ini kan di negeri antah berantah, jauh dari peradaban," kataku sambil membuka buku panduan milikku.
"Antah berantah?" tanyanya dengan dahi berkerut.
"Liat aja di sekitar rumah kamu. Gak ada rumah lagi kan? Eh, kamu gak takut tah, sendirian di rumah ini? Kalau ada perampok, gimana? Mau minta tolong siapa?" tanyaku.
Karena kuperhatikan, dia sendirian tinggal di rumah sebesar ini.
"Kalau ada perampok, bukan aku yang minta tolong. Justru perampok itu yang bakal minta tolong," katanya sombong.
"Hm, jangan takabur gitu ah," kataku sebal.
Kami lalu melanjutkan bimbingan. Cara mengajar Wira sungguh bagus. Aku dengan mudah mengerti semuanya.
Tap tap tap...
Terdengar langkah kaki seseorang yang masuk ke rumah ini. Karena rumahnya begitu hening, hingga suara sekecil apapun akan terdengar jelas.Wira diam sambil mendengarkan langkah kaki itu, lalu dia tersenyum. Sepertinya, dia tahu siapa yang datang.
Keluarlah seorang pria paruh baya. Dengan senyum menawan, dia menatap aku dan Wira bergantian.
"Hai, Hans," sapa Wira.
"Wah, ada tamu. Maaf kalau aku ganggu nih," kata pria itu.
Hans? Dia lebih tua dari Wira tapi Wira memanggil hanya namanya saja?
"Nggak kok. Dia mahasiswiku. Kami sedang bimbingan, soalnya dia kurang ngerti tadi," kata Wira.
Pria yang bernama Hans itu tersenyum penuh arti kepadaku.
"Aku cuma mampir. Aku pikir, kamu sedang santai. Karena sebelumnya, kamu tidak pernah menerima tamu. Apalagi perempuan," kata Hans dengan nada yang penuh makna.
"Eum, kalau aku ganggu aku permisi aja deh." Lalu, segera kubereskan buku milikku.
Saat aku berdiri, lagi-lagi Wira menahan tanganku dengan posisinya yang masih duduk.
"Kamu nunggu di atas aja. Nanti aku antar pulang," katanya lembut.
"Atas?" tanyaku heran sambil kupandang lantai dua rumah Wira ini.
"Iya, ke kamarku aja. Sekalian kamu istirahat dulu. Aku mau ngobrol sebentar sama Hans," kata Wira.
Aku menurut lalu pergi ke lantai atas menuju kamarnya. Dari jauh aku sudah bisa menebak, bahwa inilah kamar Wira. Karena, ada foto Wira yang terpampang cukup besar di sana. Kuamati kamar ini. Ada beberapa foto Wira dari tahun ke tahun. Aku agak heran, wajahnya tidak berubah sama sekali. Hanya model rambut dan cara berpakaiannya saja yang berbeda.
Dan yang lebih anehnya lagi, tidak ada orang lain di sana. Hanya foto Wira seorang.
Kemana orang tuanya? Adik atau kakak? Kakek dan Nenek? Ini anak yatim piatu apa gimana, sih?
Karena lamunanku ini membuatku berfikir keras terhadap kehidupan Wira, aku sampai tidak menyadari kalau Wira sudah berdiri di belakangku.
"Ehem …." Dia mengeluarkan suara batuk tertahan.
Aku segera menoleh, Wira sudah ada di sana dengan senyum simpulnya.
"Pak Hans udah pulang?" tanyaku basa basi.
"Udah." Dia menjawab, sambil berjalan ke arahku.
Aku kembali melihat foto dirinya di dinding.
"Hm, Kak?" panggilku.
"Hm ...."
"Orang tua kamu ke mana? Kamu nggak punya saudara?" tanyaku pelan saat melihat fotonya, lalu beralih melihatnya.
"Iya, aku nggak punya siapa-siapa. Aku sendirian," katanya pelan.
Wajahnya berubah. Dia nampak sedih mengatakan itu.
"Eum ... kalau boleh tahu, mereka ke mana? Masa kamu nggak punya keluarga satu pun?" tanyaku.
"Mereka meninggal karena ... kecelakaan. Semuanya," jelasnya.
"Om tante? Nggak punya juga kah?"
"Enggak ada," katanya datar lalu berjalan ke balkon kamarnya.
Astaga, dia benar-benar seorang diri? Tanpa satu pun sanak keluarga? Hidup macam apa itu?
Aku mengikutinya dan berdiri di sampingnya.
"Wah ... walau di negeri antah berantah, pemandangan dari atas sini bagus banget ya," kataku dengan wajah berbinar-binar melihat pemandangan di hadapanku. Terlihat kerlip-kerlip lampu di kota, karena letak rumahnya ini di dataran yang cukup tinggi.
Kurentangkan kedua tanganku, menahan sapuan angin yang berhembus pelan. Lalu kututup mataku, untuk merasakan angin ini. Wira tertawa. Kubuka mataku, lalu kulirik dia sekilas.
"Apa? Kenapa ketawa?" tanyaku.
"Kamu lucu ya. Benar-benar lucu," katanya sambil memencet hidungku seperti biasa.
"Ih, Kak Wira! Kebiasaan deh," kataku lalu memukul dadanya yang bidang berkali-kali.
Tanganku ditahan oleh Wira, lalu digenggamnya erat. Dia menatapku lekat-lekat dan berhenti tertawa.
"Kamu nggak takut dekat-dekat aku, Nay?" tanyanya sambil menatap manik mataku dalam.
"Takut? Kenapa harus takut? Justru, aku nyaman dekat kamu, Kak," jawabku apa adanya.
"Serius? Kok bisa gitu?"
"Harus pakai alesan ya?" tanyaku balik.
"Iyalah. Aku pengen tahu alasan kamu." Dia masih menggenggam tanganku dan tak pernah beralih memandang mataku walau sedetik juga.
"Entahlah. Nggak ada alasan apa-apa. Terkadang, apa yg dirasakan di hati itu nggak bisa dicari alasannya. Cuma bisa ngerasain nyaman dekat kamu, itu aja yang aku tahu," kataku serius.
"Kamu nggak tahu kalau banyak yang anggap aku aneh?"
"Tahu kok, banyak yang bilang gitu. Tapi, biar aja mereka mikir gitu. Kenapa harus pusing dengan pendapat orang? Memangnya, mereka yang bertanggung jawab sama hidup kita?"
"Thanks, Nay," katanya dengan senyum manisnya. Kemudian, dia mengecup punggung tanganku lembut.
Aku tersenyum. "Ah iya ... anterin aku pulang yuk. Dah malem nih," pintaku.
Dia menghembuskan nafas berat.
"Kenapa?" tanyaku lagi.
"Nginap di sini aja deh. Malam ini, temanin aku." Dia berucap dengan nada manja yang baru kali ini kudengar.
"Hah? Nemanin kamu? Maksudnya apa tuh? Jangan macem-macem ya, Kak!" kataku heboh lalu melepaskan tanganku darinya.
"Ya ampun, Nay. Segitunya deh. Maksudnya kan aku selalu sendirian di rumah. Sesekali, aku pengen ada yang nemanin di rumah. Kamu tidur di kamar tamu," katanya sedikit gemas.
"Oh …" kataku dengan senyum-senyum geli.
"Atau kamu mau tidur bareng aku juga boleh kok," godanya sambil merapatkan tubuhnya mendekatiku.
Aku mundur sambil menyilangkan badanku menjauhinya, lalu lari masuk ke dalam.
Dia menyeringai lalu kami terlibat kejar-kejaran.
"Awas ya, aku tangkap nanti kamu," ancamnya bermaksud meledekku.
"Coba aja kalau bisa! Wlek …" Aku meledeknya sambil terus menghindarinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
Eka Awa
seru jg, wira ini kek ahjussi kim shin si goblin ya kagak mati2
2023-10-02
0
Bandar cincau
ini authornya orang Banten ya, tepatnya Cilegon atau Serang gitu 🙏🤭
2023-02-25
1
Endanks
heeeeeewmmmm nyimak teruuuuuuuus wae lah 🤣
2021-12-15
1