Sampai di kostku, Wira ikut masuk.
"Eh, mau ngapain?" tanyaku menahannya yang mengikutiku.
"Masuk lah. Kenapa? Gak boleh?" tanyanya santai.
"Bukannya kamu mau pergi sama Kak Jen tadi?" tanyaku.
"Males, mending nemanin kamu di kost," jawabnya sambil ngeloyor masuk ke dalam dan langsung naik ke lantai atas.
Segera kubuka pintu dengan kunci yang kusimpan ditasku.
"Nay, cie. Kenalin dong," ledek Kinar, tetangga kostku.
"Hehe, nggak boleh. Nanti kamu naksir." Lalu, kutarik Wira masuk ke kostku dan langsung kututup pintu kamarku. Wira hanya senyum-senyum.
"Kenapa?" tanyaku sambil meletakkan tasku dan membuka sepatu.
"Kamu posesif juga, ya," ucapnya sambil menahan tawa.
"Posesif? Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Hm ... aku suka kalo kamu lagi cemburu sama aku ... bikin gemes," katanya sambil mencubit kedua pipiku.
Kubalas dia, kucubit perutnya bertubi-tubi. Dia tak mau kalah, dia menahan tanganku. Lalu, dia mengucapkan, "aku sayang kamu, Nay."
Aku lalu terdiam dan melepaskan tanganku. Lantas, segera pergi ke dapur miniku dan membuat dua cangkir kopi.
Aku berdiri menghadap ke jendela.
Sret …
Tiba-tiba, tangan Wira melingkar di pinggangku sampai ke perut.
"Aku sayang kamu, Nay," ucapnya lagi berbisik di telingaku.
Hatiku berdesir tak karuan, wajahku bahkan seluruh tubuhku terasa hangat.
"Nay," ucap wira.
"Hm ...."
"Mulai hari ini, aku bakal jagain kamu. Aku nggak akan biarin kamu terluka walau se-senti pun," katanya lagi.
Aku lalu berbalik agar dapat berhadapan dengannya.
"Kak." Dia lalu meletakan jari telunjuknya di bibirku.
"Kalau lagi berduaan gini, panggil aku Wira aja. Nggak usah pakai kak, ngerti?" katanya.
Aku pun mengangguk. Wira menaikan daguku, lalu mendekatkan wajahnya ke arah wajahku.
Cup …
Dia melumat bibirku lembut. Tidak ada nafsu dan emosi di sana, yang kurasakan justru kerinduan amat sangat.
Kring …
Ponselku berdering. Lalu, aku pergi mengambilnya yang tadi kuletakan di meja belajarku.
"Iya, Ran?"
"Kamu di mana, Nay?"
"Di kost nih. Kenapa?"
"Kamu sama Wira, ya?"
"Iya, kenapa sih?"
"Nggak apa-apa. Entar malam nginap rumahku ya, Nay. Aku sendirian di rumah, nih," rengeknya.
"Papahmu ke mana?" tanyaku sambil memperhatikan Wira yang sedang mengamati setiap detil kamarku.
"Ada urusan di luar kota. Baliknya besok malam. Bisa ya, Nay? Please," pintanya.
"Iya, nanti malam aku ke sana deh. Ya udah, sampai ketemu nanti ya, Ran. Bye." Lalu, telepon kumatikan.
"Kak ... eh, Wira. Nanti aku disuruh nginap di rumah Rani," kataku.
"Terus?" tanyanya sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Anterin," kataku manja.
"Iya sayang. Gak usah diminta juga bakal aku anterin," katanya lembut.
Kami lalu menonton film di kamar kostku. Aku bersandar di dada Wira, tangannya melingkar ke pinggangku. Sesekali, dia mengecup pucuk kepalaku dengan lembut sambil memainkan anak rambutku.
"Wira," panggilku.
"Hm, kenapa, sayang?" jawabnya masih fokus pada layar tv di hadapan kami.
Rasanya, jantung ini selalu berhenti jika Wira memanggilku sayang.
"Hubungan kita ini ... gimana?" tanyaku ragu.
Dia diam, lalu membalikkan tubuhku berhadapan dengannya.
"Maksud kamu?"
"Hm... Kita ini pacaran?" tanyaku masih ragu.
"Kamu maunya apa?"
"Kok 'kamu mau nya apa'?"
"Hm, dengar ya Nayla sayang. Aku sayang sama kamu, dan buat aku nggak perlu ada ucapan kita pacaran. Asal kamu tahu kalau aku sayang sama kamu dan aku tahu kamu sayang sama aku, bagiku itu udah lebih dari cukup. Tapi, kalau kamu mau kejelasan soal hubungan kita. Oke, gimana kalau kita resmiin aja. Kita hari ini pacaran, deal?" tanyanya sambil menunjukan jari kelingkingnya.
Lalu, kukaitan jari kelingkingku dan mengucapkan, "deal."
Kami lalu berpelukan.
"Aku sayang kamu, Nay."
"Aku juga sayang kamu, Wira."
Wira mendaratkan bibirnya di keningku.
"Oh iya, yuk anterin ke rumah Rani. Jangan sampai kemaleman, kasian dia nungguin," kataku.
Wira memutar bola matanya, pertanda kesal. "Ya udah, yuk," katanya pasrah.
Setelah berganti baju, kami lalu pergi ke rumah Rani naik motor Wira. Sampai di depan rumah Rani, kulihat dia sudah ada di teras. Mondar mandir, entah kenapa.
"Ran, kenapa?" tanyaku, lalu mendekat ke dia.
Rani lalu langsung memelukku erat. Wira yang awalnya mau langsung pulang, akhirnya turun dari motornya karena melihat rani menangis dipelukanku.
"Ada apa, Ran? Cerita sama aku," kataku lembut sambil kubelai punggungnya.
"Aku takut, Nay. Di dalam ... ada," katanya terbata-bata.
"Di dalam ada apa?" tanyaku penasaran.
"Ada hantu, Nay," ucapnya pelan.
Wira tanpa dikomando langsung masuk ke dalam. Kami pun akhirnya mengikutinya. Wira mengamati seluruh ruangan di rumah Rani dengan seksama. Lalu, dia berjalan ke halaman belakang rumah Rani.
Dia terdiam sambil menatap ke halaman belakang, lalu menunduk dan kembali menatap tajam ke arah yang sama. Agak lama dia diam, sampai akhirnya dia menghembuskan napas panjang. Lalu, menoleh ke arah kami yg berdiri di belakangnya.
"Udah nggak apa-apa," ucapnya.
"Yakin, Ra?" tanyaku.
Dia mengangguk pelan.
"Beneran, Kak Wira? Gak bakal muncul lagi, kan?" tanya Rani yang masih dilanda ketakutan.
"Yakin ... aku jamin," kata Wira.
"Syukur deh." Rani bernafas lebih tenang sekarang.
Kring …
Telepon rumah Rani berdering. Rani segera berlari menuju gagang telepon yang ada di ruang tengah.
Setelah Rani pergi, Wira meraih tanganku lalu menarikku mendekat.
"Kamu hati-hati, ya sayang? Kalau ada apa-apa, langsung telepon aku, oke?" pintanya.
"Iya sayang, pasti," ucapku.
Kali ini, aku sudah tidak sungkan lagi, karena hubunganku dengan Wira sudah jelas.
"Ya udah ... aku balik dulu," katanya sambil melihat jam tangannya.
"Kamu mau pulang?" tanyaku.
"Hm ... iya, kenapa?"
"Ah, gak apa-apa kok," kataku sambil menunduk.
"Kenapa? Kangen, ya? Belum aku tinggal udah kangen aja," guraunya sambil mencolek hidungku.
"Kamu bisa aja. Ya udah, hati-hati, ya. Nanti kabarin aku kalo udah sampai rumah, biar aku nggak kepikiran."
Dia senyum. Lalu, mengecup keningku lembut.
"I love you so much," ucapnya berbisik di telingaku.
"I love you so much, too," ucapku.
Lalu aku mengantarkan Wira sampai ke teras rumah Rani.
Setelah Wira pergi, aku dan Rani langsung naik ke kamar Rani yang ada di lantai atas.
"Nay, kalian udah jadian?" tanya Rani kepo.
"Hm, udah," kataku malu-malu.
"Kamu yakin, Nay?"
"Kenapa nggak yakin? Dia baik banget sama aku, selalu melindungi aku dan yang jelas aku nyaman ada di dekat dia, Ran."
"Hm. Ya udah, asal kamu bahagia, Nay. Aku ikut senang," kata Rani.
Lalu, dia memelukku erat.
"Selamat ya, semoga kalian langgeng," doa Rani.
"Amin," sahutku.
Tak terasa, malam sudah larut. Setelah menelepon Wira, aku mulai bersiap untuk tidur. Rani sudah terlelap dari tadi. Aku tersenyum jika melihatnya tidur, karena wajahnya lucu. Perlahan, aku pun mulai mengantuk. Dan dalam keadaan setengah sadar, aku merasakan ada seseorang yang menyelimutiku lalu mengecup keningku.
"Good night, sweetheart." Suara yang sangat familiar.
Sepertinya Wira, apakah aku terlalu merindukannya, sampai-sampai aku memimpikan Wira sekarang?
"Good night, my prince. Don't leave me," ucapku pelan.
"Never. I promise."
Lalu, aku makin masuk ke alam mimpi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 323 Episodes
Comments
Endanks
nyimak wae teruuuuuuuus ja author lanjutkan makasih 😜
2021-12-15
1
Hesty Septiana
pancasona,,, ilmu seperti apa itu...?! siapakah sosok wira sebenarnya...??!!!!!
2021-05-02
1
Clara Safitri
penasaran thor..wira itu manusia atau apa?
2021-02-07
1