Masih Flashback (POV Reza)
Setelah sampai di kota tujuan, Jakarta Selatan. Aku dan sepupuku langsung menuju ke apartemen yang kita sewa.
Karena kelelahan dan pusing banyak tugas, aku jadi lupa dengan perempuan bernama Riska itu. Di kota yang modern itu, aku bekerja di perusahaan ayahku yang bergerak di bidang properti.
Setiap harinya, aku bekerja sampai malam. Ya, aku sendiri yang meminta. Aku tak mau diistimewakan karena ingin memiliki pengalaman kerja yang sesungguhnya, Meskipun di perusahaan orangtuaku.
Tak terasa sudah berjalan setahun aku bekerja di situ, dan aku sudah naik pangkat. Senang sekali rasanya, hasil kerja keras ku selama ini terbayar.
Di suatu sore, tepatnya pada awal bulan Januari, aku pergi ke toko kue milik tanteku, Adik dari Papah. Toko kuenya memang tidak besar tapi, kue-kue nya enak banget. Kata Mama.
Karena penasaran, aku pun pergi sendiri ke sana. Iya, sendiri. Malas kalau rame-rame.
“Selamat datang di toko kue kami.” Kata si penjaga pintu toko dengan ramah. Aku meresponnya dengan anggukan.
Waaaah kue-kuenya terlihat bersinar di etalase. Mataku berbinar melihat satu kue kecil yang topping strawberry.
“Saya mau yang ini.” Kataku dengan mata yang tertuju pada kue kecil itu.
“Baik, ada lagi?”
Deg!
Tunggu! Kok mirip?! Sontak aku mengalihkan pandanganku dan ku lihat karyawan yang melayani ku. Mata coklatnya, senyumannya yang agak kaku dan wajah ovalnya.
Aku menatap wajahnya kemudian pindah ke name tag yang ada di dadanya.
Riska
“Ada lagi, Tuan?” Tanyanya yang membuyarkan lamunanku.
“Hhmm… a-ada kue… black forest?” ucapku sambil terbata-bata.
“Ada. Di sebelah sini.” Katanya. Lalu ia mengeluarkan kue black forest yang sudah terpotong-potong dari lemari pendingin di belakangnya.
“Sa-saya… mau dua.”
“Baik. Strawberry short cake dan dua kue black forest ya. Itu saja?”
“Ehm! Iya, itu aja.” Mataku terus menatapnya dengan perasaan campur aduk. Hatiku mengatakan bahwa ia adalah Riska yang selama ini ku cari. Namun… apakah benar? Aku takut salah orang.
Tapi… senyumannya yang khas, membuatku yakin kalau perempuan yang sedang melayaniku ini adalah Riska.
Tok tok!
“Maaf, Tuan. Totalnya 150.000.”
“Ah, iya.” Duh! Bodohnya…. Aku malah melamun sampai dia mengetuk kaca etalase. Aku pun membayarnya cash kemudian, menatapnya LAGI.
“Tutupnya jam berapa, ya?” Tanyaku
“Jam 9 malam, Tuan.” Jawabnya dengan nada yang datar. Aku melirik kanan-kiri. Aman!
“Kau Riska pelayan cafe itu, Kan?” Tanyaku sambil berbisik saat dia sedang merapihkan etalase. Perempuan itu mendelik tajam lalu meninggalkan ku begitu saja.
Aaah! Semakin yakin kalau dia adalah Riska. Aku tersenyum lebar kemudian pergi keluar.
“Jam 08:15… hhhmmm sebentar lagi.” Batinku saat berada di kamar apartemen.
Hatiku senang, akhirnya bisa bertemu dengannya. Entah kenapa, aku merasa bahagia. Belum pernah sebahagia ini rasanya.
“Memalukan! Sadar umur. Kau bukan anak remaja yang sedang jatuh cinta.” Gumamku.
Keesokan harinya disiang hari, aku berjalan-jalan menikmati lingkungan apartemen yang sepi… ya, aku sudah bosan dan jenuh dengan keramaian.
Dengan tersenyum, aku berjalan menuju taman yang tidak jauh dari tempat tinggalku.
Setelah sampai, aku pun duduk di bangku taman kemudian merenggangkan kedua tanganku.
“Pagi yang segar!” Gumamku seraya menatap matahari yang masih bersembunyi di balik awan. Aku pun menikmati udara pagi dengan mood yang baik.
Srak srak!
Terdengar suara orang menyapu. Awalnya, aku tidak memperdulikan karena, memang biasanya ada tukang sapu di taman itu.
“Maaf, Tuan. Anda menghalangi Kakek ini.” Tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan suara perempuan.
Aku pun menoleh ke arah sampingku. Dia lagi! Perempuan tanpa ekspresi itu. Terlihat kedua tangannya penuh dengan plastik belanjaan.
“Kakek ini ingin membersihkan tempat anda bersantai.” Ujarnya dengan nada yang datar dan terkesan galak.
“Kau Riska, kan? Pelayan cafe waktu itu.”
Perempuan itu melengos kemudian berjalan cepat menghindari ku. Tapi, tidak semudah itu! Aku yang badannya lebih besar darinya, mudah sekali menyeretnya.
“Apa yang kau inginkan?! Sudah saya katakan untuk menjauhi saya! Belum puas dengan–”
“Maaf. Aku menemui mu untuk meminta maaf. Percayalah!” Kataku memotong kata-katanya. Ia sama sekali tidak mau melihatku, bahkan untuk melirik aja enggan!
“Kita duduk-duduk dulu yuk. Aku ingin–”
“Maaf, Tuan. Saya lapar.” Dengan kasar, ia melepaskan cengkramanku kemudian berjalan cepat seperti orang yang ketakutan.
Tiba-tiba saja ide gila muncul. Ide gila yang akan merubah hidupnya(tanpa kusadari)
Aku diam-diam mengikutinya sampai rumah. Aku ingin tau dimana ia tinggal.
Klek!
Terdengar suara kunci yang diputar. Aku yang sedang bersembunyi di balik gerobak usang, mengintip dengan rasa khawatir. Khawatir ketahuan.
“Oooh dia tinggal disitu!” Batinku melihatnya membuka pintu rumah petakan bewarna hijau terang. Rumah-rumah yang saling berdempetan dengan warna-warna yang cerah mencolok.
Sambil mengingat-ingat kembali jalannya menuju apartemen, aku celingak-celinguk melihat sekeliling. Kampung di kota Jakarta memang berbeda yaaa. Agak bersih gitu.
Cekrek! Cekrek!
Aku mengambil foto rumahnya dan lingkungan sekitarnya supaya aku ingat dimana ia tinggal karena, jaraknya lumayan jauh dari apartemen.
Setelah mengetahui rumahnya, aku mendatanginya untuk meminta maaf.
“Pokoknya kau harus mendengar semuanya. Aku tidak mau masalah ini berlarut-larut.” Ucapku dalam hati sambil menatap pintu rumahnya.
Huuuuf! Helaan nafas yang berat keluar dari mulutku. Rasanya gugup dan takut.
Tok tok!
“Siapa?” Tanyanya dari dalam.
“Ri-Riska.” Dengan gugup aku menyebut namanya.
Brak!
Pintu terbuka dengan kasar secara tiba-tiba. Aku sampai mundur selangkah karena terkejut.
“Mau apa kau?!” Tanyanya dengan ketus dan tatapan yang tajam. Pakaiannya sangat sederhana, piyama polos berwarna ungu.
“Cantik.” gumamku.
“Eh, Neng Riska. Gak beli bubur? Masih anget nih!” Kata Abang tukang bubur ayam. Riska terlihat tidak nyaman, dari tatapannya ia menyuruhku untuk pergi.
“Ganteng amat pacarnya.” Celetuk si Abang.
“Buk–”
“Makasih, bang. Oh ya! Buburnya beli dua porsi yaaa. Yang lengkap.” Kataku sambil tersenyum.
“Apa-apaan kau! Pergi dari sini! Sudah cukup kau buat hidup saya makin hancur! Dasar cowok sok ganteng! Makan aja bubur itu sendiri! Ogah saya terima!” Kata Riska dengan suara yang pelan. Terlihat jelas dia sedang menahan amarahnya. Tapi, aku tidak peduli. Aku harus mengatakan kesalahan pahaman ini.
“Dengarkan aku dulu, aku memang salah. Tapi, aku bukannya–” .
“Mas, buburnya sudah siap.” Kata tukang bubur. Aku mengangguk pelan, lalu mengajak Riska makan tapi, ia langsung melengos masuk ke dalam rumahnya.
Brak!
Pintunya dibanting lalu dikuncinya.
“Mas lagi ada masalah yaa sama si Eneng?” Tanya abang tukang bubur.
“Hhhnmm.. yaa begitu deh.” Jawabanku sambil kebingungan.
“Saya sebenarnya kasian sama neng Riska. Udah bukan rahasia lagi, kalau si Eneng sering nangis sendiri di rumahnya. Merantau sendirian, gak ada keluarga yang bantuin. Banyak yang nawarin bantuan tapi, ditolak mulu. Alasannya karena gak mau repotin orang. Walaupun jutek, sebenarnya neng Riska tuh baik.”
Aku mendengar cerita dari si Abang sambil makan. Dengan tidak bersemangat, aku memakannya sampai habis.
Brak! Ceklek!
Terlihat Riska keluar dari rumahnya. Ia menggunakan jaket hitam dan topi abu-abu. Berjalan cepat setelah melirik ke arah ku.
Buru-buru ku bayar bubur yang ku beli tadi lalu mengejarnya.
“Duh, cepet banget jalannya.” Kataku sambil celingukan mencari kemana arah perginya.
“Hei.” Aku terkejut mendengar suaranya yang tepat berada di belakangku. Aku pun segera membalikkan badanku. Aku penasaran dengan ekspresinya saat ini tapi, terhalang oleh topinya.
“Ikut saya.” Katanya sambil berjalan cepat meninggalkanku.
“Hey, tak perlu terburu-buru. Ini kan masih–”
“Tuan kaya, status kita berbeda! Anda adalah Boss dan saya hanyalah karyawan. Tak ada libur bagi saya. Lagi pula… kalau libur, mau ngapain pula.”
“Oh… maaf.” Baru kali ini aku ciut nyali dihadapan seorang perempuan biasa. Aku berjalan tepat dibelakangnya sambil menoleh kanan-kiri. Hhmmm mau kemana dia ingin membawaku?
Setelah sampai, aku memperhatikan tempat yang ia masuki. Sebuah rumah makan sederhana yang cukup ramai.
“Tempat ini tidak akan membuat anda merinding, kan?” tanyanya saat kita berdua sudah duduk di meja dekat jendela.
“Maksudnya?”
“Anda kan orang kaya dan terbiasa makan di tempat yang mewah dan kinclong.” Jawabnya ketus sambil membuka jaket dan topinya.
Rambutnya bergelombang indah, hitam legam dan sepertinya terurus dengan baik. Setelah diperhatikan lagi, perempuan ini cantik. Hanya saja… jutek.
“Selamat menikmati..” kata pelayan yang mengantar makanan pesanannya.
Ayam serundeng, sambal goreng, lalapan dan nasi hangat yang menggunung.
Gluk! Hidangan yang sederhana namun, menggugah selera. Perutku meronta, minta diisi Lagi.
Nih!
Sepiring nasi di berikan depan mataku.
“Makanlah! Kalau–”
“Ah, terimakasih! Tau aja aku lapar LAGI.” tanpa berpikir dua kali, aku menerimanya kemudian mengambil ayam serundeng yang ternyata ia memesan tiga potong dan sedikit sambal.
hehehe. Riska terkekeh melihat kelakuanku. Baru kali ini aku melihat bibirnya terangkat. Senyumannya membuatku dag Dig dug.
“Orang kaya yang aneh.” Gumamnya. Kita pun makan dengan lahap. Sesekali aku melirik ke arahnya. Cara makannya memang tidak seperti perempuan pada umumnya, anggun. Ia menyuap makanan sampai mulutnya penuh. Kemudian mengunyahnya sambil tersenyum.
Unik!
“Kamu suka makan ya?”
“Ya suka lah! Kalau gak makan, mati!” Sahutnya ketus sambil menikmati sambal goreng yang hampir habis.
Setelah memenuhi perut yang kosong, aku pun segera memulai omongan.
“Maafkan aku yang telah mengganggu hidupmu. Sungguh! Awalnya, aku hanya ingin berterimakasih padamu karena telah menolongku malam itu. Lalu… saat melihatmu bekerja di cafe itu, aku malah dibuat penasaran tentang dirimu. Karena sulit untuk berbicara langsung, aku akhirnya diam-diam mengikutimu sampai rumah. Berhari-hari aku melakukannya karena–”
“Pernahkah SEKALI saja kau memikirkan dampak buruknya dari perbuatanmu?”
Matanya menatapku tajam. Aku tertunduk, merasa bersalah. “Maaf.” Ucapku lirih sambil meremas tanganku.
“Para pelayan di cafe menggosipkan saya. Mengatakan bahwa saya yang menggoda anda, mencari muka, sengaja berdandan supaya anda jatuh cinta pada saya, dan lainnya. Saya bekerja di situ untuk menghidupi hidup saya. Supaya saya memiliki penghasilan sendiri hasil keringat sendiri! Lagi pula, saya juga sadar akan status saya yang–”
“Jangan bawa-bawa status sosial! Kamu itu spesial, Riska. Jangan merendahkan diri hanya karena–”
“Saya hanya mengatakan yang sebenarnya. Itu benar, kan? Kelas kita berbeda. Kau bos, bisa libur kapan saja. Saya, karyawan. Harus bekerja lebih keras di hari libur. Tidak bisa libur semau saya. Akui saja, Tuan.”
“Namaku Reza, Riska.”
“Tak peduli soal nama anda. Pokoknya, saya minta tolong pada anda untuk tidak menggangu hidup saya. Saya hanya ingin hidup tentram tanpa gangguan dari siapapun. Saya sudah membuat orang tua saya kecewa dan kali ini, saya tidak akan mengulanginya lagi!”
“Aku cuma mau berteman dengan mu, Riska.”
“Yasudah! Berperilaku lah seperti biasa!”
“Eh? Kalau aku mau berteman denganmu, kamu mau?”
“Ya.”
☘️☘️☘️☘️☘️
Setelah percakapan yang cukup menegangkan di rumah makan, aku dan Riska berteman baik. Meskipun begitu, ia tetap memasang pembatas Kokoh mungkin trauma. Ah yasudah lah, yang penting dia tidak menolak ku.
Makan siang bersama dan bersepeda bersama di pagi hari adalah kegiatan rutin yang kita lakukan namun… semuanya itu harus terhenti karena aku kembali sibuk dengan tumpukan kertas yang menyebalkan!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments