Hari kedua dirawat di rumah sakit, Adam meminta Selenia supaya kembali ke sekolah. Dia tidak mau istrinya itu ketinggalan banyak mata pelajaran hanya karena menunggu dirinya di rumah sakit. Lagipula keadaannya sudah jauh lebih baik daripada kemarin. Selenia pun mengiyakan meski dengan setengah hati.
Semalam Selenia menginap di rumah sakit saat Bu Lisa dan Pak Edwin memutuskan untuk pulang ke rumah mereka. Adam sebenarnya juga menyuruh istrinya itu supaya ikut pulang bareng orang tuanya, tapi Selenia menolak. Dia khawatir kalau Adam hanya sendiri di rumah sakit. Meskipun ada dokter dan suster yang siap siaga 24 jam, tapi kan nggak etis kalau dia nekat pulang. Nggak enak sama mertuanya. Masa iya sih suami lagi dirawat, dia malah tidur di rumah. Jadi untuk mengantisipasi supaya nggak telat ke sekolah, Selenia pulang menjelang subuh--bersamaan dengan datangnya salah satu suster ke kamar rawat guna mengecek kondisi Adam.
Dia baru ingat banyak sekali materi pelajaran yang belum disiapkan setelah kemarin absen.
Bu Lisa sedang ngobrol ringan di belakang dengan Bi Iyah saat Selenia muncul dari lantai atas. Dia sudah rapih dengan balutan seragam sekolahnya. Meskipun sebenarnya masih ngantuk, Selenia berusaha untuk tetap terlihat fresh di depan ibu mertuanya.
"Kamu yakin mau pergi ke sekolah, Nak?" tanya Bu Lisa.
Selenia tersenyum kecil. "Iya Ma. Tadi Mas Adam minta supaya aku pergi ke sekolah," jawabnya ragu.
Bu Lisa tersenyum. Dia tahu menantunya itu sedang merasa tidak enak hati padanya karena meninggalkan Adam di rumah sakit sendirian.
"Iya nggak pa-pa. Nanti biar Papa sama Mama yang temenin Adam di rumah sakit."
"Aku berangkat dulu ya Ma," pamit Selenia seraya mencium tangan Ibu mertuanya. "Assalamualaikum..."
"Wa'alaikumussalam," jawab Bi Iyah dan Bu Lisa bersamaan.
Kedua orang tua berbeda usia itu menatap kepergian Selenia sampai anak itu menghilang di balik pintu. Ketika deru mesin mobil yang mengantar Selenia sudah menjauh dan tidak terdengar lagi, Bu Lisa menghela napas panjang. Dia kemudian duduk di kursi dan membenamkan wajahnya di atas meja makan.
"Ibu baik-baik saja kan?" tanya Bi Iyah khawatir.
Bu Lisa mendongak. "Sini duduk Bik. Ada yang mau saya tanyakan," dia menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
Bi Iyah menuruti perintah Bu Lisa dan duduk di sampingnya. Dalam beberapa menit mereka berdua duduk dan terdiam dalam keheningan suasana pagi.
"Selama saya dan Bapak tidak pernah datang kesini, apa hubungan mereka berdua semakin baik Bik?" tanya Bu Lisa lirih. Nadanya terdengar mengintrogasi.
Bi Iyah terdiam. Tidak tega rasanya untuk menjawab sesuai fakta, kalau selama ini mereka berdua tidak lebih seperti orang asing. Baru akhir-akhir ini saja Selenia terlihat peduli pada Adam--karena anak itu sedang sakit.
"E... anu bu..." Bi Iyah terbata.
"Apa mereka pernah mengobrol? Makan malam bareng? Atau Adam pernah nganter Selenia ke sekolah?"
Bi Iyah menggeleng pelan.
"Bibik yakin?" raut wajah Bu Lisa menunjukkan kekecewaan mendengar jawaban itu.
"Pak Adam selalu pergi ke kantor lebih awal Bu. Soalnya jadwal berangkat mereka kan berbeda. Pak Adam selalu berangkat satu jam lebih awal dari Non Selenia. Beliau juga selalu pulang malam, dan saat itu Non Selenia sudah tidur."
Bu Lisa kembali menghela napas panjang. Sampai kapan anak-anak itu akan bersikap seperti ini?
"Tapi kemarin di hari ulang tahun Non Selenia, Pak Adam memberi kejutan kue ulang tahun dan kado bu," Bi Iyah menambahkan.
"Oh iya! Astaga!" Bu Lisa menepuk jidatnya sendiri. Dia tahu Selenia ulang tahun karena malam itu dia juga sudah mengirimkan pesan ucapan selamat ulang tahun pada menantunya itu. Bu Lisa bahkan sudah menyiapkan sesuatu untuk menantunya di rumah. Namun keadaan gugup saat mendengar kabar kalau Adam masuk rumah sakit, membuatnya melupakan hadiah itu untuk dibawa kemari.
"Terus?? Apa yang terjadi Bik?" tanya Bu Lisa antusias.
Bi Iyah menggeleng.
"Mereka nggak potong kue bareng?" antusiasme Bu Lisa berubah layu.
Bi Iyah menggeleng lagi.
"Kado yang dari Adam udah dibuka?" tanyanya tidak yakin.
"Saya tidak tahu bu. Waktu itu Pak Adam menitipkan kadonya ke saya, trus pas saya kasih ke Non Selenia, dia nggak langsung buka karena buru-buru mau berangkat ke sekolah. Kadonya langsung disimpan di kamar. Mungkin kalau sekarang sih sudah di..."
Bu Lisa beranjak meninggalkan Bi Iyah yang belum selesai bicara. Dia berjalan terburu-buru ke kamar Selenia. Saat berpapasan dengan Pak Edwin yang saat itu baru turun dari lantai dua, dia tidak begitu memperhatikan dan terus berjalan ke kamar Selenia.
"Ma? Mama mau ke mana?" tanya Pak Edwin heran.
Melihat Bu Lisa yang tidak memperhatikan dirinya, Pak Edwin langsung berbalik arah dan mengekori istrinya.
Bu Lisa harus kembali menelan kekecewaan saat membuka kamar Selenia dan mendapati kado dari Adam masih terbungkus rapi di atas meja rias.
"Mama ngapain ke kamar Selenia?" tanya Pak Edwin bingung.
"Pa... harus sampai kapan anak-anak kita seperti ini?" rengek Bu Lisa. Matanya mulai berkaca-kaca. "Kenapa ya, Selenia kok kaya nggak bisa nerima Adam? Dia sama sekali nggak peduli sama Adam, pa."
"Ma, udah cukup. Ayo kita turun, Papa pengen ngomong sama Mama," perlahan dia menutup pintu kamar Selenia dan membimbing istrinya itu ke lantai bawah.
"Bukannya dari awal Mama sudah tahu apa konsekuensi yang harus kita terima dari pernikahan mereka?" tanya Pak Edwin pelan ketika mereka sudah berada di ruang tengah.
Bu Lisa melirik suaminya menggunakan ekor matanya sembari mendesah pelan. "Anda saja.... Kalila masih hidup,"
"Ma!" sahut Pak Edwin cepat. "Kamu ini ngomong apa sih? Nggak baik ah!"
"Mama kasihan pa sama Adam."
"Mereka berdua kasihan Ma. Bukan hanya Adam. Lagipula bukannya ide menjodohkan mereka berdua memang rencana kalian dari dulu? Sekarang kenapa Mama malah bersikap seperti ini?"
"Iya, tapi bukan dengan cara seperti ini, pa. Tadinya Mama maunya mereka menikah di saat yang sudah tepat. Saat mereka udah bener-bener siap."
"Jadi? Maksud Mama, Mama mau menyalahkan Kalila? Sahabat Mama sendiri? Mama mau menyalahkan Tuhan juga kenapa bikin Kalila meninggal hingga akhirnya pernikahan itu terjadi?"
Bu Lisa mendengus lirih.
"Mama sayang nggak sih sama Selenia?"
"Kok Papa malah nanya gitu sih? Ya jelas sayang lah!" gerutu Bu Lisa.
"Kalau begitu coba Mama mikir, kalau saat itu Mama ada di posisi Kalila. Mama pengen banget melihat anak semata wayang Mama menikah, tapi Mama tahu Mama tidak bisa menunggu lama karena Mama sakit. Mereka itu anak-anak yang baik Ma. Mereka tetap menuruti permintaan orang tuanya meskipun..... meskipun mereka tahu itu berat. Papa tahu ini juga bukan keinginan Adam dan Selenia, tapi mereka tetap melakukan itu karena menghormati orang tuanya, terutama kalian para Ibunya," tutur Pak Edwin panjang lebar.
Bu Lisa menunduk Apa yang dikatakan suaminya benar. Seketika menyesal telah bersikap demikian.
"Ayolah Ma, jangan terlalu banyak menuntut. Jangan sampai sikap Mama yang seperti ini malah membuat hubungan mereka jadi semakin buruk. Bagaimanapun juga Selenia itu masih anak sekolah. Dia belum bisa kalau harus menjadi istri seutuhnya dan Mama tahu itu dari awal kan? Dia pasti tidak mau menyia-nyiakan masa depannya. Mama saja yang sudah berumur masih pengen kan ngejar impian ke New York?" sambung Pak Edwin panjang lebar.
"Sebagai orang tua, kita hanya perlu mengontrol dan membimbing mereka. Papa percaya semua akan baik-baik saja... Papa yakin suatu hari nanti hubungan mereka akan jauh lebih baik dari sekarang."
Dia melihat suaminya dengan tatapan sayu. Pak Edwin yang tidak mau melihat istrinya itu terus bersedih langsung mendekap dan memeluk tubuh istrinya erat. Bagaimanapun dia juga tidak bisa menyalahkan perasaan istrinya. Dia pun berharap, hubungan Adam dan Selenia bisa berubah jauh lebih baik suatu hari nanti.
Semoga.
...🌹🌹🌹...
...To be continued 👋🏻...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 143 Episodes
Comments
ARSY ALFAZZA
like + rate bintang ⭐⭐⭐⭐⭐😇 saling mendukung ya Thor 👌
2021-02-22
3
lalalalalalal
Semoga ya, benih kepedulian akan tumbuh menjadi perasaan cinta.. Adam & Selenia semangatttt
2020-09-20
2
Nissa sakhi.
semangat ya,
2020-08-17
1