Langit biru berubah mendung disertai rintik-rintik hujan membasahi bumi beserta isinya.
Seorang perempuan kini berdiri di sebuah jendela kamar asyik dengan lamunannya. Sore ini ia baru saja selesai nutritasnya membantu Bu Aidah menyiapkan makanan untuk para santri. Perempuan itu dengan perut yang sudah mulai nampak mengelus dengan lembut.
" Aku pasti bisa membesarkan anak ini tanpanya, " gumamnya sambil menatap santri-santri yang lalu lalang.
Ada rasa bahagia terpatri di wajah berada di lingkungan tersebut. Banyak hal yang bisa dipetik. Setiap saat Bu Aidah selalu mengingatkan dirinya untuk lebih dekat pada Maha Pencipta. Ia pun bertekad mengubah dirinya dengan memakai gaun syar'i atas saran Bu Aida. Awalnya memang merasa risih dan tidak nyaman, setelah beberapa hari mengenakan gaun syar'i akhirnya terbiasa dan merasa nyaman membuat tubuh itu ketagihan untuk memakainya.
" Lagi mikirin apa , Syah?
Bu Aidah masuk ke kamar Aisyah yang masih berdiri melamun.
Aisyah menoleh dan terlihat kikuk menatap Bu Aidah. Tangannya dengan spontan berhenti mengelus perutnya. Bu Aidah melihat semua itu dengan cepat ia memberikan senyum teduh padanya.
" Sudah berapa bulan, Nak?
Pertanyaan itu sontak membuat Aisyah kaget dan menatap kembali wanita paruh di depannya.
" Ma- maksud ibu? "tanyanya dengan suara tersendat.
" Ibu baru mengerti hari ini, kepergianmu meninggalkan rumah karena sesuatu yang disembunyikan.
Bu Aidah menjeda kalimatnya kemudian menatap lekat-lekat wajah perempuan cantik di depannya terlihat menunduk.
" Jangan lari dari sebuah kenyataan, Nak! Anak dalam kandunganmu tentu bukanlah sebuah alasan dengan kepergianmu. Jangan pernah menganggap bahwa anak ini membuatmu kesulitan. Allah telah percaya dan menitipkan anak manusia yang tak berdosa di rahimmu.
Aisyah tiba-tiba berlutut memeluk pinggang Bu Aidah. Tangisnya kini pecah tak tahan lagi. Isakan demi isakan tangisnya hingga wanita paruh itu ikut menitikkan air mata.
" Jangan lemah seperti ini, Nak! Cobalah melihat di luar sana, kamu harus bisa menata hidupmu kembali tanpa bergantung pada siapa pun. Jangan menoleh ke belakang! Hal itu akan mengingatkan kepahitanmu di masa lalu.
" nasehat Bu Aidah.
" Aku m3ng4ndvng tanpa seorang ayah, Bu. Orang- orang akan mencebir semua keluargaku jika tahu kondisiku sebenarnya." lirihnya masih memeluk lutut Bu Aidah.
" Bangunlah!"
Bu Aidah menuntun Aisyah berdiri kembali dan membantunya duduk di kasur sederhana.
" Jangan berkata seperti, Nak! Tetap Istiqomah dan selalu berada di jalan Maha Kuasa. Jangan melupakan dia yang sebagai pencipta!
Sesuatu yang sulit pasti ada solusinya, meski itu butuh proses.
" Aisyah sudah menghancurkan impian wanita yang setia merawatku hingga dewasa, apa yang harus kulakukan untuk menebus dosa ini, Bu?
Aisyah dengan isakan tangisnya masih bersimpuh di depan ibu Aidah dengan rasa penyesalan.
" Semuanya sudah terjadi, Nak. Tidak perlu disesalkan lagi. " ucap Bu Aidah membawa Aisyah dalam dekapannya.
Aisyah membalas rangkulan itu dengan kuat-kuat, bertemu dengan Bu Aidah di masa terpuruknya merupakan hal ajaib menurutnya. Maha Pencipta masih melindunginya dari 4ib yang akan menghancurkannya.
" Masuk ke kamar mandi bersihkan dirimu lalu kita makan bersama!" ajak Bu Aidah, tak lupa tangannya menghapus jejak air mata wanita cantik itu.
Aisyah menurut, perempuan itu masuk ke kamar mandi setelah wanita paruh keluar.
Bu Aidah sedang menyiapkan makanan di dapur sambil menunggu kedatangan Aisyah. Di benaknya tengah memikirkan sesuatu, ingin menanyakannya namu tidak pada Aisyah.
" Assalamualaikum..,"kini Kiyai Dahlan baru datang dari pengajian.
Waalaikumsalam.., " jawab istrinya dengan senyum teduhnya.
" Mari makan, Abah. Makanan sudah siap." ucapnya ramah pada suami.
Kiyai Dahlan duduk dengan tenang di depan hidangan. Matanya kini mengelilingi ruangan seolah mencari seseorang.
" Di mana Aisyah?" tanyanya.
Saat pertama kali diperkenalkan dengan Aisyah oleh istrinya, entah kenapa Kiyai melihat anak itu tengah menyimpan sebuah luka. Sorot mata teduhnya menyiratkat tengah menyimpan sesuatu yang dipendam.
" Tidak lama lagi Aisyah turun, Abah.
Kiyai mengangguk-angguk dan baru ingin menanyakan sesuatu pada istrinya, Aisyah sudah nampak di tangga hingga mengurungkan niatnya.
Aisyah dengan sopan meraih tangan kiyai dan wanita paruh tersebut. Kedua pasutri itu sudah menganggap Aisyah sebagai putrinya.
Aisyah menarik kursi duduk di depan mereka, rasa bersyukur dalam dirinya berada dalam naungan seorang Kiyai.
" Makan ya, Nak! Jangan sungkan, anggaplah rumah sendiri. " ucap Kiyai.
Dada Aisyah menghangat melihat pak Kiyai dan istrinya. Andaikan waktu itu ia tidak bertemu dengan Bu Aidah, entah kemana dirinya akan pergi.
Hening, hanya ada suara sendok makan yang menari-nari di atas piring. Seperti itulah adab makan di rumah pak Kiyai.
" Boleh Aisyah ikutan ngaji sama anak-anak santri sini, Abah?" tanyanya setelah mereka selesai makan.
Pak kiyai tersenyum lebar mendengar ucapan Aisyah.
" Tentu saja, Nak. Kami sangat senang mendengarnya." jawabnya cepat.
" Malam ini setelah usai sholat Maghrib kamu ikut sama umi ya." ucap Bu Aidah.
" Iya Bu," jawabnya menampakkan kebinaran di wajah.
Aisyah ingin belajar sedikit demi sedikit untuk memperbaiki diri.
***
Lain halnya di tempat lain seorang pria tengah asyik bercengkrama dengan kekasihnya Zahra yang ada di Jakarta. Yah, Zahra melanjutkan kuliah di Jakarta mengambil jurusan," desainer. Sedangkan dua bulan yang lalu Aryan telah berjanji pada sang kekasih akan sebuah pertunangan. Sebelum berangkat ke Australia, ia berjanji akan menikah dengan Zahra setelah menyelesaikan studi. Abraham tidak setuju Aryan bertunangan dengan Zahra dengan alasan mereka masih kecil dan belum pantas saling mengikat satu sama lain. Ucapan ayahnya tersebut masuk akal untuk Aryan, hanya saja hal tersebut tidak mudah diterima oleh Zahra. Sedangkan bibi Marni mencurigai sesuatu hal yang terjadi apa dirinya dengan Aisyah sahabatnya. Setiap hari Aryan selalu menghindar dan tidak berani menatap ibu Aisyah. Hingga pria tersebut memutuskan ke Jerman dengan secepat mungkin. Rasa bersalah itu sudah pasti di benak Aryan, namun tidak berani mengakui kesalahan karena tidak ingin bertanggung jawab atas kejadian malam itu.
" Sekali-kali aku akan menjenguk-mu ya, Sayang. " ujar Zahra terdengar manja di telinga Aryan.
" Tentu saja, Sayang. Tapi jangan sekarang yah, aku sangat sibuk." alasan Aryan sulit dipercaya oleh Zahra.
Helaaan nafas terdengar berat di telinga kekasihnya.
" Kenapa begitu? Jangan cari alasan, aku ingin ke sana Minggu depan. Aku sangat rindu, Yan. ketusnya.
Pria tersebut menggaruk kepala yang tidak gatal berusaha mencari alasan yang tepat agar Zahra percaya. Semenjak kepergian Aisyah di rumah membuat ayahnya uring-uringan. Entah apa yang membuatnya sedekat rupa. Bram mengatakan pada semua orang bahwa Aisyah tidak tidak di rumah nenek hingga menimbulkan kekhawatiran pada pria paruh itu. Dalam hal ini Bram sering menyalahkan putranya dan Aryan tidak bisa terima atas tuduhan yang tak berdasar itu.
Terkadang Aryan kesal jika Aisyah saat mendapati sorotan dari Abraham hingga membuat mereka beradu mulut dan tidak ada yang ingin kalah.
" Lagi mikirin apa sih, Sayang? Aku bicara sejak tadi tapi kamu cuma diam." ketus Zahrah
" Maaf, Yang. Aku lelah dan ingin istirahat. Aku matikan telepon ya." bujuknya.
Tanpa diminta Zahra sendiri mematikan telepon dengan perasaan kesal.
" Aryan sering sekali mengabaikanku, tapi kenapa? Kita sudah berjanji bertunangan sebelum ia ke Australia. Tapi sampai hari ini kita masih belum ada ikatan apa pun. Aryan tidak memberitahu alasan yang jelas padaku." gumamnya.
Tangan itu melempar ponsel ke sembarang arah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Reni Ajja Dech
tadi kuliah London,tiba-tiba jadi Jerman eh sekarang Australia.Mana yg benar thor.apa aku yg salah nyimak ya.
2025-01-07
0
AXYs
Autealia…
Mana yg bner siy thor?
2024-10-28
0
AXYs
London … Australia…. Lalu Jerman
Waaahhh … 😂😂👍🏼
2024-10-28
0