" Aku ingin bertunangan dengan Zahra, Mah. Dia akan meninggalkanku jika kami tidak jadi bertunangan," ucap Aryan m3mberont4k di depan orang tuanya.
Bram mendelik kesal pada putranya yang semakin keras kepala.
" Kamu tidak akan pernah bertunangan atau menikah jika belum menyelesaikan studimu," tegas Bram.
Aryan tidak bisa lagi membantah ucapan ayahnya," apa yang harus kukatakan pada Zahra? " ucapnya dalam hati.
Malam sudah larut. Aryan berdiam diri depan jendela menatap langit-langit dengan pancaran ribuan bintang. Pikirannya kacau dengan membawa sejuta rasa bersalah. Aisyah pergi karena sebuah kesalahan yang mereka lakukan. Sedangkn Zahra tidak lama lagi akan meninggalkan dirinya karena tidak bisa menepati janji.
" Aku harus apa ?" lirihnya.
Tangan kekar itu menggusar rambutnya dengan kasar. Jika dulu ia mendapat sebuah masalah, ada Aisyah sahabatnya menenangkan dirinya. Sangat berbeda dengan hari ini, ke mana ia menceritakan kegundahan hatinya.
Menikmati angin malam yang bertiup sepoi-sepoi, hal itu mengingatkan dirinya dengan Aisyah.
" Kenapa aku tiba-tiba merindukanmu?" lirihnya.
Tangan itu mencoba mencari kontak seseorang, namun ada keraguan dalam dirinya. Sejenak ia berpikir untuk menekan tombol tersebut.
" Ada apa dengan diriku?" gumamnya.
Matanya kini masih menatap ponsel dengan nomor yang ada di kontaknya.
" Apa suatu saat nanti kamu memaafkan aku, Aisyah?" tiba-tiba rasa takut dan bersalah terbit dalam hati.
Sejenak ia memejamkan mata lalu menikmati angin yang semakin kencang menerpa wajah tampannya.
Suara telepon berdering dan Aryan terhenyak sejenak menatap siapa yang meneleponnya malam-malam begini.
" Kami belum tidur, Sayang!" ucap Aryan tanpa basa-basi.
Ia tahu bahwa sang kekasih sangatlah marah padanya karena kejadian siang tadi, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Helaan nafas darinya menandakan seperti putus asa asah.
" Tidak usah basa-basi, Yan! Aku tahu kamu tidak memiliki keinginan yang kuat untuk memilihkiku seutuhnya." teriak Zahra di seberang.
" Jangan salah paham, sayang. Saat ini aku berusaha membujuk orang tuaku agar kita bertunangan sebelum aku melanjutkan studiku." ucap Aryan.
Dia berusaha membujuk sang kekasih agar tidak salah dengannya dan mengerti apa yang dialami selama ini. Sayang sekali, Zahra tidak seperti Aisyah dan tidak selembut dengan wanita itu.
" Kita akhiri saja hubungan ini jika kamu tidak berhasil meyakinkan orang tuamu." ucap Zahra semakin naik pitam di balik gawainya.
Aryan mengepalkan tangan mendengar penuturan kekasihnya. Zahra selalu saja mengatakan putus jika dirinya dalam kemarahan. Wajah pria tersebut berubah menjadi merah padam menahan rasa sakitnya dalam dada.
" Hanya persoalan sepele kamu ingin mengakhiri hubungan ini, kamu seharusnya bersikap dewasa seperti Aisyah." ucapnya.
Sedangkan Zahra bergetar hebat menahan kecemburuannya yang bergemuruh di dada. Dengan terang-terangan Aryan memuji perempuan desa itu. Seolah dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan Aisyah.
" Aisyah.. Aisyah lagi. Hanya perempuan desa itu yang ada di benakmu. Dia adalah orang yang pertama bahagia ketika melihat hubungan kita hancur. " ucap Zahra tanpa berprasaan.
" Aisyah sudah seperti saudaraku sendiri, lantas kenapa kamu selalu menyalahkan Aisyah?" teriak Aryan seolah tidak terima dengan tuduhan tadi.
Hening tanpa ada suara di balik teleponnya.
Sedangkan Bu Marni yang ada di balik pintu Aryan mendengar semua ucapan kekasih Aryan. Wanita paruh itu mengusap dada meminta kekuatan. Air matanya jatuh, dengan cepat Marni menghapus air matanya.
" Aku harus pergi dari sini, putriku sangat membutuhkanku." ucap Bu Marni sendirian.
Tekad Bu Marni sudah ia bulat. Dia akan kembali ke desa terpencil milk orang tuanya di mana suasana kampung di sana sangatlah menenangkan.
" Bibi kok di depan kamar Aryan?" tanya Bu Andini pada Bu Marni.
Seketika wanita paruh baya itu tersentak kaget dan sangat terlihat gugup.
" Bibi tadi ingin memanggil nak Aryan untuk makan. Tapi Nak Aryan tidak mau, "sahutnya.
Nandini menelisik wajah wanita paruh itu, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan.
Aku yang akan membujuk putraku, Bi. Saat ini dia dalam keadaan marah. Bibi pasti mengenal Aryan kan, jika dia marah dia lebih memilih mengurangkan diri." ucapnya seraya menerbitkan seulas senyum di bibir.
***
Di lain tempat tempat Aisyah sedang memikirkan cara agar bisa pergi dari desa itu. Ia akan meminta izin pada pada sang nenek pergi ke suatu tempat. Dengan begitu sang nenek tidak mengkhawatirkannya jika telah bepergian.
" Maaf, Aisyah harus melakukan itu sebelum perutku makin membesar,Nek. Apa yang dikatakan orang-orang di luar sana ketika mengetahui aku hamil tanpa seorang ayah dari bayi tersebut. " ucapnya dengan menatap langit-langit kamar.
Aisyah takut jika sang nenek mendapat gunjingan dari masyarakat karena ulahnya. Jalan satu-satunya adalah ia harus pergi dari desa tersebut.
Sedih dan sesak yang di rasakan Aisyah saat ini.
" Kira-kira ke mana aku harus pergi? Apakah aku mampu. " gumamnya.
Sebuah desahan berat dan terdengar jelas oleh mbok Ninik.
" Tidurlah, Nak! Ini sudah larut malam. Tidak baik begadang anak muda sepertimu. " nasehat sang nenek.
Aisyah terpaksa menuruti keinginan nenek dan berusaha memejamkan mata.
Baru saja mbok Ninik beranjak dari keluar dari kamar sang cucu, matanya menatap sosok tubuh mungil sang cucu yang tidak seperti biasanya.
" Ada yang aneh," gumamnya.
Dengan melihat tubuh Zahra kian hari makin molek dan tambah berisi. Sang nenek masih sangat memperhatikannya.
" Semoga kamu baik-baik saja, Nak!" ucapnya dengan mengelus lembut rambut cucunya.
Mbok Ninik tidak tahu saja jika sang cucu tersebut tengah merencanakan sesuatu.
" Maafkan aku, Nek. Jika suatu saat nanti aku pergi meninggalkan kalian, jangan membenciku mau janin yang ada di kandunganku." batin Aisyah yang masih mendengar ucapan sang nenek sambil memejamkan mata. Sementara sang nenek mengira bahwa cucunya itu telah tertidur dengan lelapnya.
" Mimp yang Indah y, Nak. Nenek berharap kelak kamu menemukan kebahagiaanmu." ucapnya lagi.
Mata itu turun ke bawah memperhatikan perut Aisyah. Tiba-tiba timbul pikiran buruk di benaknya meskipun ia berusaha mengusiknya.
" Semoga apa yang kulihat malam ini tidaklah benar. Jika hal itu terjadi, bagaimana nasib cucuku ke depannya. Dia adalah harta satu-satunya Marni dan besar harapannya melihat putrinya menjadi orang terpandang kelak." gumamnya dalam hati.
Setelah beberapa menit memperhatikan cucunya, ia pun keluar dengan langkah tergopoh-gopoh.
Ada perasaan khawatir yang menyeruak dalam hati wanita tua itu. Cucunya belum menceritakan apa-apa tentang kepulangan nya di kampung, sedangkan mbok Ninik belum berbicara dengan Marni.
" Bagaimana caranya agar Aisyah mengatakan alasannya ke sini?" ucapnya.
Ia tahu bahwa ada sesuatu yang disembunyikan cucunya, tapi apa?"
Besok pagi ia akan mencari seseorang untuk menghubungi Marni di kota. Tidak mungkin ia meminta tolong pada cucunya. Aisyah pasti berkilah dan mbok Ninik mewanti-wanti hal tersebut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments