Hari kian berlalu tanpa terasa dan kini Aisyah sudah tiga bulan tinggal di desa bersama sang nenek. Perut yang dulu masih rata kini kian bertambah. Ia merasa takut karena sang nenek semakin mencurigainya. Dengan pelan ia mengusap lembut perut dengan kasih sayang. Terkadang ia berpikir bahwa bagaimana nasib selanjutnya ketika pergi dari rumah ini.
Aisyah harus berpikir seribu kali sebelum pergi tanpa adanya penyesalan. Lukanya membuatnya semakin bertekad untuk pergi mengasingkan diri dimana orang-orang tidak ada yang mengenalnya.
Dengan perasaan sesak ia menghapus air mata yang selalu saja jatuh dengan mudahnya.
Dengan langkah pelan tangan halus itu membuka pintu kamar mbok Ninik. Kepalanya kini celingukan mencari sosok tersebut.
Netranya menangkap seseorang yang dicarinya dan kini sedang bertasbih dengan khusyuk.
Mbok Ninik menoleh melihat cucunya yang sedang duduk di kasur tipis tersebut.
" Masuklah, Nak!" sahutnya dengan senyuman lembut.
Aisyah melangkah masuk dan menghampiri sang Nenek.
" Kenapa belum tidur? Ini hampir larut malam, Nak." sahutnya.
Aisyah ingin mengatakan sesuatu pada sang nenek namun ia merasa ragu. Aisyah hanya menatapnya tanpa berucap. Tangan Aisyah meraih lengan mbok Ninik kemudian mencium keningnya dengan khidmat.
" Nek, Aisyah ingin mengatakan sesuatu," ucapnya pelan.
Ia tidak mau kesehatan sang nenek terganggu hanya karena sebuah ucapannya, karena itu Aisyah harus menyampaikan dengan hati-hati.
" Apa yang ingin kamu katakan, Nak?" tanyanya sedikit penasaran.
Aisyah masih bergeming di tempatnya sambil menatap wajah keriput mbok Ninik.
" Aisyah ingin mencari pekerjaan. " ucapnya membuat sang nenek mengerutkan kening dengan penuh keheranan.
" Kenapa begitu, Nak? Bukankah kamu ingin tinggal di sini, lantas kenapa ingin pergi?" tanyanya dengan menelisik wajah cucunya.
" Aisyah ingin mandiri, Nek. Dengan begitu
Aisyah punya pengalaman untuk bekerja kelak nanti. " ucapnya dengan penuh berbagai alasan.
Mbok Ninik tidak rela jika sang cucu pergi begitu saja. Apa yang dikatakan pada putrinya Marni kalau Aisyah pergi sedangkan ia dipercaya untuk menjaga sang cucu.
" Aisyah janji akan baik-baik saja, Nek. Aisyah pasti jaga diri. Aisyah ingin merasakan bagaimana hidup mandiri tanpa bergantung pada orang-orang." ucapnya meyakinkan mbok Ninik.
Wanita paruh itu menggeleng menandakan bahwa dirinya tidak setuju dengan keputusan Aisyah.
" Kamu masih kecil, Nak. Kamu Sama sekali bukan beban untuk kami. Jika butuh sesuatu katakan saja pada Nenek.
Tangis Aisyah pecah tak sanggup lagi menahan rasa harunya. Ia berharap semua keluarganya akan baik-baik saja setelah kepergiannya.
" Ibumu tidak akan mengizinkanmu, Nak. Nenek yakin ibumu tidak akan setuju dengan keputusanmu. Apa kamu tahu bagaimana perjuangannya ibumu melahirkanmu?" Mendengar itu Aisyah hanya menggeleng sambil mendengar ucapan mbok Ninik.
" Dia hampir kehilangan nyawanya demi ingin melahirkanmu. Dengan semua ini apa kamu masih ingin meninggalkan ibumu?" tanyanya dengan mendesak sang cucu.
Aisyah menghapus air mata yang meleh di pipi. Bukan tega tapi ia ingin pergi menyembunyikan aibnya. Jika orang-orang tahu pasti ada banyak cebiran yang dilontarkan untuk sang nenek dan ibunya.
" Maaf, Nek. Aisyah harus pergi." ucapnya seolah tidak ingin dibantah lagi.
Mbok Ninik menghela napas erat dengan sikap keras kepala cucunya. Dia tidak bisa melarang lagi, Aisyah bertekad untuk pergi.
" Jika itu adalah keputusanmu maka nenek tidak bisa melarang lagi tapi coba pikirkan lagi, Nak!" nasehatnya pada sang cucu.
Aisyah mengangguk pelan kemudian tangannya meraih tubuh sang nenek untuk dipeluknya dengan erat.
" Maafin Aisyah selama ini ya, Nek!" ucapnya dengan isakan tangis.
Mbok Ninik membalas pelukan cucunya dengan perasaan yang amat sedih.
Walaupun tidak setuju dia harus rela melepaskan sang cucu karena keinginannya sendiri. Sedangkan tekad Aisyah untuk pergi sudah bulat.
Aisyah pergi ke kamarnya setelah selesai menumpahkan segala rasa pada sang nenek. Besok pagi-pagi ia akan berangkat tanpa ditemani oleh siapapun.
***
Pagi yang cerah nampak matahari semakin bersinar dengan indah dan menenangkan hati. Namun berbeda dengan Aisyah. Ada rasa kesedihan yang menggeluti ruang hatinya. Rasa hampa setiap hari yang dirasakan karena suatu hal, entah apa?
Pagi ini Aisyah sudah selesai bersiap-siap dan akan berangkat ke suatu tempat tanpa menentu arahnya. Helaan nafas berat darinya terdengar lirih.
" Sudah siap, Nak?" mbok Ninik menghampiri sang cucu kemudian kembali memeluknya.
" Iya, Nek.
Mbok Ninik memperhatikan wajah cucunya dengan seksama dan ia bisa melihat kesedihan dalam sana.
" Kamu yakin ingin pergi dari sini? Lantas ibumu bagaimana, Nak?" tanyanya dengan lembut.
Mbok Ninik berharap Aisyah mengurungkan niatnya untuk pergi dan tetap tinggal menemaninya.
" Aisyah sudah memberitahukan ibu semalam lewat sms, Nek. Aisyah yakin jika ibu mengerti dengan maksudku." sahutnya dengan kepala menunduk.
" Baiklah, Nak. Hati-hati dan jangan lupa memberi kabar pada kami!"
Aisyah mengangguk pelan lalu mencium taksim tangan sang nenek. Ia berusaha terlihat tegar di mata wanita tua itu.
Dengan langkah pasti Aisyah berangkat dengan menaiki mobil angkutan umum. Sebuah lambaian tangan dilayangkan untuk sang tercinta.
Aisyah hanya termenung dalam mobil, ia berpikir apakah keputusan yang diambil saat ini adalah yang terbaik untuknya.
Sedangkan orang-orang yang sedang dalam mobil bersamanya menatapnya dengan heran. Sepertinya gadis ini tidak memiliki semangat dalam hidup.
" Kamu mau ke mana, Nak?" sapa orang yang sedang duduk di sampingnya.
Aisyah gelagapan mendengar pertanyaan tersebut. Ia pun tidak tahu ke mana harus pergi.
" A-aku tidak tahu," ucapnya semakin menunduk.
Aisyah tidak menyadari bahwa wanita yang menyapanya adalah orang yang pernah ditemui di sebuah mesjid waktu itu. Wanita tersebut tersenyum dengan hangat lalu berucap membuat Aisyah membelalakkan mata." Kamu mau ikut denganku?" ucapnya.
Aisyah masih terhenyak dan tanpa terasa air mata haru jatuh begitu saja. Ternyata pertolongan Allah selalu datang tiba-tiba tanpa ia sadari.
" Be-benar ibu mengajak aku?" tanyanya memastikan.
Ibu tersebut mengangguk dan semakin tersenyum lembut padanya membuat Aisyah semakin tenang menatap wajah teduh itu.
" Tentu saja." ucapnya.
" Terimakasih kasih, Bu. Aku tidak tahu harus berkata apa lagi pada ibu." ucapnya dengan penuh rasa syukur.
" Stop, pak. Kami turun di sini. " ucap wanita paruh itu dan mengajak Aisyah turun bersamanya.
Dengan ragu Aisyah mengikuti wanita tersebut masuk ke dalam lingkungan yang dipenuhi oleh anak-anak santri yang sedang membaca Al-Quran.
Aisyah mengerutkan kening lalu menoleh pada wanita paruh tersebut.
Wanita itu membalasnya dengan senyuman lalu menuntunnya masuk ke dalam rumah. Nanti ia akan menjelaskan semua pada gadis ini. Ia tahu bahwa pasti banyak pertanyaan yang ada di benaknya.
" Duduklah, Nak!" titahnya.
Aisyah menurut dan duduk di teras rumah tersebut.
" Kamu pasti bertanya-tanya, kamu ini sedang berada di mana. " ucapnya menjeda kalimatnya. " Aku adalah Aidah istri dari Kiyai Hj. Dahlan pemilik pesantren Al-Furqon. Kalau kamu mau tinggallah di sini membantuku mengurus para santri sambil belajar ilmu agama. " tawarnya.
"Oh ya, Nak! Siapa namamu?" tanyanya.
" Namaku Aisyah, Bu. Aku sangat berterima kasih pada ibu yang sudah berbaik hati mengajakku ke sini." ucapnya.
Bu Aidah tersenyum tipis kemudian beranjak dari tempat duduknya.
Beberapa menit kemudian wanita paruh itu kembali membawa sebuah kerudung dan menutupi kepala Aisyah.
" Mulai hari ini kamu menutupi auratmu ya, Nak. " ucapnya begitu lembut membuat Aisyah semakin luluh.
Meskipun ragu Aisyah tetap mengangguk mengikuti ucapan Bu Aidah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
AXYs
Thor sedikit saran
Kallo utk pria gelar Haji di singkat jd H
Kalo utk perempuan gelarnya di sebut Hajah di singkat jadi Hj.
Naah di sini jafi tepatnya itu Kyai H.
🙏🏼
2024-10-28
0
Nur Aeni
untung saja bertemu orang baik....
2024-07-02
1
Romi Widyawati
syukurlah ktm orang baik
2024-07-01
1