Pada hari yang sama saat Bian dan Lea melepas rindu di ruang jenguk itu. Siang harinya Gigi datang menemui Bian. Dengan mengatasnamakan keluarga sehingga dia bisa bertemu dengan Bian.
Dengan bangga kakinya melangkah menuju ke ruang itu. Gigi dipersilahkan duduk oleh salah seorang petugas sebelum Bian keluar. Tidak lama tampak pria yang dia tunggu-tubggu. Gigi langsung berdiri ketika pria itu sudah berdiri tepat dihadapannya.
"Bian..." Gigi berdiri dan hendak memeluk Bian. Dengan cepat Bian menangkalnya, hingga tak sampai memeluk tubuhnya.
"Sialan!" batin Gigi.
"Maaf Gigi. Kamu ada perlu apa kemari?" tanya Bian tanpa basa-basi.
"Ayolah kita duduk terlebih dahulu," ajak Gigi seraya mempersilahkan Bian duduk.
Secara bersamaan keduanya mendudukkan diri pada kursi. Dengan posisi yang berhadapan, dipisahkan oleh sebuah meja.
"Cepat katakan! Ada perlu apa kamu kemari?" tanya Bian dengan nada yang sama sekali tidak ramah.
"Sebelumnya bagaimana kabar kamu Bian?" tanya Gigi basa-basi.
"Tidak perlu basa-basi. Cepat jawab pertanyaanku!" seru Bian.
Mendapatkan respon yang kurang menyenangkan membuat Gigi tampak menekuk wajahnya. Tangannya sibuk merogoh sesuatu yang ada di dalam tasnya. Sebelum dikeluarkan benda yang ada ditangannya. Gigi menampakkan raut wajah sedihnya, "Sebenarnya gue kesini mau kasih kabar buruk sekaligus kabar gembira buat lo."
Bian tampak menautkan alisnya karena tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh perempuan didepannya itu.
"Maksud lo apa?" tanya Bian.
"Jadi gue kasian dengan lo Bian. Selama lo di dalam penjara. Gue sedih Bian," ucap Gigi masih dengan raut wajah yang sedih. Bahkan air mata palsunya mulai dia keluarkan.
"Hah? Maksud lo apa?" tanya Bian penasaran.
Gigi menyodorkan sebuah kertas dan foto ke hadapan Bian. Mata Bian tertuju pada kertas dan foto tersebut. Namun, dia tidak ada niatan untuk meraihnya.
"Ini adalah bukti bahwa selama ini istri lo main dibelakang lo," ucap Gigi.
Karena tidak mendapatkan respon dari Bian. Gigi menunjukkan telunjuknya tepat pada berita tentang Lea disebuah surat kabar. Seraya berkata, "Awalnya gua mau nutupin semua ya dari lo. Tapi ternyata semua orang sudah tahu. Dan hari ini ada berita disurat kabar ini."
Bian hanya terdiam dengan semua yang dilakukan oleh Gigi. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya saat itu. Entah apa yang ada dipikirannya.
"Bian?" Gigi melambaikan telapak tangannya tepat pada wajah Bian.
"Bian, are you oke?"
"E..e..ya," Bian gugup.
"Gue udah coba menasihati Lea. Tapi dia tidak mau mendengarkan kata-kata gue Bian," ucap Gigi.
"Karena gue udah menyerah menghadapi Lea. Gue cerita sama lo," lanjutnya.
"Maafkan gue Bian, gue nggak bisa melakukan apa-apa lagi."
Lama Bian terdiam sebelum akhirnya kembali angkat bicara. "Sialan!" ucap Bian.
"Apakah ini semua benar?" tanya Bian lagi.
"Gue tidak bisa berbohong untuk masalah seperti ini Bian."
"Tidak bisa dibiarkan!" Bian meremas telapak tangannya.
Senyum sumringah mengembang diwajahnya. Akhirnya Bian tersulut emosi dengan drama yang sudah diciptakan. Ternyata cukup mudah menghasut seorang Sabian Utomo Pranoto. Dasar bodoh! pikirnya.
"Gue mohon lo tenangkan diri lo sebentar," pinta Gigi.
"Masalah ini kita bicarakan nanti saja. Dan gue sekarang akan kasih kabar gembira buat lo," Gigi tersenyum senang.
"Jadi gue mau memberikan penawaran untuk lo bisa keluar dari penjara," lanjutnya.
Sejenak Bian berpikir dan bertanya," Lo yakin? Caranya gimana?"
"Yakin dong. Tapi dengan satu syarat," ungkap Gigi.
"Apa?"
"Begitu lo keluar dari penjara, lo harus nikahin gue," ucapnya sembari tersenyum.
Bian terkejut dengan syarat yang diberikan oleh Gigi. Kemudian Bian larut dalam pikirannya sendiri.
"Ba-bagaimana bisa? Gua punya istri dan baru saja menikah," jawab Bian sedikit gugup.
"Gue melihat perlakuan Gigi ke lo. Gue gak tega Bian. Menikahlah dengan gue dan gue pastikan hidup kita akan bahagia," ucapnya Gigi lagi.
Gigi meraih kedua tangan Bian untuk dia pegang. Dia menarik napas panjang dan dihembuskannya secara perlahan. "Gue janji Bian gue janji. Gak akan mengkhianati lo dan gue akan membahagiakan lo. Gue mohon ya."
"Hmm... beri waktu gue untuk berpikir," pinta Bian.
"Tidak bisa Bian. Gue pengen lo segera keluar dari tempat ini. Lo berhak bebas Bian," tukas Gigi.
"Ta-" ucap Bian yang langsung dipotong.
"Nggak ada tapi-tapian. Please Bian please," Gigi semakin mengeratkan genggamannya.
"Baiklah gue mau," jawab Bian dengan tegas.
Mata Gigi terbelalak mendengar penuturan Bian barusan. Sungguh tidak pernah dia bayangkan sebelumnya akan semudah ini rencanannya berjalan. Seolah tak percaya dengan jawaban dari Bian hingga mulutnya masih menganga terkejut.
"Oh My God," ucap Gigi.
"Thankyou Bian," imbuhnya mencium tangan Bian yang sedari tadi dia genggam.
"Gue akan mengurus semuanya mulai saat ini juga. Dan lo harus janji sama gue, begitu lo bebas langsung menikah gue," Gigi mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
Tangan tersebut disambut hangat oleh Bian. Senyum Gigi mengembang sempurna diwajahnya. Dalam hati dia berkata, "Sorry Lea, kali gue menang."
"Gigi... setelah gue benar-benar bebas. Izinkan gue meminta izin kepada Lea untuk menikah dengan lo," pinta Bian.
"Tidak perlu Bian. Begitu lo keluar lo harus segara menikah dengan gue," tutur Gigi.
"Tidak gue harus membicarakan ini dengan Lea , Gi," kata Bian.
"Ya... Gue mohon," pinta Bian dengan wajah memelas.
"Baiklah. Gue kasih waktu satu hari setelah lo bebas. Dan besoknya kita langsung menikah," tutup Gigi sebelum akhirnya dia pamit untuk pulang dan mengurus semua rencana pembebasan Bian.
Sedangkan Bian masih termenung ditempat duduknya. Mencerna semua kejadian yang baru saja terjadi. Rasanya seperti mimpi di siang bolong. Dia tak percaya semua ini akan terjadi pada dirinya. Sungguh rumit, pilihan yang sulit, pikirnya.
"Apakah keputusan gue kali ini tepat?" batin Bian.
"Bagaimana perasaan Lea jika mendengar ini semua?"
"Pasti Lea akan sangat kecewa dengan keputusan gue."
"Maafkan gue Lea. Hanya ini yang bisa gue lakukan. Karena gue pengen segera keluar dari tempat yang menjijikkan ini."
Bian menyangga kepalanya pada tangan yang diletakkan dimeja. Berkali-kali mengusap wajahnya kasar, mengacak-acak rambutnya. Sungguh pria itu sedang frustasi berat. Ingin rasanya dia berteriak sekencang-kencangnya. Namun, disini bukanlah tempat yang tepat untuk melakukan itu. Bian menahannya dengan meremas jari jemarinya.
"Oh Tuhan! Kenapa mesti harus seperti ini!" protesnya dalam hati.
"Gue tidak tega melihat Lea Tuhan."
"Tolong berilah petunjuk-Mu. Gue mohon Tuhan."
Lama Bian terlihat merenung ditempat itu. Sebelum akhirnya seorang petugas menyuruhnya kembali ke dalam sel. Dengan langkah gontai, wajah lesu dan pakaian acak-acakan. Bian menuruti perintah petugas itu. Beginikah takdir hidup gue? pikirnya. Terus saja Bian mengumpat dirinya sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Rena Gimun
2like
2020-09-08
0
Ilham Rasya
hadir lagi 💪💪
2020-08-28
0
Yhu Nitha
like mndarat
salam dari BECAUSE OF YOU 🙏✌
2020-08-23
0