Pernikahan Wasiat
Seorang pria paruh baya tengah terbaring lemas di ranjang ruangan bernama ICU di sebuah rumah sakit. Sudah dua minggu ini pria dengan warna putih yang sudah memenuhi setiap helai rambutnya itu tak juga membuka matanya. Anggi memang berencana menemani ayahnya itu seharian penuh karena hari ini merupakan hari Minggu dan ia sedang libur sekolah.
Hanya ayahnyalah teman hidup Anggi selama ini. Ibunya meninggal saat cewek itu masih berusia lima bulan. Saudara? Tentu ada, namun karena jarak mereka menjadi sulit sekali bertemu. Entah apa yang akan dilakukan Anggi apabila ayahnya pergi dari hidupnya. Ia tidak akan sanggup.
Anggia Soraya. Cewek berusia 17 tahun yang kini sedang mengenyam pendidikan menengah atas di salah satu SMA Negeri favorit di kotanya. Wajahnya cantik dan selalu natural tanpa sentuhan make up. Kulitnya putih bersih dan badannya mungil. Rambutnya bergelombang dan panjang tergerai ke belakang punggungnya. Cewek itu sangat mandiri. Keadaanlah yang memaksanya hidup keras sejak dini. Ayahnya hanya seorang buruh pabrik sehingga mau tidak mau Anggi harus bekerja paruh waktu agar kebutuhan mereka tercukupi.
"Ayah? Ayah udah bangun?" Mata sayu itu kembali berbinar. Raut bahagia kembali terpancar di wajahnya setelah sekian lama ayahnya menutup mata dalam kondisi kritisnya.
"Nak," panggil Noto lembut dan serak. Kedua matanya pun terlihat menyipit seakan susah terbuka.
"Iya, Ayah. Ayah baik-baik aja? Gimana rasanya, Yah? Udah lebih baik?" tanya Anggi khawatir. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kanan Noto yang tergeletak lemas di atas ranjang.
Meski sulit, Noto berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan wasiatnya. Ia merasa umurnya tidak lama lagi. "Nak. Bisa tolong panggilkan sahabat kamu, Prana?" pintanya terbata.
Prana alias Mahaprana Virgo. Cowok itu sudah dianggapnya seperti seorang putra kandung. Bagaimana tidak? Pranalah yang selama ini mau menjaga Anggi sebagai seorang sahabatnya. Noto selalu mempercayakan putrinya pada Prana. Hubungan persahabatan mereka terjalin saat keduanya sama-sama baru menginjakkan kaki di SMA. Prana sangat mengerti dan memahami keadaan keluarga Anggi, begitu pun sebaliknya. Ayah Prana, yaitu Bakri pun juga sudah menganggap Noto dan Anggi sebagai keluarga sendiri.
"Prana? Ayah mau dia ke sini?" tanya cewek itu memastikan dan langsung disambut anggukan samar-samar oleh ayahnya.
"Ya udah, aku telpon dia dulu ya, Yah."
Anggi segera menghubungi nomor Whatsapp Prana. Hatinya berkecamuk karena panggilannya tak kunjung diangkat oleh cowok di seberang sana. Sesekali ia melirik ke arah ayahnya, takut jika pria itu kembali memejamkan matanya. Baru panggilan kelima Prana mengangkat teleponnya. Seusainya, cewek itu kembali duduk di samping ranjang ayahnya dan kembali menggenggam erat telapak tangan Noto.
"Ayah cepet sembuh, ya." Manik matanya memandang Noto dengan sendu dan penuh prihatin. Hatinya selalu teriris mengingat ayahnya yang divonis oleh dokter bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Ia selalu berharap dan berdoa semoga hal tersebut tidak pernah benar.
"Ayah."
Suara bariton itu berhasil membuat Noto dan Anggi menoleh kompak. Rasanya lega karena Prana datang cepat. Cowok itu benar-benar bisa diandalkan dan bertanggung jawab. Tak salah lagi Noto memilihnya.
Prana melirik Anggi sebentar lalu mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang Noto. Pakaiannya selalu keren. Jaket jeans biru muda itu masih setia dikenakannya. Pun dengan kaos polos berwarna putih sebagai dalamannya. Tak lupa juga dengan celana jeans hitam dan sneakers putihnya. Rambutnya agak berantakan dengan sedikit jambul di sana. Aroma parfumnya yang khas menambah kesan maskulin pada dirinya.
"Nak Prana?"
"Iya, Ayah." Prana memang lebih suka memanggilnya dengan sebutan 'ayah' supaya bisa merasa lebih dekat dengan Noto.
"Ayah ingin bicara sama kamu. Anggi, Sayang. Tolong kamu keluar sebentar ya, Nak," pinta Noto terdengar penuh permohonan.
Anggi mengerutkan dahi. Ia melirik Prana ragu. Melihat respon cowok itu yang mengangguk, ia lantas melenggang meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan ICU. Cewek itu lalu duduk di bangku besi di depan ruang ICU ayahnya. Pikirannya ke mana-mana. Hatinya kacau. Mengapa ayahnya menyuruhnya keluar? Pembicaraan apa yang sedang mereka bicarakan? Bukankah dia putrinya yang juga berhak tahu tentang pembicaraan ayahnya? Sepenting itukah Prana di mata ayahnya sampai-sampai lebih memilihnya daripada putri kandungnya sendiri?
***
"Maaf, Nak Prana. Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin putri saya selalu aman dan ada yang menjaga."
Prana melangkahkan satu kakinya mundur ke belakang. Cowok itu sangat syok dengan apa yang diminta pria yang sudah dianggapnya ayah sendiri itu. Kepalanya refleks menggeleng seolah menyiratkan ketegasannya untuk menolak permintaan itu.
"Saya nggak bisa, Yah. Masih banyak yang harus saya kejar. Lagipula saya masih 17 tahun. Saya masih SMA. Tidak mungkin saya bisa menikah sekarang. Saya juga belum punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Prana sama sekali nggak yakin bisa membahagiakan putri Ayah," tolak cowok itu sesopan mungkin. Hatinya mencelos saat mendengar kata 'menikah'.
"Nak, dengar. Saya nggak minta apa pun dari kamu. Saya cuma ingin kamu mau menerima Anggi sebagai istri kamu. Saya yakin kamu bisa bikin anak saya bahagia karena saya tahu betul kalau bahagianya Anggi itu hanya ada di kamu. Tolong, Nak Prana pertimbangkan lagi permintaan yang mungkin menjadi permintaan terakhir saya ini." Napas Noto tersengal-sengal. Dadanya naik turun mendengar penolakan dari Prana. Tidak. Ia tidak boleh goyah. Putrinya harus ada yang menjaga setelah kepergiannya.
"Saya mohon sekali, Nak. Ini permintaan terakhir saya. Saya akan segera meninggalkan dunia ini. Kasihan Anggi, dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Apa saya perlu bersujud di hadapan Nak Prana supaya mau menerima permintaan saya?"
Sungguh, Prana sama sekali tidak berdaya. Kalimat terakhir itu berhasil membuat pertahanannya runtuh. Tubuhnya terjatuh ke lantai dengan kedua lutut sebagai penopangnya. Raut wajahnya berganti cepat menjadi muram. Ia mengacak rambutnya gusar. Bagaimana ini? Menikah semuda ini? Tidak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Ia masih sangat mau menikmati masa-masa mudanya. Membayangkan suara tangisan bayi-bayi di sekelilingnya membuatnya semakin muak dan pusing saja. Dan menolak? Ia juga tidak bisa. Noto merupakan seorang pria yang selalu dianggapnya sebagai seorang ayah kedua selain ayah kandungnya.
Setelah merenunginya dalam-dalam, Prana akhirnya mulai bangkit lagi. Kedua kaki cowok itu bergetar menandakan bahwa ia sudah tidak kuat untuk berdiri tegap lagi. Sekujur tubuhnya sudah lemas sejak pembicaraan perjodohan ini.
"Baik, saya terima."
Satu kata itu berhasil mengembalikan senyum lebar yang sekian lama sirna dari wajah pria paruh baya itu. Oh! Senyuman itu justru semakin membuat hati Prana mencelos. Ia berusaha tegar dan mau tidak mau harus menerima semua kenyataan ini. Ia mengutuk dirinya sendiri sebagai pria pengecut yang tidak bisa menolak apa yang benar-benar tidak mau ia lakukan. Seharusnya ia bisa menolak, namun setiap kata yang terlontar dari mulut Noto berhasil meruntuhkan keberaniannya.
Detik berikutnya, Noto perlahan menutup kedua matanya. Tubuhnya terbujur kaku dan layar monitor di samping ranjangnya memperlihatkan satu garis lurus. Dengan sigap Prana menekan pergelangan tangan kanan Noto untuk mengecek denyut nadinya. Namun, nihil, sudah tidak ada denyut nadi di sana. Cowok itu lantas segera berlari menuju keluar ruangan ICU untuk memanggil Anggi beserta dokter yang merawat Noto.
***
[Baca sampai akhir yaa]
Hai, semua pembaca "PERNIKAHAN WASIAT"!
Apa kabar?
Yuk! Dukung author dengan cara rate BINTANG 5, VOTE, LIKE, COMMENT, SHARE ke teman-teman kalian, dan tambahkan ke FAVORIT supaya author makin semangat buat nulis kelanjutan kisah mereka. Oke?
COMMENT pendapat dan saran kalian buat bab ini, dong ya? Biar gak sider juga, hehe.
TERIMA KASIH BANYAK!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
ᴋᴜͨɴͪʏͤᴜᷱʟʟ.ɢ̸͠ᴬᶰᴳ
aq mampir nih thor
2020-10-26
2
Dhina ♑
hallo Senja
2020-10-17
1
Al Aros Iris Afa
nyimak
2020-10-11
1