Seorang pria paruh baya tengah terbaring lemas di ranjang ruangan bernama ICU di sebuah rumah sakit. Sudah dua minggu ini pria dengan warna putih yang sudah memenuhi setiap helai rambutnya itu tak juga membuka matanya. Anggi memang berencana menemani ayahnya itu seharian penuh karena hari ini merupakan hari Minggu dan ia sedang libur sekolah.
Hanya ayahnyalah teman hidup Anggi selama ini. Ibunya meninggal saat cewek itu masih berusia lima bulan. Saudara? Tentu ada, namun karena jarak mereka menjadi sulit sekali bertemu. Entah apa yang akan dilakukan Anggi apabila ayahnya pergi dari hidupnya. Ia tidak akan sanggup.
Anggia Soraya. Cewek berusia 17 tahun yang kini sedang mengenyam pendidikan menengah atas di salah satu SMA Negeri favorit di kotanya. Wajahnya cantik dan selalu natural tanpa sentuhan make up. Kulitnya putih bersih dan badannya mungil. Rambutnya bergelombang dan panjang tergerai ke belakang punggungnya. Cewek itu sangat mandiri. Keadaanlah yang memaksanya hidup keras sejak dini. Ayahnya hanya seorang buruh pabrik sehingga mau tidak mau Anggi harus bekerja paruh waktu agar kebutuhan mereka tercukupi.
"Ayah? Ayah udah bangun?" Mata sayu itu kembali berbinar. Raut bahagia kembali terpancar di wajahnya setelah sekian lama ayahnya menutup mata dalam kondisi kritisnya.
"Nak," panggil Noto lembut dan serak. Kedua matanya pun terlihat menyipit seakan susah terbuka.
"Iya, Ayah. Ayah baik-baik aja? Gimana rasanya, Yah? Udah lebih baik?" tanya Anggi khawatir. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kanan Noto yang tergeletak lemas di atas ranjang.
Meski sulit, Noto berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan wasiatnya. Ia merasa umurnya tidak lama lagi. "Nak. Bisa tolong panggilkan sahabat kamu, Prana?" pintanya terbata.
Prana alias Mahaprana Virgo. Cowok itu sudah dianggapnya seperti seorang putra kandung. Bagaimana tidak? Pranalah yang selama ini mau menjaga Anggi sebagai seorang sahabatnya. Noto selalu mempercayakan putrinya pada Prana. Hubungan persahabatan mereka terjalin saat keduanya sama-sama baru menginjakkan kaki di SMA. Prana sangat mengerti dan memahami keadaan keluarga Anggi, begitu pun sebaliknya. Ayah Prana, yaitu Bakri pun juga sudah menganggap Noto dan Anggi sebagai keluarga sendiri.
"Prana? Ayah mau dia ke sini?" tanya cewek itu memastikan dan langsung disambut anggukan samar-samar oleh ayahnya.
"Ya udah, aku telpon dia dulu ya, Yah."
Anggi segera menghubungi nomor Whatsapp Prana. Hatinya berkecamuk karena panggilannya tak kunjung diangkat oleh cowok di seberang sana. Sesekali ia melirik ke arah ayahnya, takut jika pria itu kembali memejamkan matanya. Baru panggilan kelima Prana mengangkat teleponnya. Seusainya, cewek itu kembali duduk di samping ranjang ayahnya dan kembali menggenggam erat telapak tangan Noto.
"Ayah cepet sembuh, ya." Manik matanya memandang Noto dengan sendu dan penuh prihatin. Hatinya selalu teriris mengingat ayahnya yang divonis oleh dokter bahwa hidupnya tidak akan lama lagi. Ia selalu berharap dan berdoa semoga hal tersebut tidak pernah benar.
"Ayah."
Suara bariton itu berhasil membuat Noto dan Anggi menoleh kompak. Rasanya lega karena Prana datang cepat. Cowok itu benar-benar bisa diandalkan dan bertanggung jawab. Tak salah lagi Noto memilihnya.
Prana melirik Anggi sebentar lalu mulai melangkahkan kaki mendekati ranjang Noto. Pakaiannya selalu keren. Jaket jeans biru muda itu masih setia dikenakannya. Pun dengan kaos polos berwarna putih sebagai dalamannya. Tak lupa juga dengan celana jeans hitam dan sneakers putihnya. Rambutnya agak berantakan dengan sedikit jambul di sana. Aroma parfumnya yang khas menambah kesan maskulin pada dirinya.
"Nak Prana?"
"Iya, Ayah." Prana memang lebih suka memanggilnya dengan sebutan 'ayah' supaya bisa merasa lebih dekat dengan Noto.
"Ayah ingin bicara sama kamu. Anggi, Sayang. Tolong kamu keluar sebentar ya, Nak," pinta Noto terdengar penuh permohonan.
Anggi mengerutkan dahi. Ia melirik Prana ragu. Melihat respon cowok itu yang mengangguk, ia lantas melenggang meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan ICU. Cewek itu lalu duduk di bangku besi di depan ruang ICU ayahnya. Pikirannya ke mana-mana. Hatinya kacau. Mengapa ayahnya menyuruhnya keluar? Pembicaraan apa yang sedang mereka bicarakan? Bukankah dia putrinya yang juga berhak tahu tentang pembicaraan ayahnya? Sepenting itukah Prana di mata ayahnya sampai-sampai lebih memilihnya daripada putri kandungnya sendiri?
***
"Maaf, Nak Prana. Saya tidak bermaksud apa-apa. Saya hanya ingin putri saya selalu aman dan ada yang menjaga."
Prana melangkahkan satu kakinya mundur ke belakang. Cowok itu sangat syok dengan apa yang diminta pria yang sudah dianggapnya ayah sendiri itu. Kepalanya refleks menggeleng seolah menyiratkan ketegasannya untuk menolak permintaan itu.
"Saya nggak bisa, Yah. Masih banyak yang harus saya kejar. Lagipula saya masih 17 tahun. Saya masih SMA. Tidak mungkin saya bisa menikah sekarang. Saya juga belum punya pekerjaan dan penghasilan tetap. Prana sama sekali nggak yakin bisa membahagiakan putri Ayah," tolak cowok itu sesopan mungkin. Hatinya mencelos saat mendengar kata 'menikah'.
"Nak, dengar. Saya nggak minta apa pun dari kamu. Saya cuma ingin kamu mau menerima Anggi sebagai istri kamu. Saya yakin kamu bisa bikin anak saya bahagia karena saya tahu betul kalau bahagianya Anggi itu hanya ada di kamu. Tolong, Nak Prana pertimbangkan lagi permintaan yang mungkin menjadi permintaan terakhir saya ini." Napas Noto tersengal-sengal. Dadanya naik turun mendengar penolakan dari Prana. Tidak. Ia tidak boleh goyah. Putrinya harus ada yang menjaga setelah kepergiannya.
"Saya mohon sekali, Nak. Ini permintaan terakhir saya. Saya akan segera meninggalkan dunia ini. Kasihan Anggi, dia tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu. Apa saya perlu bersujud di hadapan Nak Prana supaya mau menerima permintaan saya?"
Sungguh, Prana sama sekali tidak berdaya. Kalimat terakhir itu berhasil membuat pertahanannya runtuh. Tubuhnya terjatuh ke lantai dengan kedua lutut sebagai penopangnya. Raut wajahnya berganti cepat menjadi muram. Ia mengacak rambutnya gusar. Bagaimana ini? Menikah semuda ini? Tidak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Ia masih sangat mau menikmati masa-masa mudanya. Membayangkan suara tangisan bayi-bayi di sekelilingnya membuatnya semakin muak dan pusing saja. Dan menolak? Ia juga tidak bisa. Noto merupakan seorang pria yang selalu dianggapnya sebagai seorang ayah kedua selain ayah kandungnya.
Setelah merenunginya dalam-dalam, Prana akhirnya mulai bangkit lagi. Kedua kaki cowok itu bergetar menandakan bahwa ia sudah tidak kuat untuk berdiri tegap lagi. Sekujur tubuhnya sudah lemas sejak pembicaraan perjodohan ini.
"Baik, saya terima."
Satu kata itu berhasil mengembalikan senyum lebar yang sekian lama sirna dari wajah pria paruh baya itu. Oh! Senyuman itu justru semakin membuat hati Prana mencelos. Ia berusaha tegar dan mau tidak mau harus menerima semua kenyataan ini. Ia mengutuk dirinya sendiri sebagai pria pengecut yang tidak bisa menolak apa yang benar-benar tidak mau ia lakukan. Seharusnya ia bisa menolak, namun setiap kata yang terlontar dari mulut Noto berhasil meruntuhkan keberaniannya.
Detik berikutnya, Noto perlahan menutup kedua matanya. Tubuhnya terbujur kaku dan layar monitor di samping ranjangnya memperlihatkan satu garis lurus. Dengan sigap Prana menekan pergelangan tangan kanan Noto untuk mengecek denyut nadinya. Namun, nihil, sudah tidak ada denyut nadi di sana. Cowok itu lantas segera berlari menuju keluar ruangan ICU untuk memanggil Anggi beserta dokter yang merawat Noto.
***
[Baca sampai akhir yaa]
Hai, semua pembaca "PERNIKAHAN WASIAT"!
Apa kabar?
Yuk! Dukung author dengan cara rate BINTANG 5, VOTE, LIKE, COMMENT, SHARE ke teman-teman kalian, dan tambahkan ke FAVORIT supaya author makin semangat buat nulis kelanjutan kisah mereka. Oke?
COMMENT pendapat dan saran kalian buat bab ini, dong ya? Biar gak sider juga, hehe.
TERIMA KASIH BANYAK!
Hari ini genap seminggu sudah kepergian sosok yang paling disayangi oleh Anggi. Tuhan lebih sayang pada Noto dan Anggi nampaknya lambat laun mulai mengikhlaskan kepergian pria itu.
Sebuah bingkai usang yang di dalamnya menampakkan potret seorang anak kecil dengan gaun pink mini yang membungkus badan mungilnya terpajang di ruang tamu sempit berukuran 3×4 meter. Terlihat anak kecil itu membawa bunga mawar merah sambil memeluk seorang pria berumur 35 tahun.
Anggi masih saja setia berdiri di depan bingkai berukuran lumayan besar tersebut. Matanya tak bisa lepas dari potret dua manusia di dalamnya. Namun, pandangannya kosong dan air mata sudah tidak bisa mengalir lagi. Ia harus kuat. Ia harus bangkit. Ia tak boleh berlarut-larut dalam kesedihan ini. Ia harus bahagia demi kebahagiaan ayahnya pula di surga sana.
Suara ketuk pintu menghancurkan lamunannya. Cewek itu menoleh dan bergegas menuju pintu utama untuk membukanya. Kedua matanya berbinar dan mulutnya terbuka lebar karena terkejut kala mendapati dua orang yang sedang berdiri di hadapannya.
"Om Rizal sama Tante Fitri? Mari masuk!" serunya girang. Anggi melirik barang bawaan mereka dan langsung membuka pintu lebar-lebar.
Setelah mempersilakan mereka masuk, cewek itu lantas berlari kecil menuju dapur untuk mengambilkan suguhan. Tak lama setelahnya, ia kembali menghampiri Rizal dan Fitri yang sudah duduk manis di sofa ruang tamu membawa dua gelas air putih beserta beberapa biskuit.
"Kok Om sama Tante nggak ngabarin aku dulu sih? Kan jadinya aku nggak nyiapin apa-apa kalau mendadak gini," omel cewek itu lalu duduk di samping Fitri.
"Ini namanya kejutan Sayang," ujar Fitri sembari membelai rambut keponakan kesayangannya.
Rizal menegakkan tubuhnya. Wajahnya tiba-tiba berubah muram dan menatap Anggi penuh sendu. "Kita turut berduka atas kepergian ayah kamu, kakak saya, ya Nggi. Maaf karena kita nggak sempat melayat dan ikut memakamkan ayah kamu. Kita benar-benar nggak bisa pulang waktu itu karena ibunya tantemu juga sedang sakit keras waktu itu," ucapnya penuh prihatin.
"Iya, Om. Nggak apa, aku juga maklum. Oh iya, gimana Tan kabar Nenek Vivi?"
"Alhamdulillah sekarang dia udah jauh lebih baik, Sayang," jawab wanita itu.
"Alhamdulillah."
Anggi sedikit memajukan posisi duduknya. "Kalian datang jauh-jauh dari Malaysia loh. Pasti ada keperluan penting di sini, ya Tan?"
Rizal mengembangkan senyumnya. "Kamu nggak salah, Nggi. Kita ke sini memang ada perlu," jawabnya antusias.
Fitri juga ikut tersenyum pada Anggi. Perasaan bahagia seketika menyeruak dalam dadanya. "Iya, Sayang. Kita ke sini buat jadi wali salah satu saudara Om Rizal yang akan menikah di sini. Kedua orang tuanya udah nggak ada dan dulu ayahnya sempat berpesan pada om kamu untuk bersedia menjadi wali nikahnya kelak," tambah wanita berusia tiga puluh tahunan itu.
Anggi yang mendengarnya pun hanya manggut-manggut paham. Rasanya ingin bertanya lebih jauh lagi, namun keinginan itu segera ia urungkan karena merasa bukan urusannya.
"Kalian nginep di sini aja, ya? Biar aku siapin dulu kamarnya," kata Anggi bersemangat. Cewek itu tentu akan menerima kehadiran mereka dengan sangat senang hati mengingat dirinya kini tinggal seorang diri di rumah kecil itu.
"Boleh."
***
"Anggi! Udah siap belum?" Seorang pria berusia kepala empat itu terdengar berteriak dari arah ruang tamu. Ia pun segera mengenakan sepatunya.
"Iya, Om! Anggi udah siap nih," pekik Anggi dari dalam kamarnya. Cewek itu segera merapikan rambutnya dan bergegas keluar kamar untuk menghampiri om beserta tantenya yang sudah menunggunya di ambang pintu utama.
"Cantiknya keponakan Tante." Fitri memuji kecantikan Anggi sambil menangkup pipi kirinya. Matanya tidak menipu, wanita itu benar-benar tulus dan jujur memuji keponakannya tersebut.
Anggi yang dipuji hanya bisa malu-malu. Kedua pipinya merah merona. "Ah! Tante bisa aja. Lagian kenapa sih Tan, Om kok ngajak aku? Kan, yang menikah saudaranya Om Rizal," tanyanya bingung. Pasalnya cewek itu tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan ini.
Fitri melirik ke arah Rizal. Keduanya sama-sama tersenyum gemas. "Boleh, kan pinjam badan kamu buat ukuran baju pengantinnya saudaranya Om Rizal? Ya, ukuran badan kalian kurang lebih samalah," izin Fitri.
"Memangya saudaranya Om kemana?"
"Dia sedang sibuk sekarang ini, Nggi. Katanya nggak bisa datang buat fitting hari ini," jawab Rizal penuh pengertian.
"Oh, jadi gitu ya. Ya udah, aku mau kok. Yuk berangkat!" ajaknya antusias. Cewek itu memang suka sekali mencoba hal-hal yang baru. Melihat-lihat gaun pengantin mungkin akan dapat sedikit mencuci matanya sekaligus dijadikan sebagai bahan ide untuk koleksi sketsa-sketsa desainnya. Anggi memang suka hal-hal berbau kreativitas.
***
"Bagus banget tempatnya!"
Kedua bola mata cewek dengan wajah imutnya itu terlihat begitu berbinar kala dirinya masuk ke dalam salah satu butik yang menjual beragam gaun pengantin termahal di kotanya.
Mereka bertiga terus berjalan dan mulai memasuki suatu ruangan yang sepertinya merupakan ruangan VIP di butik tersebut. Langkah kaki Anggi seketika terhenti saat matanya menangkap sosok yang sedang duduk tegap di sofa ruangan tersebut.
"Prana! Kok kamu di sini?"
Cowok yang tadinya fokus menatap layar ponsel bermerek Apple itu lantas menoleh cepat ke arah Anggi. Ekspresinya kali ini berbeda daripada biasanya yang selalu terlihat ceria. Wajah itu kini menjadi lesu dan kucel.
Anggi segera mendekati Prana dan duduk di sebelahnya. Namun, cowok itu justru membuang muka dan beralih menatap Fitri beserta Rizal secara bergantian. Rizal mengangguk sebagai suatu isyarat. Entah apa itu, akan tetapi Prana juga terlihat mengangguk paham.
Cewek itu tidak mengamati interaksi tersebut. Dirinya masih setia memandang Prana dari bawah hingga atas. Setelah menyadari sesuatu, Anggi dengan cepat menoleh ke arah om dan tantenya lalu kembali menatap wajah Prana yang masih tidak mau menatapnya balik.
"Oh! Aku tau, kamu pasti saudaranya pengantin prianya, ya? Adik sepupunya? Atau kakak sepupunya? Eum, apa justru saudara kandungnya? Kok nggak pernah cerita sih?" Anggi terus mengomel, merasa kalau hanya ia yang tidak tahu apa-apa di sana. Namun, Prana masih belum selera menatap cewek di sampingnya. Entah mengapa cowok itu menjadi cuek dan dingin seperti itu.
"Iya, dia saudara pengantin prianya. Jadi figur juga buat kostum pengantin prianya." Rizal menjelaskan dan disambut anggukan kepala oleh Anggi.
"MasyaAllah, jadi ini pengantin wanitanya? Cantik sekali." Seorang laki-laki yang berjalan dengan lihai seperti seorang perempuan itu memuji Anggi. Lagi, Anggi memang cantik, jadi siapa pun akan dengan mudah memuji parasnya.
"Bukan, saya cuma mewakili saja," balas Anggi ramah. Cewek itu berusaha menahan tawanya.
"Yuk, kalau gitu ikut Eyke. Eyke ada gaun yang pas buat Nona cantik ini."
Anggi menurut dan mengikuti laki-laki itu dari belakang. Beberapa menit setelahnya, Anggi keluar dengan gaun berwarna soft pink yang sangat megah nan anggun yang membungkus badan mungilnya. Mirip sekali dengan gaun yang ia kenakan waktu perayaan ulang tahunnya yang ke-7 tahun.
Prana kini akhirnya mau memandang cewek itu. Matanya bahkan tak berkedip meneliti Anggi dari bawah sampai atas. Cantik, pujinya dalam hati.
"Cantiknya keponakan kesayangan Tante." Fitri segera berhambur memeluk Anggi. Wanita itu tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya.
"Gimana, Pra? Cantik, kan?" tanya Fitri sengaja memancing Prana.
Prana yang masih dengan wajah datar dan dinginnya hanya mengangguk samar. Matanya lagi-lagi kembali menatap layar ponselnya seolah benda persegi itu lebih penting dibandingkan Anggi. Belum ada satu kata pun yang terucap dari mulutnya. Tidak seperti biasanya yang selalu banyak bicara di hadapan Anggi. Cowok itu benar-benar jengah sekarang.
"Sekarang gantian kamu, Nak Prana," ujar Rizal.
Barulah setelah itu Prana mengeluarkan satu kata 'baik' lalu bangkit menuju kamar pas bersama karyawan butik tadi.
***
[Baca sampai akhir yaa]
Hai, semua pembaca "PERNIKAHAN WASIAT"!
Apa kabar?
Yuk! Dukung author dengan cara rate BINTANG 5, VOTE, LIKE, COMMENT, SHARE ke teman-teman kalian, dan tambahkan ke FAVORIT supaya author makin semangat buat nulis kelanjutan kisah mereka. Oke?
COMMENT pendapat dan saran kalian buat bab ini, dong ya? Biar gak sider juga, hehe.
TERIMA KASIH BANYAK!
"Aku di rumah aja deh, Om." Sudah kesekian kali cewek itu menolak diajak menghadiri pernikahan saudara Rizal. Namun, Rizal dan Fitri tidak menyerah. Mereka kukuh merayu Anggi untuk ikut.
"Ayolah, Sayang. Cuma sebentar kok." Fitri dengan penuh lemah lembut terus membujuk keponakannya itu.
Anggi mencebik karena mereka terus memaksanya untuk ikut. "Tapi, kan aku nggak kenal saudara-saudaranya Om Rizal. Nanti aku malah kaya anak hilang di sana," tolaknya sekali lagi.
"Sekali ini aja, Nggi. Mau ya, Nak?" Rizal yang sedari tadi memilih tidak banyak bicara, kini angkat suara.
Pertahanan Anggi runtuh. Cewek itu sudah mulai lelah mencari-cari alasan. Bukan apa-apa, pasalnya ia memang bukan siapa-siapa di antara keluarga tersebut. Detik berikutnya, ia akhirnya mengalah. "Ya udah, aku ikut kalian."
Rizal dan Fitri lantas langsung mengulas senyum sumringah. Usaha mereka dalam membujuk cewek itu akhirnya berhasil juga.
***
"Aduh! Cantiknya." Salah seorang perempuan mendekati Anggi. Jika dilihat dari wajahnya, sepertinya usia perempuan itu berada di atas Anggi.
Anggi pun tersipu malu. Kedua pipinya sudah seperti kepiting rebus sekarang. "Makasih," ucapnya seramah mungkin. Cewek itu memang selalu bisa menjaga keanggunannya.
"Ayo masuk!"
Mereka akhirnya berjalan beriringan diikuti Fitri dan Rizal di belakangnya. Namun, Fitri dan Rizal akhirnya berpisah dari mereka. Pasang mata Anggi tidak bisa lepas dari dekorasi gedung pernikahan yang sangat bisa dibilang mewah ini. Gedung itulah nantinya yang akan dijadikan tempat berlangsungnya akad. Bernuansa bunga mawar dengan dominasi warna pink, dekorasi itu amat memukau. Mengapa bisa pas sekali? Mawar merupakan salah satu bunga kesukaan Anggi. Gedung masih sangat sepi karena memang masih jam subuh. Rizal dan Fitri sengaja mengajak Anggi untuk datang lebih awal karena ingin cewek itu berbaur dengan anggota keluarga lain.
Perempuan tadi ternyata membawa Anggi menuju suatu ruangan kecil, sepertinya ruangan wardrobe. Anggi meniliknya dari luar sebelum akhirnya ikut masuk bersama perempuan tadi. Di dalamnya terdapat sebuah meja rias berukuran jumbo dan terletak banyak sekali peralatan make up beserta perhiasan di sana.
"Kok aku di bawa ke sini, Mbak?" tanya Anggi bingung.
Perempuan tadi menoleh dan tersenyum hangat pada Anggi. "Kita tadi belum kenalan, ya? Perkenalkan, namaku Afisa. Aku kakak kandungnya mempelai pria. Kamu boleh panggil aku Ica," ujar Ica sembari mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Anggi.
Cewek itu segera menyambut jabatan tangan Ica dan mengulas senyum lebarnya. "Anggi," balasnya.
Lalu, Ica segera menarik pergelangan tangan Anggi dan berlari kecil ke arah meja rias. Didudukkannya cewek itu di kursi depan meja rias. Anggi yang tidak tahu apa-apa hanya bisa bengong dan menurut saja.
"Menurut kamu bagus yang mana?" tanya Ica sambil menunjukkan beberapa mahkota dan anting di tangannya.
Anggi meneliti detail setiap bagian dari benda-benda tersebut. Rasanya sulit sekali memilih. Semuanya sama-sama indah. Cewek itu menggeleng pelan. "Susah banget, Mbak. Aku nggak bisa milih. Bagus semua," katanya jujur.
Ica tertawa kecil melihat ekspresi cewek itu yang terlihat begitu lugu dan polos. "Kamu suka mawar, kan? Kalau gitu yang ini aja. Ada motif mawarnya," ujar Ica sembari menyimpan mahkota mungil dengan warna silver dan motif bunga mawar ke dalam suatu kotak.
Anggi yang mendengar kalimat itu menjadi tambah bingung dan bertanya-tanya. Mengapa harus dengan pilihan dan jawaban darinya? Yang menikah, kan bukan Anggi. Aneh, gumamnya dalam hati.
"Kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku mau ngurus yang lain dulu."
"Tapi, Mbak."
"Nggak lama kok." Anggi mengangguk pelan dan setelahnya, Ica benar-benar menghilang dari pintu wardrobe itu. Meninggalkan Anggi seorang diri beserta beribu kebingungannya.
"Cantiknya Nona Muda."
Suara itu berhasil membuyarkan lamunan Anggi yang sedang asyik memandang pantulan dirinya di cermin besar itu. Tidak hanya satu orang saja yang datang, ada beberapa yang lain juga yang mengikuti dari belakang dengan seragam yang sama. Seragam yang mencerminkan bahwa mereka merupakan asisten rumah tangga di sana.
"Sebelumnya, perkenalkan kami merupakan asisten rumah tangga Tuan Muda, Non. Saya sendiri Ijah dan mereka juga akan membantu saya untuk merias mempelai wanitanya," ujar Ijah memperkenalkan diri dengan sopan.
"Panggil Anggi aja, Mbak. Jangan pakai Non," balas Anggi lagi-lagi dengan rendah hati.
Ijah beserta asisten rumah tangga yang lain lantas tersenyum. "MasyaAllah sekali Mbak Anggi ini. Sudah cantik, rendah hati pula," kata Ijah jujur yang disambut ulasan senyum manis oleh Anggi.
Tak ingin membuang waktu, Ijah beserta yang lain segera bergerak untuk mempersiapkan semuanya. Setelah itu, Ijah yang bertugas merias wajah mempelai wanita menghampiri Anggi yang masih duduk setia di depan meja rias. Tak lupa, perempuan itu juga membawa gaun pengantin di tangannya.
"Mari, Non. Silakan ganti baju dulu sebelum saya rias," ujar Ijah lalu menyerahkan gaun pink di tangannya kepada Anggi. Gaun yang sama yang dipilih oleh Anggi untuk mempelai wanita tempo hari.
Cewek itu cengo di tempatnya sambil memandang gaun tersebut. Kedua alisnya terpaut karena bingung. "Loh, ini kan gaun milik pengantin. Saya bukan pengantinnya, Mbak. Jadi, nggak perlu dandan sama pakai gaun. Gini aja sudah cukup," ucap Anggi sambil meringis menatap Ijah.
"Ah, Mbak Anggi ini kenapa malu-malu kucing segala? Ayo, waktunya nggak banyak Mbak. Pakai saja. Saya hanya diamanati untuk menyuruh Mbak Anggi memakai gaun itu."
Lagi-lagi Anggi hanya bisa pasrah dan menurut. Semuanya terasa janggal. Mengapa ia diperlakukan seolah-olah dialah pengantin wanitanya?
***
"Selesai."
"Wah, keponakanku cantik sekali." Fitri yang baru saja datang cepat-cepat meghampiri Anggi yang baru selesai dirias itu. Make up yang dipoleskan oleh Ijah dan asisten lain terlihat natural, namun tetap memukau bagi siapa saja yang melihatnya. Rambutnya yang bergelombang dibentuk sedemikian rupa menjadi bentuk yang imut dan lucu, khas sekali dengan bentuk rambut wanita-wanita yang akan menikah.
"Kok aku dirias kaya gini sih, Tan? Ini berlebihan," adu Anggi pada Fitri yang disambut gelak tawa seisi ruangan wardrobe itu.
"Udah, jangan banyak bicara. Sini, Tante foto dulu pakai kamera ponsel Tante." Fitri segera mengeluarkan benda pipih berbentuk persegi itu dari saku rok panjangnya lalu memotret keponakannya. Beberapa kali ia terlihat mengambil angle yang pas.
"Loh, Anggi kok cemberut gitu sih? Senyum dong, Sayang," tutur Fitri yang justru semakin membuat Anggi menekuk wajah kesal. Setelah selesai dengan acara foto itu, Fitri segera memapah cewek itu untuk keluar ruangan bernama wardrobe tersebut.
"Mau kemana, Tan?" tanyanya dengan kerutan kening yang menghiasi wajahnya.
"Menyusul pengantin prianya. Siapkan diri kamu ya, Sayang. Gugup wajar, tapi nggak perlu berlebihan."
Anggi semakin dibuat tak mengerti dengan semuanya. "Memangnya kenapa, Tan? Kan, bukan aku yang menikah," katanya penuh dengan nada keheranan.
"Bersiaplah bertemu dengan calon suamimu, Prana."
"Calon suami? Prana?" pekiknya. Cewek itu terkejut bukan main. Apa ini? Apa maksud dari semuanya? Anggi tidak paham. Mengapa dia dan Prana? Dan beribu pertanyaan lainnya mendadak bersarang di kepalanya. Jantungnya berdebar dan ia tidak bisa menyinkronkan semuanya, terlalu rumit. Anggi merasa sangat tercurangi di sini.
"Maaf, Sayang. Tante dan yang lain sengaja nggak memberi tahu kamu sebelumnya. Tolong jangan menolak, ini demi kebaikan semuanya."
"Tapi, Tan. Apa ini? Aku nggak tahu apa-apa selama ini. Aku merasa dibohongi dan dicurangi. Kenapa harus aku? Dan secara tiba-tiba? Aku masih SMA, Tan! Aku masih berstatus seorang pelajar. Bagaimana dengan sekolahku dan yang lain? Aku belum siap, Tan." Nada kekecewaan sekaligus penekanan di setiap kalimatnya saat berbicara terdengar begitu kentara. Fitri memandang nanar keponakannya, tidak tega melihat Anggi syok seperti itu.
Fitri menghela napas panjang. "Kamu nggak usah mikirin itu dulu ya, Sayang. Semuanya akan baik-baik saja," ujarnya mencoba menenangkan cewek itu.
"Tapi kenapa harus dijodohkan seperti ini, Tan? Bagaimana dengan Prana? Dia pasti juga nggak setuju dengan perjodohan ini." Hatinya seakan mencelos. Ia masih belum bisa mencerna dengan sempurna tentang semua yang terjadi.
"Nanti kamu juga akan tahu alasannya, Nak. Soal Prana, dia sama sekali nggak keberatan."
"Nggak keberatan? Bagaimana bisa? Aku juga masih punya jalan yang panjang, Tan. Aku pengin sukses, pengin sekolah. Aku masih sangat muda untuk pernikahan ini." Anggi masih berusaha menolak. Benar saja, bagaimana dengan masa depannya nanti jika semua menjadi seperti ini?
Fitri mengusap punggung keponakannya seraya berkata, "Sudah, jangan risau. Kamu masih bisa sekolah dan mengejar cita-cita kamu. Kita semua bisa menutupi semuanya rapat-rapat. Nggak perlu khawatir ya, Sayang. Ingat, kamu tinggal seorang diri di kota sebesar ini. Kamu pasti membutuhkan seseorang yang bisa selalu menjagamu 24 jam. Tante sama Om Rizal nggak bisa jagain kamu terus-terusan. Kami harus segera kembali ke Malaysia karena masih banyak hal yang harus dikerjakan di sana."
"Tante Fitri. Aku udah besar, Tan. Aku bisa jaga diri aku sendiri. Nggak perlu dengan menikah segala."
"Tante tahu, tapi Tante juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tolong jangan menolak kali ini, ya? Jangan buat tante sama om kamu kecewa," pinta Fitri semakin membuat Anggi terpojokkan.
Kedua kaki cewek itu rasanya lemas dan tak kuat lagi menopang tubuhnya sendiri. Kalimat terakhir yang terlontar dari mulu wanita itu benar-benar menohok dan menusuk relung hatinya. Jangan kecewakan katanya? Lalu, bagaimana dengan nasib Anggi sendiri? Sangat egois. Namun, lagi-lagi Anggi merupakan anak penurut. Apalagi, Fitri dan Rizal sudah dianggapnya orang tua sendiri selama kepergian ayahnya. Ayah, Anggi butuh Ayah saat ini, gumamnya dalam hati.
"Tolong, Sayang." Sorot mata Fitri membuat Anggi menjadi semakin tidak berdaya. Bulir mata perlahan mengalir dan membasahi kedua pipi Anggi. Kakinya gemetaran saat ini.
Cewek itu mengembuskan napas berat nan panjang sembari menghapus air matanya. "Baik, Anggi terima."
***
[Baca sampai akhir yaa]
Hai, semua pembaca "PERNIKAHAN WASIAT"!
Apa kabar? Apa pendapat kalian tentang bab ini?
Yuk! Dukung author dengan cara rate BINTANG 5, VOTE, LIKE, COMMENT, SHARE ke teman-teman kalian, dan tambahkan ke FAVORIT supaya author makin semangat buat nulis kelanjutan kisah mereka. Oke?
COMMENT pendapat dan saran kalian buat bab ini, dong ya? Biar gak sider juga, hehe.
TERIMA KASIH BANYAK!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!