"MasyaAllah, Nyonya Virgo!"
Ica menyambut kedatangan adik iparnya itu dengan begitu sumringah. Rasa-rasanya kedua insan itu merasa dekat sekali, seperti sudah ada ikatan batin yang terjalin di antara mereka sedari kali pertama bertemu.
"Assalamu'alaikum, Mbak." Anggi membalas pelukan Ica. Senyum tak lupa menghiasi wajah cantiknya.
"Ayo, Nggi masuk!" seru Ica pada Anggi dengan amat antusias.
"Mbak Ica apa kabar?" tanya Anggi.
"Alhamdulillah, baik Nggi. Kamu apa kabar? Oh, ya Prana nggak ikut? Sibuk lagi anak itu?"
Anggi mengangguk pelan. Mendengar nama itu, rasanya memusingkan kepala. "Alhamdulillah. Iya, Mbak. Lagi sibuk Mas Prana. Ayah Mama ada di rumah?" tanyanya ramah.
Ica lantas mengangguk dan mengajak adik iparnya itu menuju dapur. Anggi baru beberapa kali masuk ke dalam kediaman Bakri itu. Itu pun hanya karena kerja kelompok dengan Prana waktu dulu. Cewek itu baru dapat menjangkau ruangan-ruangan bagian dalam kali ini, sebagai istri sahabatnya sendiri. Dan ternyata rumahnya lebih besar dan mewah yang ia kira selama ini. Matanya terpana saat ia bersama Ica memasuki ruangan bernama dapur. Bahkan, dapur pun tak luput dari kata mewah. Peralatan dapur seolah berkerlipan sana-sini.
"Wah, Mbak Ica mau masak ya? Aku bantu boleh?"
"Boleh banget, dong. Yuk, dek!"
Anggi segera menghampiri Ica yang sedang berkutat di depan meja dapur. Ia lantas mengeluarkan bahan-bahan yang baru ia beli dari pasar sepulang sekolah tadi.
"Mbak Ica mau masak apa?" tanyanya.
Ica terlihat seperti orang yang sedang menimbang-nimbang. Cewek itu memang belum tahu apa yang akan ia masak kali ini. "Belum tau sih sebenernya," jawabnya jujur.
"Kebetulan aku bawa bahan-bahan buat bikin seblak. Di sini ada yang nggak suka pedes nggak, Mbak?" Sambil terus mengeluarkan semua bahan dari kantong kresek, ia bertanya banyak hal tentang makanan apa yang disukai maupun tidak disukai keluarga Bakri.
"Semua anggota keluarga sini alhamdulillah suka pedes semua, Nggi. Kamu kok baik banget sih beliin bahan-bahan kaya gini?" Ica selalu bisa dibuat kagum oleh adik iparnya yang satu itu. Ia sangat menyukai Anggi karena hal-hal kecil yang mampu ia tebarkan pada sekitarnya.
"Alhamdulillah kalau kaya gitu. Yuk bikin, Mbak!"
***
"Wah-wah. Nak Anggi ini pintar sekali memasak, ya. Nggak salah Prana berjodoh dengan kamu. Sudah cantik, baik hati, jago memasak lagi. Apalagi coba yang nggak ada di Anggi? Nggak ada, multitalenta banget menantuku."
Vina tak henti-hentinya memuji menantu kesayangannya itu. Vina memang sudah menyukai Anggi sejak kali pertama mereka bertemu. Waktu itu Prana memperkenalkan Anggi pertama kalinya pada keluarganya sebagai seorang sahabat.
"Gimana, Yah? Setuju nggak sama Mama?" Vina mencoba memancing Bakri untuk ikut memuji Anggi.
"Betul sekali, Ma." Bakri mengangguk mantap, tanda ia setuju dengan semua pernyataan istrinya.
Anggi yang sedari tadi mendapat pujian itu lantas hanya bisa tersenyum malu. Ia amat bersyukur memiliki mertua yang baik seperti mereka.
"Makasih. Tapi, Anggi masih perlu banyak belajar, Ma, Yah." Anggi tetap rendah hati dan mengulas senyum ramahnya pada mereka semua. Dan senyum itu selalu mampu menyejukkan hati siapa saja yang melihatnya.
"Gimana hubungan kamu dengan Prana?"
Deg! Mengapa harus membahas itu kali ini? Pikiran Anggi jadi ke mana-mana. Sempat ia melirik pada kakak iparnya, yakni Ica. Cewek itu tersenyum tipis padanya. Ah! Senyum itu justru membuat hatinya semakin tersayat.
Anggi tadi memang sempat bercerita pada Ica tentang hubungannya dengan Prana. Anggi sama sekali tak ingin membongkar masalah rumah tangganya. Tapi, Ica terus memaksa supaya cewek itu punya tempat untuk berbagi keluh kesah. Lagipula, Ica selalu bisa memahami dirinya.
Bagaimana ia harus menjawab sekarang?
"Aku-"
"Prana menginginkan cerai."
Belum sempat Anggi meneruskan, Ica sudah terlebih dahulu menyela. Anggi menoleh cepat padanya dengan tatapan penuh arti. Mengapa Ica harus memberitahu mertuanya?
"Ayah sama Mama harus tahu, Nggi." Seolah mampu membaca ekspresi dari Anggi, Ica memberi penjelasan.
"Cerai? Kenapa, Nak Anggi?" Vina bertanya dengan nada penuh harap supaya Anggi segera memberi keterangan.
"Kalian sedang bertengkar?" Bakri menambahi.
Dengan berat hati, Anggi akhirnya mau bersuara. Cewek itu menjelaskan seluruh kejadian yang ia alami akhir-akhir ini pada mereka. Tidak ada yang ditambahi dan tidak ada yang dikurangi. Semua ia katakan sejujur-jujurnya dan dari lubuk hatinya.
"Ayah harus peringati dia. Kenapa Prana belum dewasa juga? Ayah izinkan dia menikah di usia muda supaya dia bisa menjadi pribadi yang lebih dewasa. Tapi, justru ini hasilnya? Ayah tidak habis pikir." Emosi Bakri sudah berada di puncaknya. Urat-urat di lehernya pun terlihat jelas. Mukanya juga sudah merah padam dan kedua tangannya mengepal kuat.
Anggi yang melihat air muka ayah mertuanya itu segera mencegah. "Jangan, Yah. Anggi mohon banget, jangan. Biar Anggi yang nyelesaiin semuanya sendiri," ujarnya dengan nada yang penuh penekanan. Ia berusaha meyakinkan mereka untuk tidak perlu ikut campur.
Vina beranjak dari duduknya lalu duduk di sebelah Anggi sembari membelai lembut rambut menantunya itu. "Anggi, Sayang. Mama percaya sama kamu. Mama yakin kalau kamu pasti bisa mempertahankan pernikahan kamu," tuturnya yang langsung dibalas anggukan mantap dari Anggi.
"Iya, Ma."
***
"Bima? Kok kamu di sini?"
Anggi terkejut saat melihat Bima di ruang tamu rumahnya. Bukannya bertemu suaminya, ia justru mendapati mantannya di sana.
"Eh, Anggi. Iya nih, mau bahas proposal acara unit. Maaf malam-malam ke sini, soalnya acaranya kan kurang seminggu lagi. Takutnya nggak nutut," jelas Bima yang duduk di sofa, sementara Anggi berdiri di depannya.
"Oh, gitu. Ya udah aku bersihin badan dulu, ya."
Bima mengangguk. Tak lama setelahnya, Anggi kembali lagi dengan mengenakan baju santainya. Cewek itu segera duduk di sebelah Bima.
"Jadi, gimana Bim?"
Bima segera menunjukkan berkas-berkas yang dibutuhkan untuk merancang proposal acara unit mereka. Bima dan Anggi memang sudah terpilih menjadi partner di bagian sekretaris.
"Ini proposal tahun lalu, Nggi. Kita bisa pakai ini sebagai acuan." Bima terus menjelaskan dari nol. Semua ia sampaikan supaya Anggi bisa benar-benar paham dengan sistematika penyusunan proposal tersebut.
"Oke. Jadi, kita pakai judul yang dimodifikasi dari tahun lalu aja, ya? Nanti soal anggaran, kita bisa tanya ke bendahara sama ketuanya langsung," terang Anggi membuat Bima mengangguk setuju.
"Ah, kecoa!"
Anggi refleks berteriak dan tanpa aba-aba langsung memeluk lengan Bima. Cewek itu terkejut bukan main. Pasalnya, kecoa merupakan hewan yang paling ia benci. Sementara, Bima yang menyadari tindakan itu melepas tangan Anggi dari lengannya secara perlahan. Cowok itu takut bila Prana tiba-tiba datang dan melihat mereka seperti itu. Prana bisa menafsirkan yang tidak-tidak tentang insiden tadi.
"Anggi!"
Dan boom! Ketakutan Bima terjadi juga. Prana sudah melihat adegan tersebut. Anggi menoleh cepat dan mendapati suaminya sudah menunjukkan muka merah padamnya. Kedua matanya membulat seakan ingin keluar dari tempatnya.
"Keluar lo, Anjing!" Prana meluapkan amarahnya. Cowok itu menatap tajam ke arah Bima.
"Gue minta sama lo, Pra. Tolong jangan jadi buta gini. Buka hati sama mata lo buat istri lo," ujar Bima tepat di hadapan Prana yang dadanya sudah naik turun.
"Keluar!"
Detik itu juga, Bima undur diri dan segera pergi dari sana. Sementara, Anggi berdiri dengan tatapan cengo melihat adegan tadi. Ia tak habis pikir ternyata Prana bisa sekejam itu.
Setelah sadar, Anggi perlahan menghampiri suaminya yang sudah menatapnya tajam dari tadi. "Aku udah capek sama sifat kamu yang kaya gitu, Mas." Mata Anggi mulai berkaca-kaca saat memandang wajah suaminya.
"Ya udah. Kalau gitu mau lo apa?" pancing Prana seolah tak mau peduli lagi dengan perasaan istrinya.
"Aku nggak ngerti lagi sama kamu. Aku mau pergi dari sini aja dan tolong, kamu jangan larang aku." Kalimat itu merupakan kalimat terlarang bagi Anggi. Namun, Anggi sudah cukup menahan semuanya dan ini mungkin saatnya ia perlu berjarak dengan suaminya.
"Oke. Silakan," balas Prana santai.
Apa-apaan ini? Anggi berharap setidaknya Prana mencegahnya pergi dan memintanya untuk tetap tinggal. Namun, ternyata suaminya benar-benar tak mau peduli terhadap dirinya. Dan detik itu juga Anggi keluar dari rumah Virgo, membawa barang-barangnya dengan air mata bercucuran membasahi kedua pipi serta baju bagian atasnya. Sedangkan, Prana tetap bergeming tanpa ada niatan mencegah istrinya.
"Jes, gue butuh lo sekarang. Bisa ke rumah gue?" ujar Anggi sambil tersedu di telepon saat perjalanan menuju rumahnya.
***
Baru saja Prana menaiki tangga hendak menuju kamarnya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk ke notifikasi di layar ponselnya. Dengan gusar cowok itu membuka pesan tersebut perlahan.
"Anjing! Brengsek!"
Mulutnya tidak henti mengeluarkan sumpah serapah saat kedua matanya menatap layar ponsel yang menunjukkan Rena sedang berciuman dengan cowok lain. Pertahanannya runtuh, ia jatuh terduduk ke lantai. Prana mengacak rambutnya dengan frustrasi. Baru lima menit yang lalu rumah tangganya berantakan dan istrinya keluar dari rumahnya, ia harus dihadapkan dengan kenyataan seperti ini. Kepalanya mendadak pening memikirkan semua.
"Apa ini saatnya gue harus ngelupain Rena?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Adam Nadira
aduuuuhh bahasa'nya thor, ga enak bgt tolong di sebsor itu kata hewan'nya
2020-09-22
1
Nani Sunarni
nahh looo prana di kasih yg original tp ngejar yg seken...🤣🤣
2020-09-20
3
rin's
sukurin kamu prana 😈
2020-09-09
3