"Aku di rumah aja deh, Om." Sudah kesekian kali cewek itu menolak diajak menghadiri pernikahan saudara Rizal. Namun, Rizal dan Fitri tidak menyerah. Mereka kukuh merayu Anggi untuk ikut.
"Ayolah, Sayang. Cuma sebentar kok." Fitri dengan penuh lemah lembut terus membujuk keponakannya itu.
Anggi mencebik karena mereka terus memaksanya untuk ikut. "Tapi, kan aku nggak kenal saudara-saudaranya Om Rizal. Nanti aku malah kaya anak hilang di sana," tolaknya sekali lagi.
"Sekali ini aja, Nggi. Mau ya, Nak?" Rizal yang sedari tadi memilih tidak banyak bicara, kini angkat suara.
Pertahanan Anggi runtuh. Cewek itu sudah mulai lelah mencari-cari alasan. Bukan apa-apa, pasalnya ia memang bukan siapa-siapa di antara keluarga tersebut. Detik berikutnya, ia akhirnya mengalah. "Ya udah, aku ikut kalian."
Rizal dan Fitri lantas langsung mengulas senyum sumringah. Usaha mereka dalam membujuk cewek itu akhirnya berhasil juga.
***
"Aduh! Cantiknya." Salah seorang perempuan mendekati Anggi. Jika dilihat dari wajahnya, sepertinya usia perempuan itu berada di atas Anggi.
Anggi pun tersipu malu. Kedua pipinya sudah seperti kepiting rebus sekarang. "Makasih," ucapnya seramah mungkin. Cewek itu memang selalu bisa menjaga keanggunannya.
"Ayo masuk!"
Mereka akhirnya berjalan beriringan diikuti Fitri dan Rizal di belakangnya. Namun, Fitri dan Rizal akhirnya berpisah dari mereka. Pasang mata Anggi tidak bisa lepas dari dekorasi gedung pernikahan yang sangat bisa dibilang mewah ini. Gedung itulah nantinya yang akan dijadikan tempat berlangsungnya akad. Bernuansa bunga mawar dengan dominasi warna pink, dekorasi itu amat memukau. Mengapa bisa pas sekali? Mawar merupakan salah satu bunga kesukaan Anggi. Gedung masih sangat sepi karena memang masih jam subuh. Rizal dan Fitri sengaja mengajak Anggi untuk datang lebih awal karena ingin cewek itu berbaur dengan anggota keluarga lain.
Perempuan tadi ternyata membawa Anggi menuju suatu ruangan kecil, sepertinya ruangan wardrobe. Anggi meniliknya dari luar sebelum akhirnya ikut masuk bersama perempuan tadi. Di dalamnya terdapat sebuah meja rias berukuran jumbo dan terletak banyak sekali peralatan make up beserta perhiasan di sana.
"Kok aku di bawa ke sini, Mbak?" tanya Anggi bingung.
Perempuan tadi menoleh dan tersenyum hangat pada Anggi. "Kita tadi belum kenalan, ya? Perkenalkan, namaku Afisa. Aku kakak kandungnya mempelai pria. Kamu boleh panggil aku Ica," ujar Ica sembari mengulurkan tangan kanannya untuk menjabat tangan Anggi.
Cewek itu segera menyambut jabatan tangan Ica dan mengulas senyum lebarnya. "Anggi," balasnya.
Lalu, Ica segera menarik pergelangan tangan Anggi dan berlari kecil ke arah meja rias. Didudukkannya cewek itu di kursi depan meja rias. Anggi yang tidak tahu apa-apa hanya bisa bengong dan menurut saja.
"Menurut kamu bagus yang mana?" tanya Ica sambil menunjukkan beberapa mahkota dan anting di tangannya.
Anggi meneliti detail setiap bagian dari benda-benda tersebut. Rasanya sulit sekali memilih. Semuanya sama-sama indah. Cewek itu menggeleng pelan. "Susah banget, Mbak. Aku nggak bisa milih. Bagus semua," katanya jujur.
Ica tertawa kecil melihat ekspresi cewek itu yang terlihat begitu lugu dan polos. "Kamu suka mawar, kan? Kalau gitu yang ini aja. Ada motif mawarnya," ujar Ica sembari menyimpan mahkota mungil dengan warna silver dan motif bunga mawar ke dalam suatu kotak.
Anggi yang mendengar kalimat itu menjadi tambah bingung dan bertanya-tanya. Mengapa harus dengan pilihan dan jawaban darinya? Yang menikah, kan bukan Anggi. Aneh, gumamnya dalam hati.
"Kamu tunggu di sini dulu, ya. Aku mau ngurus yang lain dulu."
"Tapi, Mbak."
"Nggak lama kok." Anggi mengangguk pelan dan setelahnya, Ica benar-benar menghilang dari pintu wardrobe itu. Meninggalkan Anggi seorang diri beserta beribu kebingungannya.
"Cantiknya Nona Muda."
Suara itu berhasil membuyarkan lamunan Anggi yang sedang asyik memandang pantulan dirinya di cermin besar itu. Tidak hanya satu orang saja yang datang, ada beberapa yang lain juga yang mengikuti dari belakang dengan seragam yang sama. Seragam yang mencerminkan bahwa mereka merupakan asisten rumah tangga di sana.
"Sebelumnya, perkenalkan kami merupakan asisten rumah tangga Tuan Muda, Non. Saya sendiri Ijah dan mereka juga akan membantu saya untuk merias mempelai wanitanya," ujar Ijah memperkenalkan diri dengan sopan.
"Panggil Anggi aja, Mbak. Jangan pakai Non," balas Anggi lagi-lagi dengan rendah hati.
Ijah beserta asisten rumah tangga yang lain lantas tersenyum. "MasyaAllah sekali Mbak Anggi ini. Sudah cantik, rendah hati pula," kata Ijah jujur yang disambut ulasan senyum manis oleh Anggi.
Tak ingin membuang waktu, Ijah beserta yang lain segera bergerak untuk mempersiapkan semuanya. Setelah itu, Ijah yang bertugas merias wajah mempelai wanita menghampiri Anggi yang masih duduk setia di depan meja rias. Tak lupa, perempuan itu juga membawa gaun pengantin di tangannya.
"Mari, Non. Silakan ganti baju dulu sebelum saya rias," ujar Ijah lalu menyerahkan gaun pink di tangannya kepada Anggi. Gaun yang sama yang dipilih oleh Anggi untuk mempelai wanita tempo hari.
Cewek itu cengo di tempatnya sambil memandang gaun tersebut. Kedua alisnya terpaut karena bingung. "Loh, ini kan gaun milik pengantin. Saya bukan pengantinnya, Mbak. Jadi, nggak perlu dandan sama pakai gaun. Gini aja sudah cukup," ucap Anggi sambil meringis menatap Ijah.
"Ah, Mbak Anggi ini kenapa malu-malu kucing segala? Ayo, waktunya nggak banyak Mbak. Pakai saja. Saya hanya diamanati untuk menyuruh Mbak Anggi memakai gaun itu."
Lagi-lagi Anggi hanya bisa pasrah dan menurut. Semuanya terasa janggal. Mengapa ia diperlakukan seolah-olah dialah pengantin wanitanya?
***
"Selesai."
"Wah, keponakanku cantik sekali." Fitri yang baru saja datang cepat-cepat meghampiri Anggi yang baru selesai dirias itu. Make up yang dipoleskan oleh Ijah dan asisten lain terlihat natural, namun tetap memukau bagi siapa saja yang melihatnya. Rambutnya yang bergelombang dibentuk sedemikian rupa menjadi bentuk yang imut dan lucu, khas sekali dengan bentuk rambut wanita-wanita yang akan menikah.
"Kok aku dirias kaya gini sih, Tan? Ini berlebihan," adu Anggi pada Fitri yang disambut gelak tawa seisi ruangan wardrobe itu.
"Udah, jangan banyak bicara. Sini, Tante foto dulu pakai kamera ponsel Tante." Fitri segera mengeluarkan benda pipih berbentuk persegi itu dari saku rok panjangnya lalu memotret keponakannya. Beberapa kali ia terlihat mengambil angle yang pas.
"Loh, Anggi kok cemberut gitu sih? Senyum dong, Sayang," tutur Fitri yang justru semakin membuat Anggi menekuk wajah kesal. Setelah selesai dengan acara foto itu, Fitri segera memapah cewek itu untuk keluar ruangan bernama wardrobe tersebut.
"Mau kemana, Tan?" tanyanya dengan kerutan kening yang menghiasi wajahnya.
"Menyusul pengantin prianya. Siapkan diri kamu ya, Sayang. Gugup wajar, tapi nggak perlu berlebihan."
Anggi semakin dibuat tak mengerti dengan semuanya. "Memangnya kenapa, Tan? Kan, bukan aku yang menikah," katanya penuh dengan nada keheranan.
"Bersiaplah bertemu dengan calon suamimu, Prana."
"Calon suami? Prana?" pekiknya. Cewek itu terkejut bukan main. Apa ini? Apa maksud dari semuanya? Anggi tidak paham. Mengapa dia dan Prana? Dan beribu pertanyaan lainnya mendadak bersarang di kepalanya. Jantungnya berdebar dan ia tidak bisa menyinkronkan semuanya, terlalu rumit. Anggi merasa sangat tercurangi di sini.
"Maaf, Sayang. Tante dan yang lain sengaja nggak memberi tahu kamu sebelumnya. Tolong jangan menolak, ini demi kebaikan semuanya."
"Tapi, Tan. Apa ini? Aku nggak tahu apa-apa selama ini. Aku merasa dibohongi dan dicurangi. Kenapa harus aku? Dan secara tiba-tiba? Aku masih SMA, Tan! Aku masih berstatus seorang pelajar. Bagaimana dengan sekolahku dan yang lain? Aku belum siap, Tan." Nada kekecewaan sekaligus penekanan di setiap kalimatnya saat berbicara terdengar begitu kentara. Fitri memandang nanar keponakannya, tidak tega melihat Anggi syok seperti itu.
Fitri menghela napas panjang. "Kamu nggak usah mikirin itu dulu ya, Sayang. Semuanya akan baik-baik saja," ujarnya mencoba menenangkan cewek itu.
"Tapi kenapa harus dijodohkan seperti ini, Tan? Bagaimana dengan Prana? Dia pasti juga nggak setuju dengan perjodohan ini." Hatinya seakan mencelos. Ia masih belum bisa mencerna dengan sempurna tentang semua yang terjadi.
"Nanti kamu juga akan tahu alasannya, Nak. Soal Prana, dia sama sekali nggak keberatan."
"Nggak keberatan? Bagaimana bisa? Aku juga masih punya jalan yang panjang, Tan. Aku pengin sukses, pengin sekolah. Aku masih sangat muda untuk pernikahan ini." Anggi masih berusaha menolak. Benar saja, bagaimana dengan masa depannya nanti jika semua menjadi seperti ini?
Fitri mengusap punggung keponakannya seraya berkata, "Sudah, jangan risau. Kamu masih bisa sekolah dan mengejar cita-cita kamu. Kita semua bisa menutupi semuanya rapat-rapat. Nggak perlu khawatir ya, Sayang. Ingat, kamu tinggal seorang diri di kota sebesar ini. Kamu pasti membutuhkan seseorang yang bisa selalu menjagamu 24 jam. Tante sama Om Rizal nggak bisa jagain kamu terus-terusan. Kami harus segera kembali ke Malaysia karena masih banyak hal yang harus dikerjakan di sana."
"Tante Fitri. Aku udah besar, Tan. Aku bisa jaga diri aku sendiri. Nggak perlu dengan menikah segala."
"Tante tahu, tapi Tante juga tidak bisa berbuat apa-apa. Tolong jangan menolak kali ini, ya? Jangan buat tante sama om kamu kecewa," pinta Fitri semakin membuat Anggi terpojokkan.
Kedua kaki cewek itu rasanya lemas dan tak kuat lagi menopang tubuhnya sendiri. Kalimat terakhir yang terlontar dari mulu wanita itu benar-benar menohok dan menusuk relung hatinya. Jangan kecewakan katanya? Lalu, bagaimana dengan nasib Anggi sendiri? Sangat egois. Namun, lagi-lagi Anggi merupakan anak penurut. Apalagi, Fitri dan Rizal sudah dianggapnya orang tua sendiri selama kepergian ayahnya. Ayah, Anggi butuh Ayah saat ini, gumamnya dalam hati.
"Tolong, Sayang." Sorot mata Fitri membuat Anggi menjadi semakin tidak berdaya. Bulir mata perlahan mengalir dan membasahi kedua pipi Anggi. Kakinya gemetaran saat ini.
Cewek itu mengembuskan napas berat nan panjang sembari menghapus air matanya. "Baik, Anggi terima."
***
[Baca sampai akhir yaa]
Hai, semua pembaca "PERNIKAHAN WASIAT"!
Apa kabar? Apa pendapat kalian tentang bab ini?
Yuk! Dukung author dengan cara rate BINTANG 5, VOTE, LIKE, COMMENT, SHARE ke teman-teman kalian, dan tambahkan ke FAVORIT supaya author makin semangat buat nulis kelanjutan kisah mereka. Oke?
COMMENT pendapat dan saran kalian buat bab ini, dong ya? Biar gak sider juga, hehe.
TERIMA KASIH BANYAK!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Radin Zakiyah Musbich
awesome 🍓🍓🍓
ijin promo sekalian thor 🍓
jgn lupa mampir di novelku dg judul "AMBIVALENSI LOVE",
kisah cinta beda agama,
jgn lupa tinggalkan jejak ya 🍓🍓🍓
2020-10-15
1
Bukan pembaca gelap
like like like
2020-10-12
1
Erlina Khopiani
hadir
2020-10-11
1