Malam ini Anggi begadang. Cewek itu sedang lembur menyelesaikan tugas matematikanya. Padahal, jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Entah mengapa rasa-rasanya ia ingin menengok suaminya di kamar. Namun, ia lagi malas bergerak. Apalagi, jarak kamarnya dengan kamar Prana cukup jauh. Maklum, rumah mereka memang sebegitu luasnya hingga jarak antarruangan di dalamnya cukup berjauhan.
Karena kesepian dan sedang pusing memikirkan angka-angka yang tertoreh di atas kertas-kertas di hadapannya, Anggi iseng mem-video call suaminya. Betapa kalang kabutnya Anggi saat ternyata teleponnya itu langsung diangkat oleh Prana. Cewek itu sebelumnya mengira kalau suaminya sudah terlelap.
"Mas belum tidur, ya?" tanyanya malu-malu.
"Belum, Anggi. Kamu sendiri kok belum tidur?" Prana mengembangkan senyumnya, membuat ketampanannya lagi-lagi bertambah berpuluh kali lipat.
Cowok itu sedang mengenakan kaus hitamnya. Rambutnya yang sedikit berantakan menambah kesan cool pada dirinya. Hidungnya sudah seperti perosotan TK dan alisnya seperti ulat bulu. Kadar tampan yang melampaui batas memang. Degup jantung Anggi semakin tidak terkontrol melihat suaminya seperti itu. Lagi-lagi cewek itu bersyukur karena Tuhan memberinya jodoh setampan itu.
"Aku belum bisa tidur, Mas. Lagi ngerjain tugas nih. Kamu kenapa belum tidur?
"Oh, tugas matematika yang dikumpulin besok ya?" Anggi mengangguk di seberang sana.
"Aku juga lagi belajar matdas buat lomba ekonomi minggu depan. Mau aku bantuin?" tawar Prana. Ya, cowok itu memang sedang mempersiapkan materi untuk lomba ekonominya bersama dengan Nita minggu depan.
"Eh, nggak usah, Mas. Nanti ganggu belajarnya." Anggi segera menolak. Dia tidak ingin mengganggu suaminya sama sekali.
"Kan, aku juga sekalian belajar. Beneran nggak mau?" tawarnya sekali lagi. Suami Anggi itu sebenarnya juga merasa kesepian di kamarnya.
Anggi lantas mengangguk mantap. "Ya udah, gitu aja sih, Mas. Kalau udah selesai langsung tidur ya," ujarnya sambil tersenyum hangat, membuat hati Prana seketika berdesir hebat.
Cowok itu terlihat tersenyum sumringah di seberang sana sebelum Anggi benar-benar menutup teleponnya.
Detik itu juga, pintu kamar Anggi diketuk oleh seseorang. "Siapa malam-malam gini ke sini? Masa Mbak Ijah? Apa hantu? Atau jangan-jangan maling?" Anggi berdebar membayangkan semua kemungkinan. Cewek itu mengendap-endap menuju pintu kamarnya sambil membawa sapu di tangannya.
Ceklek!
Tanpa aba-aba Anggi langsung menyerbu orang di hadapannya dengan sapu di tangannya, membuat orang itu mengaduh kesakitan. "Maling ya lo! Ngaku!" pekiknya sambil terus menggebukinya.
"Anggi. Aduh, stop!"
Betapa terkejutnya Anggi saat ternyata orang itu tak lain adalah suaminya sendiri, yakni Prana. Wajahnya seketika meringis menatap suaminya yang sedang memegangi bagian tubuhnya yang terkena serangan darinya.
"Duh, Mas Prana. Maaf, ya. Abisnya kamu sih tiba-tiba dateng gitu aja tanpa bilang dulu. Aku kira maling tadi," ujar Anggi sambil menyengir kuda dan menatap Prana dengan tatapan bersalahnya.
"Galak amat sih istriku ini. Sampai suaminya sendiri digebukin." Bukannya marah, Prana justru tertawa sambil mencubit kedua pipi istrinya.
Anggi pun ikut terkekeh kecil. Cewek itu segera mempersilakan Prana untuk masuk.
"Mas kenapa ke sini? Katanya lagi belajar," tanya Anggi sembari memunguti buku-buku dan alat tulisnya lalu duduk di karpet bulu berwarna rosegold bersama dengan Prana.
Prana mengacak rambut istrinya gemas. Cowok itu jadi sering tersenyum saat bersama istrinya. "Mau ngajarin kamu," balasnya dan dengan cepat merebut buku dan bolpoin di tangan Anggi.
Anggi akhirnya menurut dan mengalihkan pandangannya yang semula cengo melihat wajah tampan suaminya ke buku yang sekarang berada di tangan Prana. “Ini gimana sih, Mas? Dari tadi nggak ketemu-ketemu, bingung banget.” Anggi menggaruk rambutnya frustrasi.
Mata Prana mengikuti jari istrinya yang menunjuk angka dalam soal matematika tersebut. “Kamu cari jarak titik ini ke garis ini berapa dulu pakai phytagoras. Kalau udah tinggal cari volumenya," jelasnya sambil fokus menatap soal. Sedangkan, Anggi justru fokus mengamati bulu lentik suaminya.
"Lihatin akunya udah dulu. Fokus sama soal ini dulu, Nggi," tegur Prana sambil tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi-gigi putihnya.
Anggi segera sadar dan mengutik-utik jawaban. Dua menit setelahnya, Anggi menyerahkan pekerjaannya pada Prana. “Panjang jaraknya udah ketemu, tapi habis aku cari volumenya nggak ada pilihan di jawabannya,” katanya sambil mencebik.
Prana yang melihat ekspresi istrinya seperti itu lantas terkekeh geli. “Coba deh kamu lihat. Kamu kurang teliti nih. Ini harusnya plus Anggia, bukan minus," koreksinya.
Anggi lalu menyengir. “Kamu kok bisa pinter gitu sih, Mas? Padahal, cuma makan roti sama selai aja," ujarnya polos. Prana jadi gemas sendiri mendengarnya.
“Kecerdasan itu, kan anugerah dari Allah. Setiap orang punya takarannya masing-masing.”
“Berarti aku dapet dikit ya, sedangkan kamu dapet banyak banget.”
Prana hanya bisa menggelakkan tawanya. “Kamu, kan juga jago nulis. Bakat setiap orang itu beda-beda, Anggi,” terangnya lalu menangkup pipi kanan istrinya.
“Iya juga, ya. Makasih udah mau bantuin nyelesaiin tugas aku, Mas.” Cewek itu tersenyum tipis pada Prana dan langsung dibalas senyuman pula oleh suaminya.
"Nonton film, yuk!" ajak Prana bersemangat.
"Bukannya kamu mau lanjut belajar?"
"Belajar mulu itu capek, Nggi. Kita seneng-seneng dulu aja sekarang."
Tanpa menunggu persetujuan dari istrinya, Prana segera menyetel televisi jumbo di kamar itu dan membuka kanal Netflix. Ia lalu mencari-cari film favoritnya saat ditontonnya bersama dengan Anggi sewaktu mereka bersahabat dulu, yakni Stranger Things.
Anggi lantas segera duduk di sebelah suaminya. Tangan Prana pun membetulkan posisi kepala Anggi dengan meletakkannya di bahunya. Prana sangat menyukai posisi itu.
“Kalau aku boleh tau, Mas punya cita-cita apa?” tanya Anggi di sela-sela aktivitas menontonnya.
“Eum, apa ya? Aku pengin banget punya perusahaan sendiri. Ayah Bakri sebenernya udah ada rencana buat mewariskan perusahaannya ke aku. Tapi, aku lebih suka mulai semuanya dari nol. Jadi, aku tolak penawaran Ayah waktu itu.” Prana menanggapi sambil mengusap bahu istrinya.
Anggi mendongak menatap wajah Prana. “Terus nanti yang mewarisi siapa? Mbak Ica?” tanyanya lagi.
Prana pun menatap balik istrinya. “Semua maunya juga gitu. Kalau enggak aku, ya Mbak Ica. Tapi, ternyata Mbak Ica lebih suka bisnis kreatif kecil-kecilan. Lebih mirip ke kamu sih sebenernya Mbak Ica itu. Jadi, belum tau deh siapa yang bakal ambil alih," jawabnya lagi.
“Kenapa nggak dicoba dulu, Mas? Siapa tahu kamu bisa bawa 2 perusahaan.”
Cowok itu tersenyum. “Aku udah janji sama diri aku sendiri, Nggi. Aku harus bangun perusahaan aku sendiri nanti, dengan semua bekal yang aku dapat," akunya.
Anggi mengangguk paham. Tangan Prana beralih memeluk pinggang istrinya. Cowok itu juga tak lupa mengecup puncak kepala istrinya. Selama asyik menonton, tak terasa mereka berdua sama-sama terlelap di depan televisi itu.
***
“Gue nggak mau tau gimanapun caranya, lo harus bisa bikin artikel ini di mading.”
Nita terus memojokkan Intan, membuatnya ketakutan di tempat. Pasalnya, Nita punya segalanya. Ia punya berlimpah harta untuk melakukan semua yang ia inginkan, bagaimanapun cara dan jalannya nanti.
“Gue nggak bisa, Nit. Ini menyangkut kehidupan pribadi orang lain," tolak Intan kesekian kalinya.
Nita berdecih. “Lo gak mikirin nasib bokap lo di rumah sakit? Dia udah sekarat gitu, tapi lo gak mau berbuat apa-apa? Gue udah janji bakal bayar lunas biaya operasi bokap lo, kan.” Cewek itu semakin memburu dan semakin membuat Intan gundah.
“Tapi, Nit. Nggak gini juga caranya. Gue takut,” balas Intan dengan helaan napas berat di akhir kalimatnya.
Nita lantas tersenyum licik padanya. “Kematian bisa datang kapan aja, Ntan. Lo rela bokap lo mati karena lo telat nyelamatin nyawanya? Coba pikirin ini lagi. Ini foto-foto asli pernikahan mereka, gue sendiri yang ambil fotonya. Lo tinggal masukin foto-foto ini ke dalam artikelnya sebagai bukti yang menguatkan,” ujarnya kemudian dan melenggang dari hadapan Intan.
Sepeninggal Nita, Intan jatuh tak berdaya di kursinya. Cewek itu memijat pelipisnya. Perasaan resah dan gelisah seketika menyerbu relung hatinya di saat yang bersamaan. Di satu sisi, ia tidak ingin ikut campur urusan pribadi orang lain. Namun, di sisi lain ada nyawa seorang yang disayanginya yang harus segera diselamatkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
Risty_Antiq
lanjut.....
2020-09-05
1
Rozh
🤗🤗👍💖
2020-08-29
1
Yhu Nitha
like2
2020-08-29
1