"Kamu tinggal sendiri?" Luna menganggukan kepalanya.
"Orang tua kamu?"
"Aku udah nggak punya orang tua."
"Maaf. Aku nggak tahu." Heksa merasa sangat bersalah karena tanpa sengaja membuat Luna sedih.
"Nggak apa kok. Aku ambilin minum bentar, tapi maaf, adanya air putih." Heksa tersenyum sembari menganggukan kepalanya.
Sejak melihat Luna, ia merasa senang dan merasa aneh di dalam hatinya. Heksa seperti ingin mengenal Luna lebih dalam. Kebetulan Luna tipe Heksa banget. Cewek lugas, sedikit tomboy dan memiliki senyuman yang sangat manis, serta auranya yang adem.
"Kamu masih kuliah atau udah kerja?"
"Masih kuliah, ya, cuma tinggal skripsi aja. Dan juga udah kerja."
"Kerja dimana?"
"Restoran kecil, di jalan Mawar."
"Oh.."
"Kalau kamu?"
"Aku kerja di salah satu perusahaan IT."
Luna dan Heksa mengobrol cukup lama. Sampai tanpa sadar sudah jam makan siang. Hari ini Luna ijin tidak bekerja karena kepalanya pusing telah jatuh tadi. Luna juga meminta Heksa untuk pulang. Dia merasa tak enak karena Heksa terus menunggunya, sampai Heksa tidak bekerja. Bukannya Luna mau mengusir Heksa. Tapi dia merasa tak enak hati.
"Iya maaf kalau aku ganggu kamu istirahat. Aku bakal pulang setelah kita makan siang. Aku udah pesan makanan untuk kita." Luna membulatkan matanya. Ia tak menyangka jika Heksa sudah memesan makan untuk mereka yang dialamatkan ke rumahnya.
"Seharusnya nggak perlu repot-repot!"
"Nggak repot kok, bentar lagi sudah sampai." Heksa melihat ponselnya. Sepertinya dia sedang melihat sudah sampai mana makanan yang ia pesan tersebut.
Benar saja, tak lama kemudian ada seseorang yang mengetuk pintu rumah Luna. Heksa segera bangkit, ia yang menerima pesanan makanan tersebut. Ia pun segera menyiapkan makanan tersebut supaya segera dimakan oleh Luna.
Mata Luna terbelalak, karena Heksa memesan makanan lebih dari tiga jenis makanan. Menurut Luna itu terlalu banyak dan berlebihan. Makanan tersebut juga kelihatan enak dan mewah. "Harusnya nggak usah pesan terlalu banyak kayak gini!" kata Luna.
"Kalau nggak habis di makan nanti lagi aja, Lun."
"Yuk kita makan! Setelah makan aku janji akan pulang." kata Heksa.
"Makasih ya kak." Heksa tersenyum sembari menganggukan kepalanya. Ia kemudian memasukan makanan ke dalam mulutnya.
Heksa berat untuk meninggalkan Luna. Tapi dia tidak mau membuat Luna ilfeel. Juga tidak mau mengganggu istirahat Luna. "Masukan nomer kamu!" ia menyodorkan ponselnya ke Luna.
"Boleh kan aku mengenal kamu lebih dalam? Eh maksudnya berteman?" Luna segera mengambil ponsel milik Heksa. Ia kemudian memasukan nomer teleponnya, lalu mengembalikannya ke Heksa.
"Oke aku save ya. Laluna." Heksa menyimpan nomer telepon Luna dengan nama Laluna, nama asli Luna.
"Itu nomerku." Heksa menelepon nomer Luna dan berharap Luna menyimpan nomernya juga. Setelah itu Heksa berpamitan.
"Kalau luka kamu kenapa-napa, kasih tahu aku ya!" Luna tersenyum dan menganggukan kepalanya.
"Makasih." katanya.
Selepas Heksa pulang. Luna kembali masuk ke rumah. Hari ini dia tidak masuk kuliah dan ijin kerja. Luna menatap kesekeliling, tiba-tiba air matanya menetes. Ia kembali teringat akan kenangan-kenangan di rumah tersebut. Dia kangen dengan kedua orang tuanya dan juga kakaknya. Luna menangis terisak-isak karena rasa rindu yang ia rasakan. "Kenapa kalian tinggalin aku sendiri?" gumamnya.
Luna merasakan pusing yang hebat. Kemudian ia pergi ke kamar dengan tertatih-tatih. Mungkin efek cidera di kepalanya. Luna pun memilih untuk tidur sejenak. Berharap rasa pusing itu akan segera hilang.
.....
Di kantor, Ryan sama sekali tidak fokus bekerja. Istrinya tidak memberi kabar sama sekali sejak pagi tadi. Dia bahkan marah tak jelas saat Luna tidak mengangkat teleponnya. "Akh..." Ryan melempar ponselnya.
"Apa aku terlalu baik sama dia?" tanyanya kepada Dito yang tidak berani bicara sejak pagi.
Dito tidak tahu kenapa bos-nya kalang kabut seperti itu hanya karena istrinya tidak memberi kabar. Bukankah dia menikahi istrinya bukan karena rasa suka tapi demi warisan orang tuanya.
"Kamu nggak punya kuping? Kalau ditanya tuh jawab!" Ryan membentak Dito. Pokoknya semua orang kena omel darinya tanpa terkecuali, termasuk Dito.
"Eh, maaf bos." Dito terkaget karena bentakan Ryan.
Ryan segera bangkit. Dia ingin pergi menemui Luna di tempat kerjanya. "Ke tempat kerja Luna!"
"Tapi bos sepuluh menit lagi ada meeting dengan dewan direksi." seketika Ryan kembali duduk. Wajahnya semakin nampak suram.
"Aku bikinin kopi ya bos." Dito ketakutan melihat wajah Ryan yang semakin muram. Dia segera keluar dari ruangan bos-nya karena ia merasa tak bisa bernafas didalam ruangan bos-nya. Sudah lebih dari tiga tahun ia menjadi assisten Ryan. Tapi baru pertama kali ia melihat Ryan begitu gelisah. Padahal biasanya ia nampak tenang. Dan yang lebih mengherankan, dia gelisah karena seorang wanita. Padahal selama ini sudah berapa banyak wanita yang mendekatinya, tapi tak ada satu pun dari mereka yang bisa membuat Ryan gelisah seperti itu.
"Jangan-jangan bos udah jatuh cinta sama istrinya?" gumam Dito seorang diri.
"Bos kenapa sih?" saat Dito sedang membuat kopi untuk Ryan. Tetiba seorang rekan kerjanya mendekat. Dia adalah Sari, sekretaris Ryan. Dia juga merupakan salah satu yang kena omel Ryan tadi.
"Nggak tahu." Dito tidak berani mengatakan yang sesungguhnya. Karena ia sudah janji untuk merahasiakan pernikahan Ryan.
"Siapin dokumen untuk meeting siang ini!" perintah Dito.
"Udah ada di meja kamu." jawab Sari.
Dito pun segera mengantar kopi ke ruangan Ryan. Takut kena omel kalau kelamaan. Setidaknya selama ini, ketika Ryan kesal dan marah. Dito akan membuatkan kopi untuknya, dan itu efektif menurunkan amarah Ryan. "Minum kopi dulu bos!"
Ryan segera menenggak kopi tersebut. Namun sayangnya cara itu tidak berhasil kali ini. "Kenapa kopinya pahit? Kamu nggak kasih gula?" tanya Ryan dengan marah.
Dito terkejut karena hal tersebut tidak mempan sama sekali. Dia segera mencicipi kopi yang ia buat untuk Ryan. Tidak ada yang aneh apalagi pahit. Itu pas rasanya sama seperti yang biasa ia buat. "Padahal manis, yang pahitkan hati dia.." gumam Dito yang hanya mampu ia dengar sendiri. Kalau sampai ketahuan Ryan, bukankah itu sama aja dengan b*n*h diri.
"Aku ganti."
"Nggak usah! Kita langsung ke ruang rapat aja!" Ryan bangkit kemudian pergi ke ruang rapat. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya kemudian menemui istrinya di tempat kerja istrinya.
Dito mengikuti dari belakang dengan membawa berkas yang nantinya dibutuhkan saat rapat. "Semangat!" ucap Sari pelan saat ia berpapasan dengan Dito.
"Semangat." Dito mengangkat tangan sebagai simbol semangat. Namun tentu saja tanpa mengeluarkan suara karena takut kena omel bos-nya yang lagi sensitif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
❤ Nadia Sari ❤
Wah jgn2 Luna hamil en Ryan yg ngalami ngidam 😮
2024-03-14
0