The Secret Of Fernshine Lighthouse
Cosetta Elwood mengetikkan ‘gantungan kunci mercusuar’ dan ‘teh celup akar bunga dandelion’ di keyboard-nya. Jam delapan sebentar lagi tiba. Pengunjung terakhir baru saja meninggalkan toko pernak-pernik itu lima menit yang lalu.
Komputer tua itu membutuhkan waktu cukup lama untuk mematikan dirinya. Setelah Cosetta selesai merapikan kotak-kotak teh, menyejajarkan deretan boneka, dan mengunci pintu, komputer itu baru mati. Cosetta melepaskan celemeknya dan menutupkan terpal di atas komputer itu, jaga-jaga kalau sarang laba-laba di atas memutuskan untuk melepaskan cengkeramannya dari langit-langit toko.
Cosetta membuka pintu belakang yang menghubungkannya langsung dengan bagian dalam rumahnya. Mama sedang membaca buku di kursinya. Ia menoleh begitu melihat Cosetta.
“Sudah kamu tutup pintunya, Cosy?” tanya mama.
“Sudah, Ma,” kata Cosetta sembari menunjukkan untaian kunci di tangannya. Ia meletakkannya di atas rak kayu, kemudian berjalan menghampiri sang ibu. “Tumis jamurnya sudah dimasak, ya? Wangi sekali. Papa belum pulang?”
“Belum. Kalau lima belas menit lagi papa belum datang, kamu antarkan makanan ke mercusuar, ya. Hari ini jangkauan wilayah hutan yang perlu dicatat papa entah kenapa lebih banyak. Sekarang dia pasti masih lembur. Setelah itu, kita makan duluan,” kata mama.
Cosetta mengiyakan perkataan mama. Ia memutuskan untuk duduk di samping mama seraya ikut menghangatkan kaki di depan perapian. Musim dingin baru berakhir tepat sepuluh hari yang lalu. Meskipun bunga-bunga sudah mekar, dedaunan mulai tumbuh, dan burung-burung mulai beterbangan, tetapi udara dingin seakan segan untuk sirna.
“Mama baca buku apa?” tanya Cosetta. Mama memang menyukai membaca buku. Cosetta telah melihat koleksi buku mama yang memenuhi rak-rak di rumah nenek.
Mama tidak menjawab. Ketika Cosetta menoleh, mama sudah memejamkan mata.
Cosetta menghela napas. Halaman buku yang dibuka mama pun masih serupa dengan halaman kemarin yang ia baca. Mama pasti sudah lelah. Tak hanya mengerjakan pekerjaan rumah, tetapi mama juga memproduksi teh akar dandelion untuk ikut dijual di toko pernak-pernik.
Cosetta menghampiri meja makan. Di sana sudah tersedia semangkuk tumis jamur dan salad sayur. Ia menyiapkan sebagian ke dalam kotak makan untuk ia kirimkan ke tempat papa bekerja.
Suara ombak yang berdebur menemani langkah kaki Cosetta menuju mercusuar. Cosetta dan keluarganya memang tinggal di kompleks mercusuar di tepi pantai. Papa bekerja sebagai penjaga mercusuar. Karena pekerjaan ini membutuhkan waktunya siang dan malam, maka tak ada pilihan lain selain membawa istrinya turut tinggal di sana.
Laut yang gelap di kejauhan terlihat seperti mutiara yang hitam legam. Meskipun Cosetta sudah seumur hidup tinggal di tepiannya, tetapi bulu kuduknya tetap berdiri. Laut dan daratan merupakan dua dunia yang sangat berbeda.
Mercusuar berwarna putih tersebut masih satu bangunan dengan rumah Cosetta, sehingga tak butuh waktu lama untuk mencapainya. Cosetta membuka pintunya. Ia segera dihadapkan dengan tangga melingkar yang menempel dengan dinding. Cosetta menaikinya, hingga beberapa saat kemudian, ia mencapai lantai dapur, baru kemudian ruang kerja sekaligus kamar ayahnya.
Cosetta mengetuk pintu, tetapi tak ada jawaban. Ayah pasti sedang sibuk.
Ia membuka pintu, dan menemukan sang ayah yang tengah mencatat di buku harian mercusuar. Buku itu merupakan buku yang sangat tebal, dan sepanjang hidupnya, Mr. Elwood telah mencatat dua seri sebelumnya.
“Cosy sayang, ya ampun, terima kasih. Letakkan saja di sana. Pekerjaan ayah sangat banyak sampai belum bisa pulang,” kata Mr. Elwood. Wajahnya mencerah melihat Cosetta, meskipun matanya lebih merah daripada biasanya. Ia menerima makanan yang dibawa oleh Cosetta, dan membuka tutupnya. “Duduklah, duduk. Ayah sangat bosan.”
Cosetta menuruti Mr. Elwood. Lagipula, mama juga sedang tidur di bawah. Ia duduk di salah satu kursi yang berada di dekat ayahnya. Dari kamar ayahnya, laut terlihat lebih luas dari biasanya. Sampai-sampai apabila melihatnya terlalu lama, Cosetta selalu merasa akan ditelan bulat-bulat oleh laut.
“Kata mama, ayah mencatat bagian hutan lebih luas, ya, dari sebelumnya?” tanya Cosetta.
Mr. Elwood menelan makanannya, kemudian menjawab, “Iya. Entah ada apa. Kata kepala kawasan hutan Fernshine, Mr. Chadwick, pada awal bulan April ini ayah harus memperluas radius pengamatan ayah. Duh, awalnya, pria itu malah meminta ayah mencatat sepanjang rute dari tepi hutan sampai kompleks mercusuar ini—”
“Itu jauh sekali!” Cosetta tak tahan untuk tidak menyela. “Padahal dia punya cukup banyak teman untuk membantunya.”
Keluarga Elwood memang tinggal di tepian hutan Fernshine, hutan yang merupakan kawasan lindung di negeri Irelia. Tak ada orang lain yang juga tinggal di dalam hutan seperti mereka. Untuk mencapai pemukiman, mereka harus mengendarai mobil menuju tepi hutan yang jaraknya berkilo-kilo meter. Tentunya tak semua orang mau untuk masuk ke dalamnya dan jauh dari riuhnya peradaban.
“Memang. Dia ini … ck ck, ayah rasa, lama-lama agak tak berperikemanusiaan.”
“Duh, dari dulu, Ayah! Tapi Ayah yang sejak dulu tidak merasa,” kata Cosetta.
Ayah hanya meringis. “Habisnya, Ayah suka melakukannya. Entah sudah berapa kali ayah katakan, tetapi ayah tak berminat pada semua pekerjaan yang biasa dikagumi di luar sana. Ayah terlalu malas berbasa-basi untuk menjadi pedagang, ayah juga rasanya tak berbakat jadi guru. Ayah selalu merasa kalau ayah pasti akan pilih kasih karena, hahaha, ada beberapa anak yang nakalnya tak bisa dinalar. Hanya kehidupan brutal dan keras yang mampu mengajarinya. Setelah lulus kuliah, ayah sampai merasa kebingungan, sampai akhirnya melihat lowongan kerja ini sebagai penjaga mercusuar ini. Sangat sempurna, kan? Jauh dari keramaian, menulis satu-dua jam, dan bisa mengamati alam seharian.”
“Iya sih, Ayah. Tapi ini sih, bukan jauh dari keramaian lagi. Menurutku lebih seperti mengasingkan diri,” kelakar Cosetta, yang apabila dipikirkan, sebenarnya ada benarnya juga.
“Tidak sejauh itu juga,” tawa Mr. Elwood. “Tapi ide bagus juga. Bercanda. Hahaha. Kalau menurut kamu, Cosy, bagaimana?”
“Bagaimana apanya, Ayah?”
“Kehidupan kita? Cosy pasti sadar kalau kehidupan kita sangat berbeda dengan kehidupan teman-teman sekolah kamu.”
Cosetta berpikir sejenak. Ayah juga tidak keberatan karena ia segera berfokus melahap makan malamnya. Laut yang terlihat tenang dan gelap membuat Cosetta merenungkan kehidupannya di Fernshine Lighthouse. Ia mengingat kembali perasaan-perasaannya yang muncul kala ia mengerjakan PR-nya, memberi makan ayam, atau ketika melihat bunga-bunga matahari mekar di ladang.
“Sebenarnya aku tidak pernah memikirkannya. Aku hanya bersyukur bisa tinggal bersama ayah dan ibu,” kata Cosetta dengan manis. “Meskipun kadang-kadang aku juga merasa kesepian. Melihat rumah teman-temanku, mereka semua punya tetangga. Aku jadi penasaran seperti apa rasanya …”
“Tapi, apa Cosy pernah berharap untuk pindah rumah?” tanya Mr. Elwood. Wajahnya menjadi lebih muram dan serius dibandingkan sebelumnya.
“Oh, tidak, Ayah,” jawab Cosy dengan jujur.
Ayah tersenyum sekilas. Ia telah menyelesaikan makannya, dan kini sedang mengelap bibirnya. “Jangan khawatir, Sayang. Ayah yakin pertengahan bulan April ini, kamu akan mendapatkan teman-teman baru.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments