Hujan yang turun deras sepertinya belum ingin berhenti. Permukaan laut sampai terlihat buram karena berasnya air yang turun. Guyuran di atap yang memenuhi telinga membuat para manusia di dalam rumah itu harus berteriak supaya bisa mendengar satu sama lain.
Sungguh suatu metode komunikasi yang melelahkan.
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Miss Waters dan Miss Ellington melihat kaca jendela dari ruang tamu dengan wajah cemas. Mereka benar-benar terjebak hujan. Mobil yang mereka gunakan pun tidak membantu, karena mobil Mr. Crawford masih merupakan mobil desain lama, dengan roda-roda berjeruji banyak seperti sepeda, dan tempat duduk yang terbuka.
“Seharusnya aku membaca ramalan cuaca. Bodohnya aku. Tapi aku malah lebih tertarik dengan berita anak sialan seorang Count yang hilang itu. Ibu pasti akan memarahiku,” kata Miss Waters seraya menyandarkan pipi pada telapak tangannya, matanya fokus pada muramnya cuaca dari jendela sehingga tak menyadari kalau Cosetta sedang masuk ke ruangan itu.
“Beliau pasti akan mengerti. Tenang saja. Lagipula, cuaca di Irelia memang terlalu liar untuk diprediksi,” hibur Miss Ellington.
“Kamu tak mengenal ibuku. Ia hanya percaya apa yang ingin ia percayai. Setelah aku kembali, amit amit, besok pagi, aku akan menjadi ‘gadis nakal’ atau ‘gadis hedonis’ atau ‘gadis pembangkang.”
Wajah Miss Ellington sampai memucat mendengarnya. “Separah itu?”
“Iya,” kata Miss Waters dengan lemas.
Cosetta meletakkan beberapa piring kosong di atas meja makan, tak jauh dari meja kecil mereka yang terletak di dekat jendela. Kedua wanita itu menghentikan obrolan mereka.
“Oh, halo, Cosetta. Kudengar kamu menangkap kelinci, ya, siang tadi? Oh, aku terdengar seperti gadis tak sopan yang meminta makanan di rumah orang, ya? Duh, tapi sebenarnya aku hanya penasaran,” ucap Miss Waters seraya menutup mulutnya.
Miss Ellington dan Cosetta sama-sama tertawa. Tetapi Cosetta segera membenarkan pertanyaan Miss Waters, untuk menghindari rona merah muda yang makin memekat di pipinya.
“Aku jadi ingat saat aku masih kecil. Menangkap kelinci, kodok, dan belalang. Waktu itu sangat menyenangkan. Sayang sekali, hutan Catfield sekarang banyak ditebang untuk memberikan tempat bagi rumah-rumah para pendatang,” cerita Miss Waters.
“Kodok? Untuk apa kamu menangkap kodok?” tanya Miss Ellington. Ia memang tidak lahir di Catfield, desa yang merupakan tempat Maid Serene School of Girls berada. Ia datang dari kota dan mendapatkan pembagian tempat mengajar di desa itu.
Miss Waters mengingat-ingat, lalu wajahnya mengernyit sendiri. “Kamu tak akan mau mendengarnya.”
Miss Ellington juga ikut mengernyitkan wajah. Ekspresi jijik terlihat di wajahnya. “Jangan cerita lagi.”
Miss Waters tertawa.
Mrs. Elwood datang dengan membawa makanan dan meletakkannya di meja makan. “Sepertinya hujannya akan awet sepanjang malam.”
“Sepertinya begitu,” ucap Miss Ellington.
“Sebaiknya kalian makan malam dulu saja. Kalau ingin mencuci tangan, kalian bisa menggunakan wastafel itu.”
“Terima kasih, Bu. Um, kalau begitu kita tidak akan sungkan lagi,” kata Miss Waters, seraya mengajak Miss Elwood untuk makan malam. Ketika melihat Mrs. Elwood yang akan kembali ke dapur lagi, beliau memanggilnya, “Ibu, kita makan sama-sama saja di sini. Di cuaca seperti ini, semakin banyak orang yang berkumpul, semakin menyenangkan.”
Mrs. Elwood awalnya merasa ragu, tetapi kemudian menyanggupi. “Baiklah. Tapi sebelumnya, biarkan aku mengantarkan makanan ke mercusuar untuk para pria.”
Cosetta mengikuti Mrs. Elwood menuju mercusuar melalui pintu penghubung. Mereka langsung tiba di lantai dasar mercusuar. Mr. Elwood dan Mr. Crawford tengah berbicara di sebuah meja dengan dua cangkir kopi yang mengepul di hadapan keduanya. Cosetta menghindarkan matanya untuk melihat seseorang yang terbaring di ranjang di dekat lemari tua. Melihatnya hanya akan membuat imajinasinya meliar tentang asal-usul bocah itu. Siapa dia? Apa yang sudah ia alami hingga menyeberangi lautan luas hanya dengan perahu kecil?
Cosetta tak menginginkannya.
Mereka kembali ke rumah utama untuk makan bersama Miss Ellington dan Miss Waters. Makan malam berlangsung menyenangkan. Para orang dewasa bercakap-cakap tentang novel-novel klasik Irelia, bahkan Firch Timur dan Firch Barat. Dan jelas-jelas, Miss Ellington dan Miss Waters mengagumi luasnya bacaan Mrs Elwood.
“Wah, kau bahkan membaca seluruh seri ‘Silk Road Chronicles?’ Lydia, bukankah itu hebat?” kata Miss Waters pada Miss Ellington. “Bahkan guru yang paling luas bacaannya pun hanya membaca ‘The Quilters.’” The Quilters adalah salah satu judul buku yang paling populer dari serial Silk Road Chronicles.
“Hahaha. Itu karena saat gadis dulu, aku benar-benar tak punya kegiatan. Mama membiarkanku melewatkan pesta-pesta yang dianggapnya tidak begitu penting. Jadi, aku menghabiskan waktuku untuk membaca buku.”
Menjadi putri seorang earl yang bergelimang harta dan waktu luang kemudian menjadi istri seorang penjaga mercusuar yang penuh keterbatasan memang jalan hidup yang tidak tertebak. Namun, meskipun sedang dilanda kesusahan, Cosetta jarang sekali melihat sang ibu mengeluhkan keadaan.
Selesai makan, Cosetta membersihkan piring-piring. Sesekali ia mendengar suara dari ruang tengah yang berasal dari para guru yang sedang mendiskusikan kepulangan mereka. Sayup-sayup, Cosetta mendengar kalau akhirnya mereka memutuskan untuk menginap semalam. Miss Waters dan Miss Ellington akan menggunakan kamar Cosetta. Sementara Mr. Crawford tidur di mercusuar.
Artinya ia akan tidur bersama ibu malam ini.
Cosetta sedang meletakkan piring-piring bersih ke dalam rak ketika ibu masuk ke dapur. Ia mengambil salah satu mangkuk dan mengisinya dengan sup tortellini. Ia tersenyum ketika melihat Cosetta. “Kamu tidur dulu, ya, ibu akan menyuapi anak itu dulu supaya bisa minum obat. Setelah itu, ibu akan menyusulmu.”
Tetapi ketika melihat wajah ibu yang lelah, Cosetta tak bisa membiarkannya. Ia menawarkan diri, “Ibu, aku saja yang menyuapinya.”
“Tidak usah, Sayang. Ibu saja.”
Cosetta menggeleng. “Aku saja, Ibu. Tidak apa-apa. Di mercusuar juga ada ayah, kan? Tidak akan terjadi apa-apa.”
Mrs. Elwood akhirnya mengalah. Ia memberikan instruksi singkat pada putrinya sebelum membiarkannya pergi.
Sementara itu, Cosetta membawa sup itu ke dalam mercusuar. Lantai dasar itu terlihat sudah sepi. Cosetta menyalakan lampu, lalu menghampiri pemuda yang terbaring di dipan tua itu.
Matanya terpejam, tetapi embusan napasnya rasanya terlalu cepat bagi orang yang sedang tidur. Cosetta menguap. Malam sudah larut. Ia harus segera menyelesaikan tugas terakhir ini sebelum tidur.
Ia membangunkan pemuda itu. Namun, ia masih terlelap dalam tidurnya. Ketika ia menggoyang-goyang bahunya dengan keras, baru pemuda itu membuka matanya. Keringatnya bercucuran. Ia memandang Cosetta, atau sesuatu di baliknya, entah, Cosetta tak tahu, karena pandangannya yang tidak fokus.
“Kamu harus makan dulu, lalu minum obat dan tidur lagi,” kata Cosetta. Ia bergerak menyuapi pemuda itu, yang untungnya, makan dengan baik, meskipun dahinya mengernyit merasakan betapa pahitnya lidahnya untuk makan.
Cosetta menyadari kalau jemari pemuda itu gemetaran. Udara memang sangat dingin dan angin berhembus kuat. Ia mengambil selimut tambahan di dalam lemari dan menyelimutinya.
“Sudah kumasukkan semua kambingnya …” kata pemuda itu.
Cosetta melihatnya dengan kebingungan. “Kambing?” tanyanya, namun kemudian ia menyadari kalau orang yang sakit memang sering mengalami halusinasi.
“Amos yang terakhir masuk. Dia berputar-putar di dekat bukit membuatku pusing saja.”
Membiarkan pemuda itu berbicara sendiri sepertinya bukan perilaku yang tepat. Maka Cosetta menjawabnya, “Kalau begitu kamu boleh istirahat. Hari ini, kerjamu sudah bagus.”
Mendengar jawabannya, pemuda itu terdiam. Namun, entah kenapa, Cosetta merasa kalau kini pemuda itu melihat tepat pada dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments