Cosetta menuruni tangga menuju ruang tengah. Sia-sia saja ia memejamkan mata, kantuk tak juga menghampirinya. Segelas susu mungkin akan menghangatkannya dan membuatnya tidur seperti bayi.
Iya, kan?
Ketika ia melewati pintu menuju ruang tamu, sudut matanya menangkap sosok putih yang sedang duduk di kursi. Jantungnya berdegup kencang. Hantu? Apakah malam ini lebih istimewa dari malam-malam lain sehingga ia bisa melihat hantu ketika kemungkinannya hanya satu banding seluruh hari dalam hidupnya?
Rupanya Miss Ellington. Ia mengenakan gaun malamnya yang berwarna putih. Ia tersenyum ketika melihat Cosetta melihatnya.
“Terbangun, Cosetta?” tanyanya ramah.
Cosetta menggeleng. “Aku belum tidur,” ringisnya. “Sama sekali tidak mengantuk.”
“Oh, kalau begitu kita sama. Mau duduk di sini? Siapa tahu kamu menemukan kalau bicaraku membosankan jadi kamu mau tak mau akan mengantuk.”
Cosetta tertawa. Kadang-kadang omongan Miss Ellington jenaka juga.
“Apakah kamu minum susu sapi?” tanya Cosetta.
“Tentu. Ada apa?”
“Aku ingin memanaskannya untuk minum. Tunggu sebentar, ya,” kata Cosetta.
Ia pergi menuju dapur untuk mengambil susu yang disimpan dalam lemari pendingin. Ia menyalakan kompor dan menunggu gelembung-gelembung dalam susu. Setelah hangat, ia menuangkannya dalam dua cangkir dan membawanya menuju ruang tamu.
“Hangatnya,” ucap Miss Ellington sembari meletakkan telapak tangannya di sekeliling gelas. “Semoga saja aku tidak langsung menggendut setelah meminumnya. Ayo duduk.”
Sebenarnya Cosetta ingin membawa susunya ke atas. Tetapi, benda-benda mungil di meja Miss Ellington sangat menarik perhatiannya. Ia pun duduk.
“Mau ikut main?” tanya Miss Ellington seraya menggeser sewadah penuh manik-manik. Beberapa berasal dari biji-biji buah yang telah dikeringkan dan dilubangi tengahnya. Namun mayoritas merupakan manik-manik berwarna-warni yang terbuat dari plastik. Pada kotak lain, terdapat bebatuan dengan warna hijau terang. Miss Ellington memberikan tali yang telah dipotong kepada Cosetta. “Kamu boleh membuat gelangmu sendiri. Ambil saja sesukamu.”
Sebagai gadis desa, oh, ia bahkan tidak dapat dikatakan sebagai gadis desa. Sebagai gadis hutan yang hidup jauh dari perkampungan, tentunya Cosetta amat antusias dengan benda-benda itu. Ia belum pernah melihatnya. Ia mulai mengambil manik-manik dan menjelujurkan ujung tali melalui lubangnya.
“Banyak sekali ya, koleksi Anda,” kata Cosetta.
“Semuanya aku kumpulkan sejak aku masih kecil. Ibuku adalah seorang pengrajin perhiasan. Dulu aku juga ingin bermain dengan peralatannya, tetapi terlalu mahal, jadi ibu mengajariku cara membuat manik-manik dari biji tumbuhan. Seperti ini,” kata Miss Ellington seraya menunjuk salah satu biji teratai yang telah dikeringkan. “Sampai sekarang, aku jadi suka membuat gelang.”
“Melihat Anda bahkan membawa kotak ini ketika survei, pasti sangat berharga, ya.”
“Tidak seberharga itu, kok. Ini hanya kegiatan yang menenangkanku. Duh, indah sekali dunia ketika aku hanya fokus meronce seperti ini. Satu-satunya yang perlu kukhawatirkan adalah apakah pola yang aku niatkan akan bagus ketika sudah jadi nanti. Kalau kamu, Cosetta, apakah kamu juga punya hobi?”
Cosetta berpikir sejenak, lalu menceritakan tentang jurnal tumbuhannya.
Miss Ellington tersenyum mendengarnya. “Mengagumkan sekali, meskipun tak banyak buku yang tersedia untuk mendukung jurnalmu, tetapi kamu tidak menyerah. Apakah teman-teman sekolahmu juga ada yang melakukan hal yang sama?”
“Tidak ada,” kata Cosetta. “Um, mungkin yang paling mirip adalah temanku ada yang senang membuat kantung wewangian. Ia akan mengambil bunga-bunga di hutan lalu mengeringkannya.”
“Oh, biasanya dia pakai bunga apa?”
“Lavender? Sepertinya. Aku tidak terlalu dekat. Tapi dia aku selalu mencium wangi lavender darinya,” kata Cosetta, kemudian suaranya memelan. “Sayang sekali, mulai hari ini, dia sudah mengundurkan diri dari sekolah.”
Tangan Miss Ellington berhenti bekerja. “Apa yang terjadi? Ada masalah, ya?”
Cosetta menceritakan semuanya. “Entahlah. Tapi kurasa, dia tidak begitu menyukai sekolah kita. Kalau dari yang selama ini aku lihat, dia sepertinya tidak menganggap sekolah sesuatu yang serius. Dia juga menjauhkan dirinya dari teman-teman sekelas. Sebenarnya, seharusnya aku satu kelompok dengannya untuk pelajaran Keterampilan minggu depan, tapi … huh, dia pergi. Awalnya aku agak kesal, sih, tapi aku hanya kasihan sekarang. Kalau saja dulu aku memperlakukannya dengan lebih baik lagi, dia pasti tidak akan seperti ini,” ucapnya.
Tanpa ia sadari, air mata menggenang di pelupuk matanya.
Penyesalan-penyesalan yang datang malam ini mungkin merupakan sesuatu yang telah mencegahnya untuk tidur.
“Mendengar ceritamu, aku jadi ingat masa sekolahku,” kata Miss Elwood.
“Apa yang terjadi?”
“Aku juga sempat keluar dari sekolah. Banyak juga hal yang tidak aku sukai di sekolahku. Teman-teman yang sombong, guru-guru yang … berkepribadian buruk, dan jam sekolah yang padat. Aku memutuskan bahwa yang sesuai dan yang kuinginkan adalah belajar dengan seorang governess. Tapi, suatu hari, teman-teman sekelasku datang. Mereka membawakan hadiah, bahkan uang, sepertinya mereka mengira aku kesusahan membayar biaya sekolah, dan mereka berbicara denganku seakan-akan kita adalah teman dekat sebelumnya. Setelah itu, aku jadi ingat kalau aku sendiri yang dulu meminta bersekolah saja dibandingkan belajar dengan governess yang membuatku sangat kesepian. Kadang-kadang, manusia membutuhkan penerimaan. Iya, kan? Setidaknya itu yang kurasakan. Sekarang, aku masih rajin berkirim surat dengan teman-teman sekelasku itu.”
“Lalu, Anda mulai bersekolah lagi?”
“Iya. Meskipun sikap ramah tamah teman-temanku itu mungkin kamu bisa bilang palsu, tapi aku senang. Aku tak peduli. Lebih baik mereka berusaha bersikap baik kepadaku daripada terang-terangan merendahkan dan mengucilkanku. Meskipun mereka menggosipkanku di belakang, yang penting aku tak dengar. Aku akan anggap keseluruhan sikap mereka sama ketika sedang ada di depanku.”
Cosetta mulai memikirkan perkataan Miss Ellington. Entah apakah ia bisa mengerahkan teman-temannya untuk datang ke rumah Mabel dan membujuk gadis itu untuk bersekolah lagi. Ia sudah sering mendengar celaan-celaan pedas yang dilontarkan teman-temannya di belakang Mabel dengan asyik.
“Teman-teman Anda mungkin melakukan hal itu karena mereka terdidik budi pekerti, tapi … kami … berbeda,” ujar Cosetta, tak mampu menyampaikan pada Miss Ellington tentang rumor-rumor yang ia dengar.
“Oh, sama saja,” kata Miss Ellington. “Manusia kalau sudah bermulut jahat, mereka akan segera bosan dengan istilah lama dan akan segera mencari-cari perkataan baru yang lebih jahat lagi. Mengenai ini, menurutku, kamu harus mencoba dulu.”
Para penggosip di kelas itu sungguh tak terbayangkan bila mereka harus beramah tamah dengan Mabel. Cosetta saja tak yakin Eula akan setuju dengan idenya. Gadis itu mungkin hanya akan berkata, “Oh, Mabel? Biarkan saja dia. Kenapa pula kita harus mengurusi keputusannya? Dia juga tidak menyukai kita, mana mungkin mau mendengarkan pendapat kita?”
“Coba dulu, ya? Sebenarnya, manusia hanya perlu dorongan kecil untuk melakukan sesuatu. Sekompleks itulah perasaan seorang manusia.”
Cosetta mengangguk. “Aku akan mencobanya.”
Miss Ellington tersenyum. “Aku yakin kamu bisa melakukannya.”
Mereka menyelesaikan gelang mereka sampai keduanya mengantuk. Cosetta menguap beberapa kali, sementara mata Miss Ellington sudah terlihat merah. Malam sudah menjelang pagi ketika kedua gadis itu masuk ke kamar mereka masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments