Memang benar gadis itu adalah Mabel. Ia mengenakan gaun merah mudanya yang lusuh. Jalannya cepat sekali.
“Mabel! Hai!” sapa Eula.
Bahkan setelah disapa oleh Eula, jalannya masih saja cepat, atau semakin cepat.
“Mabel, tunggu!” kata Eula.
Eula beranjak dari rumput. Ia menarik tangan Cosetta untuk mengejar Mabel. Tetapi ketika mereka mencapai jalan, Mabel sudah berada di ujung jalan.
“Jalannya cepat sekali,” kata Cosetta.
“Benar,” kata Eula, matanya tak lepas dari sosok gadis itu. “Ayo kita kejar.”
Mereka mengejarnya. Cosetta mengira kalau Mabel akan ikut lari juga, tetapi gadis itu tetap berjalan cepat. Setidaknya ia masih memutuskan hal itu dengan baik. Ketika mereka sudah sampai di depan Mabel, gadis itu melihat mereka dengan ekspresi kaget.
“Oh, kalian, ada apa?”
Semua orang yang melihat pasti langsung tahu bahwa Mabel hanyalah berpura-pura. Ia sudah mendengar mereka sejak tadi.
Eula terengah-engah. Jadi, Cosetta yang berbicara, “Mabel, kenapa kamu berhenti sekolah? Menurutku, sebaiknya kamu pikirkan lagi keputusanmu itu. Kalau kamu ada masalah, kamu bisa bilang kepadaku. Ma-maaf kalau aku tak mengatakannya dari dulu,” katanya berterus terang. Sebaiknya memang seperti itu. Kalau ia berbelit-belit, Mabel hanya akan pergi tanpa mendengar perkataannya.
“Ya. Tidak apa-apa. Tapi, aku banyak urusan. Aku pergi dulu.”
Eula menahan lengan Mabel. “Ayo kita berbicara. Kamu sulit sekali untuk ditemui. Aku juga akan membantumu kalau kamu punya masalah.”
Mabel tersenyum. Sebuah senyum jenis apa, tetapi mengisyaratkan kalau ia tengah menyembunyikan banyak hal dan tak mau membeberkannya. “Aku tidak apa-apa, kok. Dadah,” pamitnya, sementara tangannya (dan kukunya) berusaha melepaskan tangan Eula.
Ia selicin belut. Sedetik kemudian, Mabel telah terlepas dan lanjut berjalan. Anehnya, ketika sudah diamati dari dekat, cara jalannya aneh sekali. Ia seakan-akan sedang menyembunyikan sesuatu dengan menggunakan tubuhnya sendiri untuk menghalangi tatapan Cosetta dan Eula.
“Dia bawa apa, tuh? Kayak gulungan kertas besar,” kata Eula.
“Huh? Benarkah?”
“Iya, setinggi ini,” kata Eula, seraya merentangkan tangannya secara vertikal. “Aku benar-benar penasaran sekarang. Dia sedang melakukan apa, sih?”
Mereka kembali ke padang rumput. Keduanya kemudian menyadari bahwa ada sesuatu yang ganjil.
“Hei. Kenapa kita di sini, ya?” tanya Eula. “Oh iya, kita ‘kan tadi bertemu Leo. Loh, sapinya di mana?”
Kedua sapi itu telah menghilang, seakan-akan raib oleh jubah gaib. Cosetta dan Eula berlari menuju tempat berdirinya Angus dan Dottie tadi. Bahkan tali kekangnya pun tak ada. Yang menandakan bahwa tadi ada dua ekor sapi di sana adalah rumput yang sudah terpotong sebagian.
“Padahal kita hanya lima menit bicara dengan Mabel, ya?” kata Cosetta, yang mulai merasakan jantungnya berdegup kencang. Bisa-bisanya mereka menghilangkan sapi orang? Ia berusaha menahan diri untuk tak menghitung nominal sapi dewasa yang sehat dan gemuk di kepalanya. “Ayo kita cari. Semoga saja belum jauh. Semoga dia tak masuk ke dapur orang dan makan pai.”
“Bahkan kurang dari lima menit! Mabel memang aneh. Ayo.”
Kedua gadis itu mencari di sekitar padang rumput. Lega sekali mereka ketika menemukan bahwa kedua sapi itu rupanya berjalan beriringan menuju tempat Leo berdiri. Lokasinya memang sudah lumayan jauh dan tertutup oleh semak belukar yang tinggi.
Cosetta mendengar Leo berbicara pada Angus, sapinya yang berwarna hitam. “Kalian kenapa ke sini? Apakah Cosy dan Eula sudah pergi?”
“Ya ampun, rupanya sapinya menyusulmu, Leo. Jalannya cepat sekali. Syukurlah, kalau mereka berdua baik-baik saja,” kata Cosetta.
Leo melihat dua sapinya, lalu melihat Cosetta dan Eula. Ia menyadari kesalahannya. “Oh, maaf. Aku keasyikan main. Maaf, ya,” ucapnya dengan bahu melemas.
“Tidak apa-apa. Tadi juga kita memang meninggalkannya sebentar,” kata Eula sambil mencubit pipi Leo.
“Yup. Kondisi darurat,” tawa Cosetta. “Kamu tidak apa-apa sendirian, Leo? Karena aku sudah harus pulang.”
Leo mengangguk-angguk. “Tidak apa-apa. Angus dan Dottie sangat penurut dan manis. Hati-hati, Cosy. Apakah kamu akan melihat serigala ketika pulang?” tanyanya penasaran.
“Belum pernah lihat, sih. Mereka pemalu pada manusia. Dadah,” pamit Cosetta.
“Dadah, Leo. Kamu anak yang baik,” kata Eula.
Mereka berdua pergi ke sekolah lagi. Eula menemani Cosetta mengambil sepedanya, kemudian berjalan pulang ketika Cosetta sudah meluncur pergi. Siang yang menyenangkan bagi keduanya.
Cosetta bersepeda pulang. Ketika ia tiba di rumah, wangi ayam panggang di udara langsung menyambutnya. Perutnya langsung berbunyi. Ia mendapati sepiring ayam panggang di atas meja makan.
“Sayang, kamu baru pulang,” kata Mrs. Elwood ketika menyambutnya.
“Iya. Aku main dulu dengan Eula tadi. Apakah hari ini banyak pengunjung?”
“Lumayan. Ada tiga kelompok orang. Dua kelompok pakai mobilnya, dan satu kelompok berjalan kaki. Ibu tak bisa membayangkan lelahnya. Ah, ayo makan. Cairo membunuh ayam liar tadi ketika kamu pergi sekolah.”
Cosetta mengangguk. “Aku akan langsung makan.”
Ayam panggang itu terasa lezat sekali di lidahnya. Keluarga mereka jarang-jarang makan ayam, karena hewan itu sudah belajar untuk menyingkir dari tepi jalan dan bermukim di kedalaman hutan. Selain itu, mereka pintar menghindar.
“Bagaimana cara Cairo menangkap?” tanya Cosetta penasaran.
“Oh, dia membuat perangkap. Dia memberikan umpan bulir gandum di tanah, lalu meletakkan benang di tanah yang diikat ke tiang-tiang kayu pendek. Sambil makan, kaki ayam itu akan terjerat. Seperti itu caranya,” jelas Mrs. Elwood.
“Dia lumayan terampil, ya? Berarti dia orang yang tinggal di desa juga. Menakjubkan bahwa dia tak ingat tempat tinggalnya di mana tetapi masih ingat caranya menjebak ayam. Dia pasti sering melakukannya,” tawa Cosetta. “Ayah sudah mengantarnya pulang, ya?”
“Ya, dia memang orang desa. Mana mungkin para pemuda kota dengan penampilan perlente itu bisa menangkap ayam tanpa senapan. Ah, tapi Cairo belum pulang. Dia lupa ingatan, kan? Ayah memutuskan untuk membuatnya tinggal di sini dulu sementara. Lagipula, menurut Cairo, masa lalunya tak begitu menyenangkan. Dia tidak punya orang tua. Betapa kasihannya. Dia kelihatannya masih bisa ingat masa kecilnya, tetapi tidak untuk ingatan baru-baru ini, mungkin tiga tahun terakhir. Jadi, dia sendiri pun bingung bagaimana dia bisa melayarkan diri ke laut.”
Cosetta menghentikan sendoknya di udara. Pemuda itu akan tinggal di sini. Separuh hatinya berkata kalau hal itu akan menyenangkan. Bukan dalam artian perasaan gembira, tetapi dalam artian pengalaman baru yang akan membuat hidupnya berbeda. Ia belum pernah punya tetangga sebelumnya, apalagi orang lain yang tinggal di rumahnya. Tetapi separuh hatinya berkata kalau ia tak bisa sepenuhnya mempercayai orang lain.
“Ibu dan ayah sudah benar-benar memikirkan resikonya?” tanya Cosetta.
“Resiko seperti apa, Sayang? Apakah kamu takut ia adalah seorang pencuri, pembunuh, atau psikopat?”
Cosetta mengiyakan. Ibunya sudah mengatakan ketakutannya terang-terangan.
“Selalu ada kemungkinan buruk. Tapi kamu ingat betapa ia hampir mati di lautan, kan? Kalau pun dia memang penjahat, ibu berharap dia tak akan membunuh orang yang sudah menolongnya. Lagipula, sikapnya baik. Dia terampil sekali, bahkan membantu ibu mengemas teh akar bunga dandelion dengan rapi. Cosy, Tuhan mewajibkan kita untuk menolong siapa pun yang membutuhkan bantuan. Ibu mengerti betapa banyak tokoh-tokoh yang terlihat polos sebenarnya adalah orang yang munafik. Tetapi berpikiran buruk pada sesama manusia hanya akan membuat kita jadi pribadi yang sengit.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments