Matahari belum lama terbit ketika Cosetta harus membawa keranjangnya masuk ke dalam hutan. Tiba-tiba saja, ibu berkata dengan wajah pucat kalau stok sayuran mereka sudah habis ketika Cosetta baru bangun tidur.
“Cosy, apakah kamu bisa ke hutan sekarang?” tanya ibu di ambang pintu pagi tadi. “Aneh sekali, kemarin Ibu lihat di kulkas masih ada bayam, tapi pagi ini berubah menjadi daun bawang. Ayahmu tidak mungkin bekerja tanpa sarapan yang layak, begitu juga denganmu. Bagaimana?”
Tentunya Cosetta menyanggupi. Perutnya sudah keroncongan. Meskipun udara sangat dingin, ia beranjak dari kehangatan selimutnya. Sebagai gantinya, jaket krem yang ia gantung di balik pintu kini ia kenakan di tubuhnya. Ia meraih keranjang dari dapur dan segera pergi keluar rumah.
Menjadi keluarga yang tinggal jauh dari pemukiman, tentunya mereka tidak semudah orang lain mendapatkan kebutuhan hidup. Oleh karena itu, di belakang rumah, mereka menanam sayur mayur seperti bayam dan kubis. Tetapi mereka tumbuh lebih lama dibandingkan teman-teman mereka di desa. Mungkin karena letaknya yang begitu dekat dengan air laut. Sehingga hasilnya tidak terlalu bisa diandalkan.
Biasanya ibu akan berbelanja di desa seminggu sekali. Tetapi karena kesibukan yang meningkat akhir-akhir ini, Cosetta tidak yakin apakah ibu sempat berbelanja.
Hutan yang menyelebungi Fernshine Lighthouse terlihat lebih rimbun daripada hari kemarin. Pohon-pohon telah mengibaskan salju yang menghinggapinya dan kini muncul kembali dengan dedaunan yang hijau. Hamparan bunga lavender menutupi permukaan tanah.
Cosetta berjalan menyusuri jalan. Ayah telah memperingatkan supaya ia tidak berkelana terlalu jauh dari jalan itu. Meskipun hutan Fernshine relatif aman, tetapi resiko adanya hewan buas yang tidak teridentifikasi sebelumnya dan resiko tersesat bisa mengancam.
Sayangnya, meskipun sudah berjalan selama beberapa lama, ia belum juga menemukan tumbuhan yang bisa dimakan. Cosetta memeluk dirinya sendiri sembari menggosok-gosok lengannya. Sebentar lagi ia sudah harus mandi dan berangkat sekolah. Ia tidak mungkin pulang dengan tangan kosong. Setidaknya, ia menemukan cukup sayuran untuk dimakan pada pagi hari ini.
‘Sepertinya mereka enggan untuk tumbuh di tepi jalan,’ pikir Cosetta. ‘Hanya menjauh sedikit dari jalan seharusnya tidak apa-apa. Lagipula aku sering melakukannya, kan, kalau sedang berjalan-jalan dengan ayah dan ibu?”
Cosetta berjalan lebih dalam melalui megahnya pepohonan sembari matanya memeriksa satu persatu tumbuhan di dekatnya. Matanya memicing ketika melihat sekelebat bunga merah muda di balik batang pohon akasia. Dengan hati-hati, ia melangkah mendekatinya.
Ah, akhirnya dapat!
Tumbuhan malva itu telah tumbuh tinggi menyambut musim semi tiba. Ibu pernah memasaknya beberapa kali, terutama jika bahan makanan sedang tidak mungkin untuk diambil dari desa. Cosetta tidak begitu suka, sih, dengan rasanya. Tetapi, ia akan memakannya dengan baik kali ini dibandingkan pergi ke sekolah dalam keadaan lapar.
Cosetta memetik beberapa batang dan meletakkannya di dalam keranjang.
Tiba-tiba, tumbuhan itu bergoyang. Rerumputan di bawahnya pun bergelombang. Jantung Cosetta berdegup kencang. Ia benci bertemu makhluk mengerikan seperti ular. Tetapi kakinya tidak bisa ia gerakkan.
Gumpalan bulu berwarna putih melesat keluar dari rumput. Setelah jaraknya jauh, hewan itu berhenti dan berbalik untuk menatap Cosetta dengan curiga. Dua telinga panjangnya ditegakkan. Melihat kelinci itu, Cosetta jadi lega.
“Hahaha. Kamu menyakiti hatiku, loh, karena aku bukan orang jahat yang akan menyakitimu,” tawa Cosetta dengan lega. Tanpa sengaja ia melihat daun-daun malva yang tidak menggugah selera, lalu melihat kelinci itu kembali. “Tapi kamu memberiku ide jadinya. Makan siang dengan sop kelinci pasti enak!”
Kelinci itu melompat pergi.
“Huh, seperti kamu tahu saja apa yang aku bicarakan,” kata Cosetta. Ia tak menghabiskan waktu lama-lama untuk mengejar kelinci itu. Mereka adalah makhluk yang gesit dengan empat kaki dan kaki belakang yang panjang dan kuat. Tidak adil kalau manusia seperti dirinya harus berkejaran dengan kelinci itu.
Cosetta kembali ke rumah dan menyerahkan keranjangnya kepada ibu.
“Terima kasih, ya. Kamu sangaaat membantu,” kata ibu seraya mengusap rambut Cosetta. Ia tersenyum dengan mata yang memancarkan kehangatan. “Kamu mandi dulu, setelah itu semoga saja bisa langsung makan.”
Tak ada waktu untuk bersantai. Cosetta segera mandi dan mengenakan seragam sekolahnya, berupa setelan kemeja putih serta tunik tartan yang mencapai lututnya. Setelah mengenakan kaus kaki dan meraih tasnya, ia keluar dari kamarnya.
Ayah baru pulang dari mercusuar. Ia kelihatan lebih segar setelah mandi pagi. Ia membawa semangkuk sayur yang sudah dimasak oleh ibu ke meja makan dan menyuruh Cosetta untuk segera mengambil piring. Wangi daun malva yang telah ditumis dengan bawang mengingatkan Cosetta kalau ia kelaparan.
Keluarga kecil itu akhirnya berkumpul di meja makan di ruang makan yang mungil itu. Cosetta berdoa sebelum makan, kemudian menyuapkan satu sendok tumis ke mulutnya. Rasa asin memenuhi mulutnya.
Di seberangnya, ayah telah menelan dengan wajah tersiksa. Ia merintih, “Sayang, bukankah … tumis ini rasanya terlalu asin?”
Ibu melihat ayah dengan tidak percaya. Ia bertanya pada Cosetta, “Memangnya benar terlalu asin, Cosy?”
Cosetta ragu sejenak, tetapi lidah adalah sesuatu yang paling sulit untuk dibohongi. Ia menelan makanannya, lalu berkata, “Iya, Ibu. Tidak seperti masakan ibu biasanya.”
Cahaya mata Mrs. Elwood meredup. “Oh, aneh sekali. Padahal ibu memberikan garam seperti biasanya. Ya sudah jangan dimakan kalau memang benar. Oscar, berikan uang saku lebih untuk Cosy hari ini supaya bisa beli makan siang di sekolah nanti.”
“Iya, tentu saja,” kata Mr. Elwood seraya memberikan sejumlah uang untuk Cosetta. “Beli makan yang enak, ya. Ibumu sepertinya sedang … tidak enak badan.”
“Aku baik-baik saja,” kata Mrs. Elwood seraya menyandarkan diri pada punggung kursi. Ia melipat tangannya dan alisnya bertaut. “Duh, duh, aku malah curiga kalau ada peri dapur tak berpengalaman yang memasukkan garam lagi ke dalam masakanku,” tawanya.
“Priscilla, kalau kamu berbicara seperti itu, aku malah yakin kalau kamu perlu diperiksa,” canda Mr. Elwood, yang selalu terheran-heran dengan imajinasi liar istrinya. Ah, seharusnya ia memahami resikonya sejak dulu ia menyukai gadis yang selalu menenggelamkan wajahnya pada buku-buku tebal di perpustakaan.
“Jangan berbicara sembarangan. Aku selalu sehat.”
Menit demi menit yang berlalu semakin mendekatkan Cosetta pada jam masuk sekolah. Ia menyimpan dengan cermat uang yang diberikan oleh ayah ke dalam saku tasnya. “Kalau begitu, aku berangkat dulu, ya.”
Ayah dan ibu bergantian menciumnya. Mereka mengantarkan Cosetta mengeluarkan sepedanya dari garasi.
“Hati-hati di jalan, ya,” kata Mrs. Elwood.
Mereka melambaikan tangan ketika Cosetta telah mengayuh sepedanya menjauh dari Fernshine Lighthouse. Angin kencang dari laut menerpa wajah Cosetta seraya ia menempuh perjalanan menuju Desa Hartlefirth.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
ᏋℓƑ⃝⛁̸᮫☤nevada?!
ya Tuhan, sopo kelinci 🐰😭🤣🤣
2024-04-09
2