Semakin mendekati bel pulang sekolah, entah kenapa, Cosetta semakin merasa tidak tenang. Ia adalah tipe gadis yang mengerjakan tugas-tugasnya dengan rapi dan teratur. Dengan tidak hadirnya Mabel di sekolah tanpa adanya surat izin sakit, tentunya hal ini mengganggu ketenangan pikirannya.
Maka, dengan ditemani Eula, mereka menyusuri koridor sekolah menuju ruang guru, sembari menjaga diri mereka kalau-kalau terkena bola yang sedang ditendang oleh para anak laki-laki dengan brutal di lapangan.
Untung saja Mr. Sterling belum pulang, melainkan hampir pulang. Cosetta mempercepat langkahnya untuk menghampiri guru itu di mejanya.
“Cosetta Elwood, ya? Ada apa menemui saya?” tanya Mr. Sterling.
Cosetta menelan ludah, kemudian mulai mengutarakan maksudnya, “Begini, Pak. Saya belum mendapatkan teman sekelompok untuk pelajaran Keterampilan. Kalau bisa, sih, seharusnya dengan Mabel. Tapi misalnya di kemudian hari pun saya tidak bisa menemuinya—oh iya, kemarin saya sudah ke rumahnya, tetapi dia tidak ada—nah, apakah saya boleh tanpa teman sekelompok?”
“Oh, Amabel Pritchett kemarin baru saja memutuskan untuk tidak lanjut bersekolah. Jadi, ya, kamu boleh mengerjakan tugas sendiri. Lagipula rumahmu juga jauh, ‘kan? Seharusnya malah lebih mudah. Sudah, ya, saya pulang dulu. Bapak sedang buru-buru.”
Cosetta mematung tanpa berkedip. Amabel Pritchett mengundurkan diri dari sekolah. Ia berpandangan dengan Eula yang ikut mengantarnya. Ini merupakan berita yang tak disangka-sangka. Meskipun Mabel kurang bersemangat sekolah dibandingkan anak-anak yang lain, tetapi sebenarnya kenakalannya tidak seburuk itu. Ia seakan selalu memastikan supaya jangan sampai ia membolos selama seminggu penuh.
Mereka keluar dari kantor guru dengan penuh pertanyaan. Ada apa?
“Sebenarnya kenapa dia memilih keluar?” tanya Cosetta ketika mereka telah tiba di koridor. Kekesalannya hilang seketika.
“Menurut kamu, apa karena dikeluarkan oleh sekolah?” Eula mengusulkan jawaban.
Cosetta menggeleng. “Itu jawaban yang paling tidak mungkin. Tadi Pak Sterling sudah bilang, kan, kalau Mabel yang mengundurkan diri?” jawabnya. Lagipula, sekolah pedesaan tidak akan menerapkan peraturan yang mengekang seperti itu. Biasanya, mereka sudah bersyukur ada anak yang memiliki minat dan biaya untuk bersekolah, dan berusaha mendidik mereka meskipun memakan waktu yang lama.
Mereka berpisah. Cosetta pulang dengan menaiki sepedanya kembali. Sementara itu, rumah Eula letaknya tidak terlalu jauh dari sekolah, sehingga ia berjalan kaki pulang.
Di perjalanan pulang, Cosetta tak henti-hentinya berpikir tentang Mabel. Kasihan sekali gadis itu. Perlakuan anak-anak di kelas memang tidak seramah itu kepada Mabel. Tetapi Mabel juga selalu terang-terangan menunjukkan kebenciannya berada di SMP Hartlefirth. Namun Cosetta tahu pasti di dalam hatinya, Mabel ingin memiliki seorang teman dekat yang tulus kepadanya.
Ia mencapai rumah, tetapi tak menemukan baik ayah dan ibu di mana pun. Setelah berganti baju, ia menghampiri dapur untuk makan siang. Satu panci kecil sup tortellini masih mengepul di atas kompor. Cosetta membuka tutup panci, dan menghirup aromanya yang lezat.
Ketika ia ingin menyendok sup itu ke dalam mangkuknya, Mrs. Elwood datang. “Sayang, itu untuk orang sakit. Ibu masakkan makanan yang lembut. Tapi kalau kamu mau, kamu boleh ambil sedikit.”
Ibu memang memasak sedikit, hanya porsi satu orang, atau malah tiga perempat orang, karena saking sedikitnya. Cosetta jadi merasa sungkan untuk mengambilnya, dan memutuskan untuk memakan yang ada di dalam tudung saji saja. Lagipula, kelihatannya tidak bermoral kalau menginginkan makanan milik orang sakit. Cosetta mencukupkan dirinya untuk menikmati kentang dan telur mata sapi di meja makan.
“Ibu, anak itu sudah bangun belum?” tanya Cosetta pada sang ibu yang tengah menuangkan sup itu ke dalam mangkuk.
“Belum. Tetapi panasnya sudah berkurang. Sudah minum obat. Ia sering mengigau, agak menyeramkan. Sesuatu tentang cangkul dan kambing. Kadang-kadang seperti orang sesak napas. Tapi sekarang sudah tenang.”
Cosetta menyandarkan pipinya pada telapak tangan sambil memperhatikan Mrs. Elwood. Sepertinya seharian ini ibu sibuk menjaga anak itu. Ia bahkan menyiapkan sup tortellini, dengan sosis-sosis yang berharga, ketika bubur havermut merupakan opsi termudah dan sering terpikirkan orang.
“Apakah ayah berniat memberitahu Mr. Chadwick, Ibu?” tanya Cosetta.
“Duh, jangan berharap Mr. Chadwick akan melakukan apa pun. Ia tidak akan menganggap ini adalah urusannya. Memang benar, sih. Tapi seharusnya sebagai orang yang punya koneksi dengan kerajaan, ia bisa meminta mereka menyelidiki apakah kira-kira ada daerah yang kehilangan anak berusia sekitar lima belas tahun.”
“Mungkin dia mau membantu kali ini.”
Ibu mengangkat bahu dan tersenyum. “Hati orang sudah sulit berubah kalau sudah tua.”
“Ah, begitu, ya?”
“Jadi, lebih baik tunggu anak itu bangun dan mengatakan daerah asalnya sendiri,” kata Mrs. Elwood. “Makan yang banyak, Sayang. Ibu ke mercusuar dulu, ya.”
Maka tinggallah Cosetta sendirian di ruang makan itu.
Setelah menghabiskan makanannya, Cosetta mengerjakan PR sambil menjaga toko pernak-pernik. Toko itu memang dikhususkan bagi pengunjung mercusuar yang jumlahnya selalu sedikit. Sehingga tidak perlu untuk terlalu serius menjaganya. Pelancong-pelancong yang berkunjung kebanyakan merupakan warga kota yang datang menggunakan mobil. Mereka akan membeli gantungan kunci atau boneka, kemudian melanjutkan perjalanan menuju pos peristirahatan hutan Fernshine yang lebih berkembang dan modern untuk mencari penginapan.
Ketika Cosetta sedang bersusah payah menghitung soal aritmatikanya, lonceng pintu berbunyi. Dua orang gadis muda memasuki toko sembari berbicara dengan ceria. Wajah mereka terlihat cerah, meskipun juga menampilkan lelahnya perjalanan. Tentunya Cosetta mengenal mereka berdua.
Cosetta menghampiri mereka. “Selamat siang, Miss Waters, Miss Ellington, apakah ada yang bisa saya bantu? Ah, selamat siang juga, Mr. Crawford,” tambahnya ketika melihat seorang pria berpakaian gelap yang juga ikut masuk ke dalam toko.
“Halo, Cosetta. Kamu sudah lebih tinggi, ya, dari tahun lalu! Manis sekali!” puji Miss Waters. Ia memiliki rambut pirang pudar yang digelung, dan sebuah topi beret berwarna putih bertengger di atas kepalanya. Ia mengenakan blouse biru dengan bunga-bunga kecil yang dimasukkan dalam rok hitam panjangnya. “Kami ingin membeli makanan. Kita sangat lapar. Makanan instan dengan terlalu banyak natrium juga tidak apa-apa, seperti keripik. Entah kenapa, kereta yang kita naiki sepanjang jalan tadi seakan tidak didesain untuk berhenti kecuali setelah tiba di Mercusuar Fernshine.”
Mr. Crawford yang merasa tersindir, tiba-tiba berdehem dari sudut ruangan.
Kedua gadis itu terkikik pelan.
“Tapi sepertinya tidak akan mengenyangkan,” ucap Cosetta. “Atau aku bisa melihat apa yang masih bisa diolah di dapur.”
Mata Miss Ellington melebar, membuat Cosetta sadar betapa jernihnya mata gadis itu. “Oh tidak, tidak. Tentunya kami tidak boleh merepotkanmu. Tidak apa-apa, kok, kita makan—”
“Gadis-gadis muda, dan tentunya pria yang sehat juga, mana mungkin kubiarkan makan siang yang tak layak di rumahku. Masuklah, aku akan menghidangkan makan siang yang layak untuk kalian,” ucap Mrs. Elwood yang tiba-tiba muncul dari pintu belakang, membuat kedua, ketiga orang itu tak menolak lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 66 Episodes
Comments
Maria Fernanda Gutierrez Zafra
Gak pernah kepikiran plot twist-nya seunik ini! 🤯
2024-03-10
0